Oleh : Yusuf Utsman Baisa
KNews.id – Diantara masalah besar yang sedang dialami saudara-saudara kita yang sedang bersemangat mengikuti “manhaj salafy” adalah : mereka secara sadar atau tidak sadar sedang mengkotak-kotakkan Ahlussunnah wal-jamaah seperti layaknya perilaku di kalangan hizbiyin.
Mereka menggunakan istilah “manhaj” sebagai alat baru dalam memasukkan orang kedalam hizibnya atau mengeluarkannya, bahkan seseorang bisa disingkirkan hanya sekedar dengan alasan “manhajnya bermasalah”, tanpa ada kejelasan apa yang dimaksud dengan “manhaj” dan apa yang telah dilanggarnya.
Sementara yang kita dapati dari para Ulama Assalafussholih bahwa manhaj itu adalah ketentuan dalam beragama yang datang dari Alloh dan RosulNya sesuai dengan pemahaman Assalafus-Sholih.
Kita meyakini bahwa “manhaj” mesti benar dan ma’shum karena datangnya dari Alloh dan RosulNya, kemudian diterima oleh para Ulama Assalafus-Sholih tanpa perbedaan pendapat.
Lain lagi persoalannya jika kita berbicara tentang “pendapat”, dimana tidak ada jaminan bahwa pendapat seseorang – selain Rosululloh SAW – mesti benar meskipun dia adalah seorang dari kalangan Ulama Assalafus-Sholih.
Hebatnya para Sahabat, Tabiin dan Tabiittabiin jika berbeda pendapat, mereka saling menghargai dan meyakini bahwa pendapat siapapun – selain Rosulululloh SAW – bisa benar dan bisa juga salah, tidak ada pendapat yang pasti benar dan ma’shum.
Saat ini kita berhadapan dengan banyak sekali permasalahan kontemporer yang sudah jelas belum pernah terjadi di zaman Rosululloh SAW dan juga di zaman 2 generasi terbaik berikutnya, sehingga mengundang para Ulama di zaman ini untuk berijtihad dan berfatwa, akibatnya terbitlah pendapat dan fatwa yang tidak mesti benar dan tidak ma’shum.
Namun kita menyaksikan saudara-saudara kita – sangat disayangkan – memilih dan memegangi salah satu pendapat Ulama dan menganggap orang yang berpegang dengan pendapat yang berbeda dengannya seolah-olah berbeda manhaj.
Fenomena lainnya yang juga kita sayangkan, dimana kita lihat pada saat ini – yang juga bertolak belakang dengan sikap Assalafus-Sholih dalam menyikapi pendapat – yaitu menentukan sikap dalam menghadapi sikap-sikap muslimin yang sedang mengalami gejolak sosial dan politik yang dahsyat dan sangat berpengaruh terhadap nasib Islam dan Muslimin.
Kita menyaksikan sikap “hizbiyah” yang semakin terasakan, dimana secara nyata kotak hizib mulai dibentuk dengan nama “Asatidz…” dikaitkan dengan lembaga mereka, untuk kemudian mereka lakukan “filterisasi” dikalangan para asatidz, ada ustadz yang mereka ambil dan ada pula yang mereka buang.
Rosululloh SAW ketika melepas sahabat berdakwah dibekalinya arahan yang mendekatkan orang kepada Islam dengan ungkapan “bassyiro wala tunaffiro”, sehingga orang merapat kepada kebenaran Islam dan bernaung dibawah payung Ahlussunnah wal-jamaah.
Semestinya kitapun bersikap demikian, sehingga umat Islam ini dirangkul dan didekatkan ke pangkuan kita, untuk kemudian kita jelaskan kepada mereka – dengan keakraban – tentang : apa yang dimaksud dengan manhaj salafy?
Padahal kita saat ini hidup di zaman yang penuh dengan fitnah, sehingga jurus “Tahrisy” (adu-domba) yang dikhawatirkan oleh Rosululloh SAW akan digunakan oleh Setan dalam memecah belah umat Islam, pada saat ini benar-benar jadi kenyataan dan telah bertebaran kemana-mana.
Muncul pertanyaan : Kalau ada seorang muslim telah meyakini dan mengamalkan Arkanul- Islam dan Arkanul-Iman dengan baik dan benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mengikuti pemahaman Assalafus-Sholih, apakah dia telah dinamai pengikut manhhaj salafy? Atau masih ada kewajiban lainnya? Misalnya harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan ustadz tertentu?
Siapapun yang telah mengerti manhaj salafy dengan baik dan benar akan menjawab “dia telah menjadi pengikut manhaj salafy bahkan jika dia terus bertahan hingga akhir hayatnya, insya Alloh dia diharapkan akan mendapatkan husnul-Khotimah”.
Alangkah indahnya, kalau saja dakwah salafiyah ini tidak dikaitkan dengan lembaga tertentu dan orang tertentu, maka tidak akan timbul sikap hizby yang akan memecah belah para pengusung dakwah ini, bahkan mereka bisa bekerjasama dan saling membantu untuk menjadi semakin kuat.
Kitapun tentunya meyakini bahwa lembaga dan manusia hanya sekedar alat dakwah, sehingga dalam prakteknya juru dakwah diperintahkan untuk mengajak orang kepada Alloh, bukan kepada lembaga tertentu ataupun orang tertentu.(Zs/NRS)
Discussion about this post