Oleh: Himawan Sutanto, Pemerhati Budaya Politik
KNews.id- KETIKA Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan selama lima tahun penuh, dari 2014 hingga 2019, sepak terjangnya mengundang decak kagum. Kebijakannya tentang istilah ‘tenggelamkan’ menjadi viral dan merupakan kata yang identik dengan Susi, menyusul keberaniannya menindak tegas kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia. Mafia-mafia laut dibuatnya terbirit-birit, kehilangan mata pencaharian ilegal yang selama ini seolah mendarah daging.
Ternyata kehebatan Susi, akhirnya tak berarti jika tak sejalan dengan atasan. Siapa lagi kalau bukan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sang pencerah istilah ‘Buldoser’.
Sebagai Menko yang membawahi Susi, keduanya memang kerap terlibat cekcok. Dari urusan cantrang, garam, hingga yang terakhir soal reklamasi Teluk Benoa, Bali. Susi melawan Luhut. Dilawan bawahan, Luhut pasti bertindak: buldoser!.
Pencoretan Susi dari jajaran Kabinet Indonesia Maju secara halus direstui Presiden Jokowi. Lihat saja pesan Jokowi saat memperkenalkan para menterinya. Bahwa menteri dilarang memiliki visi dan misi, yang ada adalah visi-misi Presiden dan Wakil Presiden.
Hal di atas jelas menggambarkan bahwa tugas menteri adalah bekerja. Bukan bekerja dan berpikir, seperti yang dilakukan Susi. Namun kebijakan Luhut berantakan ketika menghadapi Gubernur DKI yang mencabut izin reklamasi dan Luhut diam seribu bahasa.
Pejabat tanpa Nurani
Ketika seorang pejabat membuat pernyataan yang kontroversial, membuktikan pejabat itu telah jauh dari etika dan hati nurani. Hal ini bisa dilihat ketika wabah virus Covid-19 melanda Indonesia.
Dari pernyataan Jokowi yang mengatakan virus corona akan mati di daerah panas, terus pernyataan Menteri Perhubungan dengan enteng mengatakan kalau kena virus Covid-19 berarti tidak pernah makan nasi kuning. Ditambah pernyataan Bahlil sebagai Kepala BKPM yang mengatakan virus Covid-19 sulit masuk karena terganjal perizinan.
Namun pernyataan yang selalu kontroversial adalah pernyataan Luhut tentang akan diteruskannya proyek Ibukota baru karena sudah ada 30 cukong siap membiayai, dan dilarangnya TKI pulang kampung karena akan menularkan virus Covid-19.
Hal itu sangat ironis sekali, dibanding para TKA China yang selalu datang melewati berbagai Bandara. Menurut Bachtiar Aly, ada fenomena para pejabat publik yang berbicara di luar kompetensinya. Menurutnya, pejabat banyak yang berbicara tanpa memahami permasalahannya. Asal ditanya wartawan, yang penting jawab saja.
Pejabat dan Kekuasaan
Pernyataan mantan Sesmen BUMN, Said Didu, menjadi viral lantaran mengunggah video dan disomasi sama LBP dan akan dibawa ke pengadilan. Hal itu sangat lucu dan menggelikan kita semua.
Luhut melecehkan rakyat lewat pernyataan kematian hanya dihitung dengan statistik, padahal satu nyawa bagi bangsa negara itu sangat berharga. Kemudian TKI dilarang pulang, tapi TKA China berdatangan dari berbagai penjuru Bandara. Dan itu diakui oleh Menkumham bahwa sejak Januari saja sudah 188 ribu TKA China yang tiba di Indonesia.
Bahkan dengan entengnya Luhut mengatakan, “tidak semua warga negara China itu jelek”, terus kenapa? Sementara krisis pangan dan krisis pekerjaan nyata di depan kita sejak sebelum virus Covid-19 masuk dan menjadi pandemik. Lalu sekarang semakin terasa krisis tersebut. Bahkan lebih lucu lagi bahwa penanganan virus Covid-19 menggunakan strategi militer dan itu menjadi lelucon baru disaat WFH (work from home).
Saya kira kita membayangkan, bagaimana kalau Indonesia tanpa LBP? Itulah pertanyaan yang selalu muncul di dalam pikiran kita. Di era SBY jelas tampak sekali perbedaanya, tidak gaduh, penuh perhitungan dan ekonomi kita berada dikisaran 6,4 persen.
Walaupun ada kasus tsunami Aceh, wabah flu burung, bencana di mana-mana. Akan tetapi para pejabat tidak celometan seperti sekarang ini. Semua memang ada yang lebih dan kurang, akan tetapi kebijakan yang tidak terukur dan “akal-akalan” menjadi anomali tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus Luhut sepertinya sesuai yang dikatakan Barbara Goodwin, seorang ahli filsafat politik, yang mengatakan bahwa pengertian kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara dan oleh yang bersangkutan, dan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan.
Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.(Ade)