KNews.id – Jakarta, Aparat penegak hukum terus gencar menangkap pengedar rokok ilegal. Kantor Bea dan Cukai Semarang, misalnya, menyita 584 ribu batang rokok ilegal dalam Operasi Gurita 2025. Kepala Kantor Bea-Cukai Semarang Bier Budy Kismulyanto menyatakan rokok tanpa pita cukai itu disita saat akan diselundupkan ke Kota Semarang.
“Tim patroli darat kami mendeteksi kendaraan yang terindikasi membawa rokok ilegal di ruas jalan tol Ungaran menuju Kota Semarang. Ketika kendaraan tersebut berhenti di gerbang tol Banyumanik, segera kami periksa muatannya dan kami menemukan rokok ilegal yang disembunyikan di bawah tumpukan sampah plastik serta padi,” kata Budy, seperti dilansir dari laman resmi Bea-Cukai, Selasa, 10 Juni 2025.
Budy menyatakan anak buahnya menyita 168 bal rokok berbagai merek, seperti MK, ST Premium, New Boshe, Bonte Fresh, ESTE, Daun Mas, dan Just Full Special Edition. Penyidik memperkirakan nilai rokok ilegal itu Rp 867 juta dan berpotensi menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 565 juta.
Agar Kenaikan Cukai Rokok Tepat Sasaran
Tak hanya di Semarang, operasi pemberantasan rokok ilegal juga digelar di Madura, Jawa Timur. Dua mobil patroli jalan raya (PJR) Kepolisian Daerah Jawa Timur harus berkejar-kejaran dengan sebuah kendaraan pengangkut rokok ilegal di Jembatan Suramadu pada Sabtu, 7 Juni 2025. Kejar-kejaran tersebut baru selesai setelah satu dari dua mobil PJR Polda Jawa Timur menghentikan kendaraan bermerek Suzuki Ertiga itu dengan cara menabrakkan diri.
“Saat memeriksa kendaraan, kami menemukan fakta di dalam kendaraan ada tumpukan kardus yang berisikan rokok tanpa pita cukai,” ucap Kepala Unit PJR Jawa Timur VIII Ajun Komisaris Darwoyo dalam keterangan tertulis.
Petugas dari Satuan Tugas Pengamanan Juanda menata rokok tanpa cukai saat rilis di Markas Komando Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut Juanda, Surabaya, Jawa Timur, 15 Mei 2025. Antara/Umarul Faruq
Pengungkapan besar-besaran dilakukan pada Januari 2025. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menyita 511.648 bungkus rokok ilegal berbagai merek yang tersimpan di pergudangan Jalan Raya Jakarta KM 5, Kampung Parung Wotgalih, Kota Serang, Banten.
Produk ilegal ini beredar di masyarakat dengan pita cukai palsu. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Helfi Assegaf mengatakan produsen rokok ilegal itu terdeteksi saat menjajakan produknya ke toko-toko kecil menggunakan mobil boks.
“Nilai barang yang kami sita sebesar Rp 13 miliar lebih. Kerugian negara akibat kehadiran rokok ilegal ini mencapai Rp 26,280 miliar,” ujar Helfi saat konferensi pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.
Indodata Research Center (IRC) mencatat angka konsumsi rokok ilegal mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan pada periode 2021-2024. Direktur Eksekutif Indodata Research Center Danis Saputra Wahidin mengatakan hasil pengkajian lembaganya menunjukkan konsumsi rokok ilegal naik 46,95 persen pada 2024 dibanding pada tahun sebelumnya.
“Maraknya rokok ilegal, terutama rokok polos tanpa pita cukai, menimbulkan kerugian negara senilai Rp 97,81 triliun,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Februari 2025.
Bea-Cukai membagi lima kategori rokok ilegal. Lima kategori itu adalah rokok tanpa pita cukai (rokok polos), rokok dengan pita cukai palsu, rokok dengan pita cukai bekas, rokok dengan pita cukai yang tak sesuai dengan peruntukannya, dan rokok dengan pita cukai yang tak sesuai dengan produknya (salah personalisasi).
Dari kelima jenis rokok ilegal itu, IRC menyatakan rokok polos menjadi yang paling diminati masyarakat sebesar 95,44 persen. Kemudian disusul rokok dengan pita cukai palsu 1,95 persen, rokok dengan pita cukai salah peruntukan 1,13 persen, rokok dengan pita cukai bekas 0,51 persen, dan rokok dengan pita cukai salah personalisasi 0,37 persen.
Barang bukti berupa 324 ribu batang rokok ilegal tanpa pita cukai yang disita oleh tim patroli kapal Kepodang-5001 Direktorat Kepolisian Perairan Korps Kepolisian Perairan dan Udara Baharkam Polri, di perairan galang Batam pada 31 Desember 2024. Dok. Polri
Dosen kebijakan publik Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto, menilai peredaran rokok ilegal masih marak karena tiga faktor utama. Pertama adalah tingginya angka permintaan akibat harga rokok legal yang terus meningkat. Dia menilai masyarakat meminati rokok tersebut karena harganya lebih murah ketimbang rokok dengan pita cukai resmi.
“Rokok ilegal sangat diminati terutama oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan perokok berat yang sensitif terhadap harga,” ujarnya.
Disparitas harga antara rokok legal dan ilegal, menurut dia, juga dimanfaatkan produsen untuk memenuhi permintaan pasar. Karena itu, dia menilai masalah ini sangat sulit diberantas melalui penegakan hukum.
Kedua, Firre menilai pemerintah lemah dalam upaya pencegahan. Dia menjelaskan, upaya pencegahan yang komprehensif adalah menyelesaikan masalah di hulu, yaitu menutup industri rokok ilegal. Ia mengingatkan aparat penegak hukum agar tidak hanya menangkap distributor barang ilegal tersebut. Menurut dia, yang terpenting justru menutup pabriknya.
Faktor terakhir, menurut dia, adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya mengkonsumsi rokok ilegal khususnya dan rokok pada umumnya. Pemerintah, menurut dia, perlu melakukan edukasi lebih gencar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Edukasi tersebut pun harus dilakukan terus-menerus. Bentuknya bisa melalui kampanye sosial dan pendidikan. Selain itu, dia menilai pemerintah perlu memberikan insentif bagi pelaku usaha yang taat aturan.
Penindakan hukum tanpa memberikan solusi atas akar masalah, menurut Firre, hanya akan sia-sia. Alasannya, sanksi hukum bersifat ultimum remedium (upaya terakhir). Sanksi ini bersifat post-factum, yang artinya baru diterapkan setelah peristiwa pelanggaran terjadi.
Firre berpandangan bahwa pendekatan ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mampu mencegah terjadinya pelanggaran sejak awal. Karena itu, dia menilai perlu upaya pencegahan komprehensif dan terintegrasi bila pemerintah serius ingin memberantas peredaran rokok ilegal.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam riset bertajuk “Rokok Ilegal di Enam Kota: Seruan untuk Memperkuat Penegakan Hukum dan Pengawasan Cukai” menyatakan maraknya peredaran rokok ilegal memperparah persoalan kesehatan masyarakat secara umum dan menghambat upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi merokok yang masih tinggi. Mengutip Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi merokok berada di angka 27,3 persen di semua kelompok usia.
Dalam riset yang dirilis pada April 2025 tersebut, CISDI menyatakan angka rata-rata prevalensi rokok ilegal di enam kota di Indonesia cukup besar, mencapai 10,77 persen. Keenam kota tersebut adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Selain itu, hasil riset CISDI menunjukkan 87,73 persen rokok ilegal tak memiliki merek terdaftar. Produk-produk ini, menurut CISDI, kemungkinan besar diproduksi oleh pelaku usaha kecil atau mikro yang tidak memiliki izin resmi. Maraknya pabrik rokok ilegal, menurut mereka, terjadi karena ketiadaan pembatasan kepemilikan mesin pelinting rokok di Indonesia.
Analisis lebih lanjut menunjukkan 63,58 persen dari kemasan rokok ilegal itu tetap mencantumkan pictorial health warning alias peringatan kesehatan bergambar selayaknya produk legal. CISDI menilai hal ini merupakan upaya produsen agar produk mereka terlihat lazim di mata konsumen walaupun menghindari kewajiban membayar cukai.
Penelitian itu juga mengungkap Makassar dan Surabaya sebagai dua kota dengan prevalensi rokok ilegal tertinggi, masing-masing sebesar 21,48 persen dan 20,61 persen. Menurut CISDI, tingginya angka ini terjadi karena Surabaya dekat dengan area perkebunan tembakau terbesar dan konsentrasi pabrik rokok tertinggi di Indonesia. Selain itu, Surabaya dan Makassar merupakan kota dengan pelabuhan besar yang menghubungkan Indonesia bagian tengah dan timur sehingga berpotensi menjadi jalur distribusi rokok ilegal.
Hasil riset itu menghasilkan empat rekomendasi kebijakan. Pertama, CISDI menilai pemerintah perlu memperkuat pengawasan di pelabuhan besar dan wilayah berisiko tinggi. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti yang berada di Makassar dan Surabaya, menurut mereka, berperan penting dalam penyebaran rokok ilegal di Indonesia.
Mereka menyarankan pemerintah segera memperkuat pemantauan dan penegakan hukum di titik-titik transportasi utama ini. Selain itu, mereka meminta pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone atau FTZ) karena beberapa bukti menunjukkan adanya potensi area ini sebagai saluran peredaran rokok ilegal dari luar negeri.
Kedua, CISDI juga menyarankan pemerintah memperkuat pengawasan terhadap produsen rokok mikro dan kecil, serta menutup produsen yang tidak memiliki izin resmi. Lebih lanjut, mereka meminta pemerintah memperketat regulasi penjualan dan kepemilikan mesin pelinting rokok.
Ketiga, mereka menilai pemerintah harus menerapkan sistem pelacakan dan penelusuran (track and trace) untuk memantau pergerakan produk tembakau pada semua tahap rantai pasok dengan waktu pasti. CISDI menilai sistem ini memungkinkan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea-Cukai, melacak produk rokok ilegal agar tidak mencapai konsumen akhir. Sistem ini juga dapat memastikan produsen rokok yang sah memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
Terakhir, CISDI menyarankan pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau dan Protocol to Eliminate Illicit Trade in Tobacco Products atau Protokol untuk Memberantas Perdagangan Ilegal Produk Tembakau dari Organisasi Kesehatan Dunia. Ratifikasi dua aturan itu, menurut mereka, memiliki urgensi yang tinggi dalam melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan tingkat konsumsi produk tembakau, dan menyelaraskan kebijakan nasional dengan upaya global dalam mengendalikan epidemi tembakau.
Selain itu, ratifikasi dua aturan itu akan membuka peluang bagi Indonesia menerima bantuan teknis dalam penerapan protokol serta sistem pelacakan dan penelusuran. Implementasi Pasal 15 dari protokol tersebut juga penting untuk mengamankan rantai pasok produk tembakau, khususnya melalui kewajiban perizinan bagi produsen rokok skala mikro dan kecil guna membatasi produksi rokok ilegal.