Adapun, rupiah memang telah merosot lebih dari 3% sepanjang tahun berjalan (year to date/YtD), menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di pasar negara berkembang.
Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi sejak akhir tahun lalu, terutama karena pasar Indonesia kehilangan daya tariknya di mata investor global. Kondisi ini didorong oleh kekhawatiran atas langkah-langkah ekonomi Presiden RI Prabowo Subianto serta kekhawatiran perluasan peran militer dalam masyarakat sipil.
“Kekhawatiran fiskal kemungkinan akan membebani mata uang,” kata Currency Strategist Bank of Singapore Moh Siong Sim dilansir Bloomberg pada Selasa (25/3/2025). Selain itu, terdapat kekhawatiran terjadinya repatriasi pembayaran dividen musiman oleh investor asing di pasar modal.
Gerak rupiah pun dipengaruhi sentimen global seperti kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Dia memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan terus mengekang volatilitas rupiah yang berlebihan menjelang pengumuman tarif yang mungkin akan dilakukan Trump pada 2 April 2025.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga terjadi seiring dengan lesunya pasar saham Indonesia, di mana telah tercatat arus keluar dana asing lebih dari US$2 miliar. Obligasi Indonesia juga berkinerja lebih buruk daripada obligasi pemerintah AS tahun ini.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pun masih di zona merah, melemah 12,98% sejak perdagangan perdana 2025. Net sell asing di pasar saham tercatat sudah menyentuh Rp33 triliun hingga Senin (24/3/2025).
“Pasar ekuitas yang gelisah, kekhawatiran yang berkelanjutan tentang lintasan defisit, dapat memperburuk volatilitas rupiah jangka pendek,” kata Senior APAC Market Strategist BNY Wee Khoon Chong. BI sendiri telah melakukan berbagai intervensi di pasar valuta asing spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan pasar obligasi untuk menstabilkan rupiah.
Direktur Pengelolaan Moneter dan Aset BI Fitra Jusdiman menjelaskan bahwa bank sentral melakukan intervensi dengan berani dan terukur untuk memastikan pasokan dan permintaan valuta asing seimbang, serta menjaga kepercayaan di pasar domestik.
Adapun, bank sentral mengaitkan pelemahan rupiah terutama dengan ketidakpastian global, termasuk tarif Donald Trump dan kebijakan suku bunga The Fed yang berpotensi lebih agresif.