spot_img
Minggu, April 28, 2024
spot_img

Ramai-ramai Negara Mulai Menjauhi AS!

KNews.id- Amerika Serikat mulai “dijauhi” sejumlah negara. Hal ini terlihat pada aksi dedolarisasi atau aksi pengurangan dolar AS dalam perdagangan dan investasi yang dilakukan beberapa negara. Upaya membuang dolar AS ini dilakukan oleh negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).

Sebuah laporan media India akhir Maret, Livemint, mengindikasikan bahwa mata uang baru aliansi ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang. Sanksi barat ke Rusia membuat Kremlin mendesak hal tersebut ke kelompok tersebut.

- Advertisement -

Tak hanya BRICS, Arab Saudi juga sempat dilaporkan Wall Street Journal akan menggunakan yuan sebagai mata uang dalam perdagangan minyak dengan China. Dari petrodolar, alat tukar akan berganti petroyuan.

Dollar AS sendiri memang diketahui hingga saat ini merupakan mata uang yang dominan dipakai dalam perdagangan internasional. Ini membuat kebijakan ekonomi apapun yang dikeluarkan The Fed selalu berdampak bagi kondisi global.

- Advertisement -

Semantara dari segi pergaulan internasional, AS pun mulai “dilupakan” beberapa negara termasuk sekutu dekatnya. Sebut saja Arab Saudi yang tiba-tiba membina hubungan kembali dengan Iran, di bawah mediasi China, sebagaimana diberitakan Reuters dan AFP.

Belum lagi Prancis, usai Presiden Emmanuel Macron menemui Presiden China Xi Jinping pekan lalu. Macron mengatakan Eropa harus mengurangi “ketergantungannya” pada AS.

- Advertisement -

Eropa, tegasnya, harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan China atas Taiwan. Macron, dimuat Politico, menekankan teori “otonomi strategis” untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Perancis untuk menjadi negara adikuasa ketiga.

Jerman Dekati RRC

Jerman juga menjadi “bukti baru” perlahan negara-negara menjauhi Amerika Serikat dan mendekati China. Laporan The New York Times mengungkapkan saat AS berusaha untuk membatasi hubungan ekonomi dengan China, dua perusahaan besar asal Jerman, Volkswagen (VW) dan BASF, malah memperluas investasi besar mereka di Negeri Tirai Bambu.

“Tanpa bisnis di China, restrukturisasi yang diperlukan di sini tidak akan mungkin terjadi,” kata Chief Executive BASF, Martin Brudermüller, kepada wartawan di konferensi pendapatan tahunan perusahaannya pada Februari.

“Sebutkan saya hanya satu investasi di Eropa tempat kami dapat menghasilkan uang,” katanya lagi.

Ia juga mengatakan pendapatan dari China memungkinkan perusahaan untuk secara efektif mengimbangi kerugian dari biaya energi yang tinggi di Eropa. Termasuk peraturan lingkungan yang ketat.

Hal yang sama juga disampaikan eksekutif di Volkswagen, yang secara pribadi mengakui produsen mobil itu berada dalam kesulitan yang sama. Biaya energi dan tenaga kerja yang tinggi membuat perusahaan sangat bergantung pada penjualan dari China untuk membantu menanggung operasi di Eropa.

Volkswagen sendiri – yang memiliki lebih dari 40 pabrik di China – mengumumkan akan menyesuaikan model dengan keinginan pelanggan China, seperti fitur mesin karaoke in-dash. Produsen mobil ini juga akan menginvestasikan miliaran dalam kemitraan lokal dan lokasi produksi.

Sementara perusahaan kimia BASF, dengan 30 fasilitas produksi di China, berencana membelanjakan 10 miliar euro atau sekitar Rp 162 triliun untuk kompleks produksi kimia baru di China. Ukurannya akan menyaingi kompleks kantor pusat besarnya di Ludwigshafen, yang memiliki luas sekitar empat mil persegi.

Jerman dilaporkan bergantung pada China untuk menyediakan produk teknologi penting, termasuk ponsel dan LED, serta bahan mentah, termasuk litium dan elemen tanah jarang. Ini sangat penting bagi rencana Jerman untuk melakukan transisi ke energi dan transportasi yang lebih bersih. (AHM/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini