KNews.id – Jakarta – Judol atau judi onlineĀ adalah fenomena yang menarik untuk disimak dan diulas lebih jauh, terutama jika pelakunya adalah orang-orang yang secara ekonomi belum mapan, bahkan terdata sebagai penerima bansos (bantuan sosial) dari pemerintah.
Dari hasil penelusuran PPATK selama tahun 2024 terindikasi ada 571.410 orang penerima bansos yang juga menjadi pemain judol dengan transaksi lebih dari 7,5 juta kali. Ā Luar biasa, bukan? Dana yang semestinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, malah dilempar ke platform judi. Ini bukan lagi masalah menang atau kalah, tapi sebuah penyalahgunaan yang memprihatinkan.
Oleh karena itu belakangan ini pemerintah sudah lebih mawas diri menyikapinya. Menteri Sosial, Gus Ipul mengatakan sudah mencoret sekitar 600 ribu nama penerima bansos yang terindikasi bermain judol. “Salah satunya, kita koordinasi dengan PPATK. Ketemu lah 600 ribu lebih penerima bansos yang dari Kementerian Sosial itu ditengarai ikut bermain judol, 600 ribu itu kita coret semua, yang memang terbukti dan setelah dilakukan pendalaman memang ternyata benar adanya, maka kita coret penerima bansos,” ucap Gus Ipul sebagaimana dikutip portal berita cnnindonesia.com.
Penerima bansos mestinya adalah masyarakat yang dekat atau berada di bawah garis kemiskinan. Daya beli mereka benar-benar terbatas, sehingga membutuhkan dukungan keuangan dari pemerintah agar dapat melanjutkan kehidupan. Tapi penyalahgunaan bansos ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Apalagi jika kita menghubungkan fenomena ini dengan hierarki kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow.
Distorsi Hierarki Kebutuhan Maslow
Teori hierarki kebutuhan Maslow dipopulerkan pada tahun 1943 dan masih sering menjadi referensi sampai hari ini. Menurut Maslow ada 5 tingkat kebutuhan manusia:
Fisiologis: Ā kebutuhan dasar seperti makan, minum dan tempat tinggalKeamanan: kebutuhan perlindungan, pekerjaan dan kestabilan ekonomiSosial: kebutuhan mengenai rasa memiliki, kasih sayang dan komunitasPenghargaan: kebutuhan akan harga diri, pengakuan, kebebasan dan status sosialAktualisasi diri: kebutuhan pencapaian makna dan pencapaian potensi diri tertinggi.
Pada hierarki ini, idealnya manusia akan bergerak naik ke tingkat berikutnya setelah kebutuhan pada tingkat sebelumnya telah terpenuhi dengan baik. Melihat kriteria penerima bansos dari pemerintah, kita asumsikan para penerima bansos ini masih berada pada tingkat pertama (pada pemenuhan kebutuhan dasar) atau sementara berjuang pada tingkat kedua.
Tapi pada kasus penerima bansos yang terjebak judol, urutan pada hierarki ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk mempertaruhkan sejumlah dana di arena judi (daring atau luring) seseorang mestinya sudah memiliki kestabilan ekonomi yang lebih baik, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Masuk ke arena judi berarti harus siap menang, juga siap kalah dengan risiko kehilangan uang yang dipertaruhkan. Untuk judi yang sifatnya di depan mata saja, probabilitas ini tidak bisa kita atur sesuka hati, apalagi untuk judi yang arenanya di “awan-awan” sana.
Jadi semestinya para pemain judol ini adalah mereka yang berada paling tidak di tingkat tiga ke atas dari hierarki kebutuhan Maslow karena kebutuhan mereka bukan lagi pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan keamanan tapi kebutuhan untuk harga diri dan mencari “kepuasan” lewat kemenangan pada arena judi. Mungkin ada pendapat seperti ini: keinginan untuk mendapat kekayaan secara instan-lah yang menjadi pemicu perilaku judol. Ini betul, tapi kita ketahui bersama pada tingkat tertentu, judol bukan lagi masalah ingin mencari kekayaan belaka, tapi sudah jadi semacam candu (adiksi). Seseorang yang telah terlanjur terjebak, tidak akan puas karena selalu ingin mendapatkan lebih dan lebih, kendati sebenarnya uang yang dihabiskan dalam kekalahan sudah jauh lebih besar daripada uang yang diterima dari kemenangan.
Di sini persisnya letak distorsi pada hierarki kebutuhan Maslow tersebut. Secara kondisi sosial dan ekonomi, mereka masih berada pada tingkat terbawah, tapi perilaku sudah seperti berada pada tingkat ke-empat.
Mencari Kepuasan Semu
Ada penjelasan yang bisa kita gunakan untuk mengulas distorsi ini. Dalam psikologi modern, perilaku ini sering disebut compensatory satisfaction yaitu upaya mencari pengganti kepuasan emosional saat kepuasan yang lain (seperti misalnya kebutuhan dasar) tidak terpenuhi dengan baik. Jadi mereka bukan sekadar ingin kaya, tapi ingin merasa berharga, diakui, dan lepas dari rasa “kalah” dalam tekanan kehidupan.
Penelitian oleh Best et al. (2008) menunjukkan bahwa adiksi (kecanduan) dapat mengambil alih pencarian kebutuhan yang prioritasnya lebih tinggi. Penelitan ini menyasar para pengguna narkoba. Subjek penelitian tidak melihat pemenuhan kebutuhan — kebutuhan dasar menjadi penting atau mendesak, ketika adiksinya belum terpenuhi.
Kemudian Badelani & Sajjadian (2024) melakukan penelitian pada sejumlah mahasiswa di Iran dan menemukan kesimpulan bahwa gangguan pemenuhan kebutuhan seperti misalnya rasa aman yang rendah dapat memicu perilaku adiktif sebagai kompensasi emosional sekalipun perilaku tersebut berisiko tinggi.
Jika dihubungkan dengan kondisi para penerima bansos, penjelasan ini cukup masuk akal. Para penerima bansos cukup rentan terjebak judol karena beberapa hal seperti misalnya: ingin perubahan hidup yang instan dan sebagai pelarian psikologis karena tekanan dari situasi dan kondisi kehidupan. Ditambah lagi para penerima bansos pada umumnya memiliki tingkat literasi yang rendah, karena kurang menyadari jebakan judol di mana peluang untuk menang nyaris nol, tapi tetap saja nekat berlaga di arena judi.
Jadi Apa yang Harus Dilakukan?
Mengingat dampak negatif dari judol apalagi untuk para penerima bansos, pemerintah dan para pemangku kepentingan harus bahu-membahu melakukan langkah-langkah yang tepat untuk mengantisipasinya, seperti misalnya: melakukan pemblokiran rekening penerima bansos yang terindikasi melakukan judol. Langkah ini sudah ditempuh beberapa pemerintah daerah berkoordinasi dengan PPATK.
Selain langkah tersebut perlu juga dilakukan pencegahan seperti edukasi keuangan dan kampanye bahaya judol kepada para penerima bansos.
Program yang bersifat pemberdayaan seperti pelatihan keterampilan usaha-usaha produktif atau mengaktifkan koperasi di antara para penerima bansos juga dapat dilakukan. Langkah seperti ini memang lebih bersifat jangka panjang, tapi jika berhasil dilaksanakan dengan baik dampaknya bisa lebih tahan lama. Jika kembali dikaitkan dengan hierarki kebutuhan Maslow, pemberdayaan yang berhasil mengubah tingkat ekonomi para penerima bansos juga dapat membantu mereka melewati tingkat demi tingkat hierarki sampai pada tingkat penghargaan (esteem) dengan baik.
Wasana Kata
Fenomena judi online di kalangan penerima bansos adalah fenomena distorsi hierarki kebutuhan Maslow yang dapat terjadi jika sistem ekonomi dan sosial tidak mendukung perpindahan masyarakat melewati tahap demi tahap dengan mulus.
Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah selaku regulator bersama para pemangku kepentingan untuk mendampingi para penerima bansos yang notabene adalah masyarakat yang rentan agar terhindar dari jebakan judol tersebut.
Ā Bukan saja langkah-langkah yang bersifat reaktif, seperti pemblokiran rekening yang dapat ditempuh, tapi juga langkah yang bersifat preventif. Untuk ini dibutuhkan kiat yang lebih edukatif berbasis pemberdayaan masyarakat karena bansos semestinya bukan untuk menjerumuskan mereka ke dalam jerat judol, melainkan untuk membantu masyarakat bertahan hidup dan tergerak untuk meningkatkan martabat kehidupannya. (PG)



