spot_img
Selasa, April 23, 2024
spot_img

Sejarah Kelam Partai Golkar

Oleh: Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
 
KNews.id- Pertama kalinya dalam sejarah Partai Golkar di era reformasi, pada Musyawarah Nasional (Munas) IX 2014 di Hotel Westin,Nusa Dua, Bali, 30 November-4 Desember 2014, hanya ada satu calon ketua umum yang juga petahana, Aburizal Bakrie.

Tak mengherankan jika 547 pemilik suara pada munas itu secara aklamasi memilihnya kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar untuk periode 2014-2019. Awalnya, dari tujuh calon penantang masih ada satu orang kader Golkar yang memberanikan diri untuk tetap maju menjadi calon ketua umum, yakni Erlangga Hartarto.
 
Namun, karena adanya aturan tata tertib yang dibuat secara tidak demokratis yang mengharuskan calon ketua umum harus didukung minimal 30% pemilik suara yang hadir, Erlangga Hartarto mundur dan membiarkan Ical sebagai calon tunggal.

- Advertisement -

Sementara itu, enam calon ketua umum lainnya–Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Zainuddin Amali, Hajriyanto J Thohari dan MS Hidayat–sudah mengundurkan diri terlebih dahulu karena berbagai alasan, sebagian besar karena arena munas memang disiapkan untuk memilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan cara apa pun.

Munas IX Partai Golkar memang amat berbeda dengan munas-munas sebelumnya di era reformasi. Pada Munas Luar Biasa (Munaslub) Golkar 9-11 Juli 1998, misalnya yang mengesahkan perubahan nama Golkar menjadi Partai Golkar agar citranya yang buruk sebagai pendukung rezim otoriter Soeharto berkurang, Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar 1998-2003 secara demokratis mengalahkan Jenderal Edi Sudrajat.

- Advertisement -

Pada Munas VII Partai Golkar di Bali, Desember 2004, Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009 mengalahkan Akbar Tandjung. Pada Munas VIII Partai Golkar di Riau, Oktober 2009, Aburizal Bakrie terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014 mengalahkan Surya Paloh.
 
Catatan menarik lainnya, sejak era reformasi Golkar juga diwarnai perpecahan demi perpecahan. Setelah kalah dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada 1998, Edi Sudrajat mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian menjadi PKPI yang kini dipimpin mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
 
Menjelang Pemilu 2004, kader Golkar R Hartono yang juga mantan KSAD mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Pasca-Pemilu 2004, mantan capres 2004 dari Partai Golkar Jenderal Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
 
Prabowo Subianto yang gagal terpilih menjadi capres dari Partai Golkar pada konvensi 2004 mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Surya Paloh juga mendirikan awalnya Ormas Nasional Demokrat (Ormas NasDem) yang kemudian menjadi Partai NasDem.
 
Di era Orde Baru, semua Ketua Umum Partai Golkar tidak dipilih secara demokratis, tetapi bergantung pada blessing Ketua Dewan Pembina Golkar yang ialah Presiden Republik Indonesia Soeharto. Munas Golkar dan KMP Kemenangan ARB pada Munas IX Golkar di Bali ditentukan beberapa hal.

Pertama, kelompok oligarki Partai Golkar yang dekat dengan ketua umum tidak mau nasib politik mereka terombang-ambing jika Ical tidak terpilih kembali menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Karena itu, mereka bersatu padu untuk memenangkan Ical sebagai ketua umum dengan cara apa pun, persuasif ataupun paksaan terhadap mereka yang memiliki suara pada munas, yaitu para ketua dan sekretaris DPD I dan II Partai Golkar.

- Advertisement -

Cara manipulatif mereka lakukan dengan membuat aturan tata tertib munas yang ibarat tempat bertanding tinju, tidak memberikan ruang bagi para penantangnya untuk dapat melenggang ke ring tinju. Secara persuasif para petinggi Golkar daerah juga diimingimingi dukungan untuk tetap menjadi pengurus daerah Partai Golkar, menjadi calon bupati atau gubernur, atau jabatan politik lainnya di tingkat lokal. Secara koersif atau paksaan, mereka yang tidak mendukung Ical dipecat dari
jabatan masing-masing dengan alasan apa pun.

Kedua, Ical dan pendukungnya berupaya meyakinkan para pemilik suara dari daerah bahwa Golkar akan tetap berada di Koalisi Merah Putih (KMP). Di satu sisi, itu bertujuan mendapatkan dukungan dari teman-teman koalisi KMP agar tetap mendukung Ical sebagai Ketua Umum Golkar dengan alasan bahwa jika Ketua Umum Golkar bukan Ical, KMP akan hancur. Di sisi lain, posisi Ical sebagai Ketua Presidium KMP dipropagandakan kepada para pemilik suara daerah sebagai posisi yang menguntungkan.

Sikap Golkar yang menolak Perppu No 1/2014 mengenai pemilihan kepala daerah langsung dipropagandakan akan menguntungkan para pengurus Golkar daerah yang ingin maju menjadi calon kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Padahal, kita tahu bahwa belum tentu semua partai di KMP akan menolak Perppu Pilkada Langsung, misalnya Partai Demokrat dan Partai Gerindra yang mungkin tidak akan menolak perppu tersebut. Selain itu, Partai Demokrat sulit untuk menolaknya karena perppu tersebut dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pengganti UU Pilkada melalui DPRD yang menghebohkan itu.

Ketiga, Ical dan pendukungnya berupaya meyakinkan para pengurus daerah Partai Golkar bahwa jika ARB terpilih kembali, kader-kader muda Partai Golkar akan mendapatkan tempat-tempat terhormat di DPP Partai Golkar dan akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi capres atau cawapres. Tiga cara tersebut, selain politik uang yang juga merebak pada Munas IX Golkar ini berselimut anggaran untuk transportasi dan hotel, menyebabkan ARB tidak memiliki tandingan.

Konflik yang tak Kunjung Usai

Berbeda dengan munas-munas sebelumnya yang walaupun terjadi konfl ik, langsung terjadi konsolidasi partai, Munas IX ini bukan mustahil akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Pertama, sampai saat ini Kantor DPP Partai Golkar di bilangan Slipi, Jakarta, masih diduduki Yorrys Raweyai dan anak buahnya yang merupakan bagian dari Presidium Penyelamat Partai Golkar (P3G).

P3G juga sudah memecat Ical sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Kedua, Ketua Pelaksana Munas Golkar Bali, Nurdin Halid, sudah mengumumkan pemecatan beberapa kader Golkar yang menjadi pengurus P3G, antara lain Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Melkias Mekeng, Yorrys Raweyai dan Agun Gunanjar.

Saling pecat di antara kader Golkar tentunya memperuncing perseteruan antar elite Partai Golkar. Satu hal yang aneh pula, mereka yang dipecat tersebut di antaranya ialah ketua tiga kelompok induk organisasi (kino) yang menjadi cikal bakal

Golkar pada 1957-1966

Di usia ke-50 Partai Golkar, partai itu tidak menunjukkan demokrasi internal yang apik, tetapi memperpanjang daftar konflik yang terjadi di partai beringin itu sejak 1998. Ini akan menjadi taruhan politik besar apakah Partai Golkar akan tetap menjadi partai besar ataukah partai menengah pada Pemilu 2019 mendatang.

Pemilu 2019 merupakan pemilu serempak untuk memilih presiden/wakil presiden dan anggota legislatif. Bila konsolidasi di Partai Golkar berjalan baik lima tahun ke depan dan Golkar memiliki capres atau cawapres dengan elektabilitas tinggi pada Pemilu 2019, Golkar akan tetap bertahan sebagai partai besar.

Namun, jika konsolidasi Golkar gagal, KMP makin melemah, dan tak ada kader Golkar yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai capres, bukan mustahil Golkar akan menjadi partai guram setelah Pemilu 2019. (Tim KNews.id)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini