spot_img
Jumat, Maret 29, 2024
spot_img

Maju atau Mundur Pindah IKN?

Oleh: Muhammad Chirzin

KNews.id- Rencana pindah Ibu Kota Negara pertama kali digulirkan oleh Presiden Jokowi dalam Sidang Paripurna DPR RI 2019. Jokowi memohon ijin kepada DPR yang mulia untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Utara Kalimantan. Ibarat kata DPR kehilangan kesempatan untuk meminta pendapat Rakyat, apakah permohonan pindah Ibu Kota Negara Republik Indonesia diterima atau ditolak.

- Advertisement -

Muncullah tanggapan masyarakat luas tentang rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut. Tampaknya Pemerintah telah menindaklanjuti rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut dengan berbagai langkah, termasuk membuat sayembara desain pembangunan Ibu Kota Negara hingga Presiden meletakkan batu pertama pembangunan kawasan Ibu Kota Negara di titik 0 Km sekaligus mendeklarasikan namanya Ibu Kota Negara Nusantara, dengan upacara setor tanah dan air dari seluruh provinsi NKRI, tidak terkecuali DKI, yang disatukan dalan Kendi Nusantara.

Penetapan nama IKN Nusantara itu saja mengundang pro-kontra, termasuk menyangkut asal muasal istilah Nusantara. Di satu sisi, dalam sejarahnya Nusantara adalah sebutan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang meliputi daratan Singapura hibgga Thailand.

- Advertisement -

Di sisi lain, istilah Nusantara dipersempit untuk menyebut kawasan Ibu Kota Negara yang notabene berbau Jawa sentris, padahal maksud pindah Ibu Kota Negara itu sendiri untuk pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menggeser konsentrasi penduduk dan peredaran uang dan kesejahteraan dari pulau Jawa pada umumnya, dan dari Jakarta pada khususnya. Kembali ke permulaan, pertama, bahwa pindah Ibu Kota Negara adalah mungkin, tetapi apakah tidak harus dengan persetujuan Rakyat melalui Referendum?.

Kedua, pertimbangan/motif/tujuan pindah IKN, untuk apa atau siapa?

- Advertisement -

Jika tujuannya untuk menghindari banjir dan gempa bumi, ternyata banjir dan gempa bumi melanda kawasan tersebut juga. Ketiga, keputusan pindah IKN ke Kalimantan sudah direspons para pakar dari berbagai sisi yang kesimpulannya: lokasi itu sangat tidak layak, tetapi tetap diputuskan. Haruskah upaya pemindahan Ibu Kota Negara didukung?.

Keempat, salah satu keberatan pindah IKN adalah pembiayaan yang amat sangat tinggi sekali, dan berjangka panjang, hingga tahun 2045, sedangkan kondisi riel keuangan Negara berutang tinggi (7.000 triliun), akankah upaya pemindahan IKN diteruskan?.

Kelima, UU IKN sedang dalam gugatan, mengapa Presiden tetap dan telah melakukan langkah-langkah strategis berkenaan dengan  penyelenggaraan dan pengelolaan IKN? Apakah tidak lebih bijaksana bila proses pengembangan dan pembangunan IKN Nusantara tersebut dihentikan, hingga perkaranya selesai?.

Tentang utang negara, Misbakhun, Anggota DPR RI menulis, “Utang Kita Sebenarnya 17.500 Triliun.” Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai 15.600 triliun. Di atas adalah total utang pemerintah dalam rangka pembiayaan APBN. Utang menutup defisit pembiayaan APBN.

Sejak era rezim UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dimulai utang menggunakan mekanisme SBN (Surat Berharga Negara) State Treasury Bond yang lebih dikenal sebagai SUN (Surat Utang Negara). Era utang bilateral, multi lateral, dan utang kepada lembaga donor berkurang sangat tajam prosentasenya seiring dengan naiknya volume APBN kita, sehingga besaran defisit naik, dan jumlah surat utang makin membesar. SBN atau SUN diserap oleh pasar dan pembelinya bisa perbankan nasional, dana pensiun, lembaga asuransi, BPKH, LPS, BI dan siapa pun yang perlu investasi di government bond, baik asing maupun nasional.

Apakah angka Rp 7.014,58 triliun itu sudah merupakan total utang pemerintah? Secara matematika tanggung jawab pemerintah masih belum. Ada dua komponen perhitungan utang di luar utang pembiayaan APBN yang belum dihitung dalam struktur komponen utang pemerintah, yaitu:

(1) contingency debt (utang yg menjadi tanggung jawab negara), seperti utang BUMN. Jumlah utang BUMN saat ini hampir mencapai Rp 6.000 triliun.

(2) utang dana pensiun yang saat ini masih menggunakan metode beban langsung di APBN, padahal secara aktuaria dana pensiun ini harus dibuatkan pencadangan khusus sebagai beban biaya pensiun untuk ASN, TNI, dan Polri. Perkiraan jumlah beban utang pensiun mencapai sekitar Rp 4.500 triliun.

Kedua item di atas tidak pernah masuk dalam perhitungan neraca keuangan negara. Padahal secara best practices di seluruh dunia, saat menghitung neraca keuangan negara itu masuk dalam itungan government debt.

Kalau poin utang pembiayaan untuk APBN, contingency debt, dan utang dana pensiun dihitung semuanya masuk dalam neraca keuangan negara, maka total utang kita bisa mencapai 7.000+6.000+4.500=17.500 triliun.

Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai 15.600 triliun. Padahal menurut UU No.17/2003 batas utang atau ratio debt kita maksimal 60% dari PDB. Pengelolaan negara secara serampangan dengan hutang yang besar bakal jadi beban dan bom waktu yang akan meletus menjadi krisis maha dahsyat lebihi krismon 97/98.

Seorang penulis mengajukan pertanyaan,  “Sampai Kapan?”

Kita sedang menghadapi empat hal berat. Pertama, gelembung nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Nilai tukar yang ada sekarang adalah nilai semu. Sebab, ada doping berupa pinjaman dana dari luar negeri dalam US dolar yang terus-menerus masuk. Nilai tukar sebenarnya jauh di bawah yang ada sekarang. Pertanyaannya, sampai kapan doping itu bisa terus dilakukan?.

Kedua, gelembung utang. Untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, mega proyek kereta cepat, dan lainnya, pemerintah mengambil pinjaman dari luar negeri. Akibatnya, utang makin menumpuk. Bila ditambah dengan utang-utang BUMN dengan skema B to B, jumlah utang itu sudah lebih dari Rp 10.000 triliun. Beberapa di antaranya, mulai bulan Maret ini, bakal jatuh tempo. Bagaimana membayarnya?.

Ketiga, gelembung mega korupsi. Baru saja terbongkar mega korupsi di sejumlah lembaga keuangan non-bank, seperti Jiwasraya dan Asabri. Masih ada beberapa lagi yang mengalami keadaan serupa. Total kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun. Hal ini membuat lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan ketika tiba kewajiban membayar kepada para nasabahnya.

Keempat, gelembung unicorn. Saat ini tengah terjadi persaingan dahsyat di antara perusahaan-perusahaan e-commerce untuk bisa menjadi pemenang. Untuk itu, mereka tak segan menggelontorkan dana sangat besar untuk promosi melalui pemberian aneka diskon. Istilahnya bakar uang. Tentu, tidak semua bisa menjadi pemenang. Kehancuran yang kalah akan membawa implikasi kelesuan ekonomi yang lebih dalam.

Profesor Unpad singgung Hidden Political Agenda dalam Pemindahan IKN. Prof Susi Dwi Harijanti dalam sebuah sidang di MK beberapa waktu lalu (Ari Saputra/detikcom).

Jakarta – Guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD membeberkan berbagai alasan pemindahan ibu kota negara (IKN) di berbagai negara di belahan dunia. Ada yang berdasarkan alasan keamanan, tapi juga ada alasan politis menjauhkan rakyat dengan penguasa. Maksud itu disebutnya sebagai agenda politik terselubung atau ‘hidden political agenda’.

“Ibu kota negara sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat. Bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai ‘the powder kegs of protest’. Maka dari itu, menurut ahli politik Jeremy Wallace, pemerintah otoriter akan menggunakan pemindahan ibu kota negara sebagai taktik segregasi dalam rangka mengasingkan gerakan masyarakat sipil yang awalnya berpusat di ibu kota negara yang lama, sehingga menjadi berjarak jauh dengan pusat pemerintahan yang berada di ibu kota yang baru.” kata Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.

Prof Susi Dwi Harijanti menyitir pendapat Vadim Rossman, yakni tugas utama ibu kota negara adalah untuk memvisualisasikan dan mempresentasikan bangsa ke seluruh dunia. Dengan kata lain, ibu kota negara mewakili citra ideal dari suatu negara dan merupakan miniatur dari sebuah negara. Ahli sejarah Andreas W Daum berpendapat bahwa terdapat empat fungsi ibu kota bagi sebuah negara, yakni:

(1) fungsi administrasi,

(2) fungsi penunjang integrasi bangsa,

(3) fungsi simbolisasi bangsa, dan

(4) fungsi pelestarian nilai, budaya, dan sejarah bangsa.

“Berdasarkan pendapat tersebut, ibu kota negara tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi pula sebagai manifestasi identitas bangsa,” ucap Prof Susi.

Menurut Vadim Rossman, agar fungsi ibu kota sebagai penunjang integrasi bangsa dapat terwujud secara optimal, ibu kota harus dihasilkan melalui kompromi dari elemen-elemen bangsa yang terdiri atas etnis, agama, dan suku yang berbeda. Hal tersebut akan membuat ibu kota menjadi alat pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu bangsa.

“Montesquieu menggambarkan pula ibu kota sebagai kota yang menciptakan ‘general spirit’ bagi sebuah bangsa,” tutur Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.

Dalam beberapa kasus, dijumpai kondisi ketika ibu kota suatu negara tidak dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibu kota tersebut. Misalnya, ibu kota yang lama dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana alam, sosial, ataupun serangan militer. Maka dari itu, beberapa negara di dunia memutuskan untuk memindahkan lokasi ibu kotanya dengan harapan ibu kota baru dapat lebih baik daripada ibu kota sebelumnya.

“Namun Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibu kota dilakukan karena adanya ‘hidden political agenda’, misalnya dalam rangka memperkuat kekuatan politik suatu rezim,” beber Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.

Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi yakni:

1) mengasingkan atau memarginalisasi gerakan protes,

2) Homogenisasi etnis penduduk ibu kota, dan

3) pemindahan ibu kota ke wilayah asli penguasa.

Ibu kota negara sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai ‘the powder kegs of protest’. Hal tersebut pernah terjadi di Prancis pada 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris.

“Pemerintah Prancis memindahkan ibu kota sementara ke Versailles untuk menghindari protes. Begitu pula dengan Myanmar, pemerintah otoriter di sana memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw karena Kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para biksu yang kerap memprotes pemerintah,” kata Prof Susi menguraikan.

Stafsus Mensesneg sebut Pemerintah tancap gas Pindah IKN meski UU digugat Agar pemindahan ibu kota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni:

  1. Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibu kota negara.
  2. Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk mencapai tujuan negara.
  3. Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat.
  4. Lokasi mana yang paling organik, autentik, dan sesuai dengan identitas dan kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara.

“Mengingat fungsi fundamental ibu kota negara bagi sebuah bangsa, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibu kota harus mencerminkan ‘fundamental decision of a nation’. Hal tersebut juga sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibu kota negara yang hanya dilatarbelakangi oleh hidden political agenda,” tegas Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD, yang menyelesaikan S2 dan S3-nya di The University of Melbourne.

Judicial Review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor.

Ketua Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar menyatakan UU Ibu Kota Negara (IKN) sedikitnya melanggar tiga cacat. Salah satunya cacat moralitas konstitusional. Apa alasannya?

“Melihat fakta hukum yang ada bahwa proses pembentukan UU IKN yang dilakukan secara cepat (fast track), yang mana proses pembentukannya dilakukan secara ‘tergesa-gesa’ atau ‘ugal-ugalan’ telah banyak melanggar aspek prosedural (by pass law-making procedures) dan/atau dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipasi,” kata Zainal Arifin Mochtar.

Hal itu disampaikan dalam keterangan ahli dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tertuang dalam paper yang didapat detikcom dari kuasa hukum pemohon, Minggu (22/5/2022).

Zainal Arifin Mochtar memaparkan sejumlah poin kekurangan dan cacat dalam pembentukan UU IKN itu.

“Proses legislasi seperti ini memenuhi kriteria sebagai praktik abuse of the legislation process. Dengan demikian, proses pembentukan UU IKN adalah inkonstitusional prosedural,” tegas Zainal Arifin Mochtar. Selain itu, Zainal Arifin Mochtar menyatakan, melihat fakta hukum minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU IKN, sudah sebaiknya Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa para pembentuk undang-undang, DPR bersama pemerintah, telah melakukan pelanggaran konstitusional. Sebab, tidak menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menfasilitasi dan/atau membuka ruang partisipasi publik secara luas dan secara khusus kepada masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap pemindahan Ibu Kota Negara.

Dampak pemindahan IKN ke pemerataan ekonomi sangat kecil. Kesalahan UU IKN lainnya adalah proses pembentukan UU IKN, secara formal maupun material,  telah melanggar prinsip nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional.

Baik yang sudah dirumuskan dalam konstitusi maupun nilai-nilai konstitusional yang hidup (living constitution).

Menurut Zainal Arifin Mochtar, konstitusionalitas proses pembentukan undang-undang bukan hanya menyangkut persoalan prosedural (konstitusionalitas formil) dan substantif (konstitusional material) saja. Tetapi konstitusionalitas pembentukan suatu undang-undang dapat dilihat lebih dari perspektif tersebut, termasuk mencakup nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional yang tersirat di dalam konstitusi (UUD 1945).

“Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata negara,” beber Zainal Arifin Mochtar. Pendekatan ini dapat dijadikan dasar penilaian apakah undang-undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional.

“Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawas dan pelindung konstitusi (konstitusionalitas), dapat melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses pengujian konstitusionalitas dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang,” terang Zainal Arifin Mochtar.

Sebagaimana diketahui, judicial review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor.

Jadi, apakah pindah IKN maju atau mundur, Rakyatlah yang paling berhak menjawabnya. (AHM)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini