Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Hari ini Wilson Lalengke sudah berada di New York. Kedatangannya ke USA bukan sekadar agenda diplomatik, melainkan misi moral, sebuah panggilan hati untuk mengguncang kebisuan dunia di hadapan Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), forum yang membahas isu-isu global, dekolonisasi, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia.
Dari ruang megah di Markas Besar PBB, Wilson akan berbicara bukan atas nama kekuasaan, tapi atas nama kemanusiaan. Ia membawa jerit hakekat para korban ketidakadilan, bukan hanya kepada korban atau keluarga korban yang bergenang air mata yang selama ini tertindas dan terbungkam oleh praktik kepentingan “politik global.”
Kabarnya, Wilson selama berada di New York menginap di Millennium Hilton New York One UN Plaza, hotel elit yang biasa menjadi markas para diplomat tinggi dunia, dan mungkin hanya beberapa langkah dari jantung ‘keputusan global’. Dari tempat itu, langkahnya akan menuju podium PBB, membawa petisi solidaritas internasional agar aturan hukum dunia ditegakkan dan krisis kemanusiaan disetop secara komprehensif.
Isu yang akan ia angkat bukan hal sepele tentunya, ditengah problematika dunia yang diselimuti kegelapan pembunuhan di luar hukum.(unlawful killing), penyiksaan, penahanan tanpa dasar’ hingga pembiaran pembantaian massal. Semua terjadi di depan mata, sementara dunia memilih sekedar menoleh namun cenderung diam.
Sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia, Wilson membawa satu pesan tajam ke jantung dunia, bahwa “rakyat kecil pun berhak bersuara, dan suara kebenaran tak boleh dikubur primordialisme dan sekedar politik fragmatis.”
Pidatonya mudah-mudahan menggema keluar menjadi gema moral dari Area Timur, ‘teriakannya’ bakal menembus dinding dingin PBB namun bakal menyingkap keluar panas didengar dihadapan dunia yang kerap tidak acuh terhadap kezaliman global.
Indonesia patut berbangga Wilson merepresentasikan suara hati anak bangsa yang peduli, dengan pepatah masyhur “Ketika manusia, berhenti peduli pada penderitaan sesamanya, maka dunia kehilangan jiwanya.”
Kepada sang tokoh, yang penulis kenal untuk pertama kali di sebuah wilayah “Petamburan”, walau bukan satu satunya agenda khusus kemanusiaan yang bakal Ia curahkan, namun patut menyuarakan peristiwa “korban 894 orang petugas KPPS dan KM 50” yang hingga kini prosesnya belum berkepastian hukum dan lacurnya sosok terduga kuat pelaku ‘disobedient’ masih wara wiri mencari korban sosok-sosok aktivis berikutnya.
Semoga Wilson Lalengke amanah terhadap perintah hati nuraninya dan berhasil sukses, termasuk tercapai apa yang tengah mayoritas bangsa ini harapkan.
(FHD/NRS)



