spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Lekra, Organ Kebudayaan PKI yang Suka Mengolok-olok Tuhan (Terakhir)

Pak AR Ikut Hadang Lekra

KNews.id- Sementara di Semarang, dai terkenal asal Yogya, Abdurrazaq Fachruddin—kemudian terkenal dengan sebutan Pak AR—yang saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama Jawa Tengah (1959-1964), bersama Pangdam Diponegoro Mayjen Sarbini dan Jaksa Tinggi Bustanil Arifin membentuk Pengajian Padi.

- Advertisement -

Tujuannya untuk meng-counter agitasi PKI dan Lekra yang memprovokasi rakyat melalui ketoprak agar tidak mempercayai Tuhan. Dengan bantuan dana pengusaha kaya Semarang, Haji Sulhan, Pengajian Padi mampu mengcounter kampanye ateisme yang sering dipentaskan dalam pertunjukan ketoprak di Semarang dan sekitarnya.

PKI dan Lekra pun kesal. Akibatnya Pak AR, kata Abdullah Affandi, aktivis perlawanan rakyat terhadap PKI di Yogya, tercatat sebagai target pembunuhan.

- Advertisement -

Mengetahui itu, Pak AR pun ke mana-mana selalu dijaga oleh para pendekar silat dari Tapak Suci Muhammadiyah. “Tiap malam rumah Pak AR dijaga para pesilat Tapak Suci untuk mengantisipasi kedatangan penculik dari PKI,” tutur Sukriyanto, putra Pak AR.

Atmosfir Indonesia semasa PKI berada di atas angin tahun 1955-an—sejak Pemilu pertama di mana PKI menjadi kekuatan politik yang besar di parlemen—sampai 1965 sangat mencekam.

- Advertisement -

Politik Hoax PKI

PKI melalui organ-organnya: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Lekra, BTI (Barisan Tani Indonesia), dan Koran Bintang Timur berusaha kuat mendominasi semua isu (sosial, politik, ekonomi, dan seni budaya) di Indonesia.

Bila perlu, PKI memaksakan kehendaknya dan menyebar isu-isu hoax untuk memenangkan gagasan-gagasannya di ranah publik dan parlemen.

Dari latar belakang itulah, kenapa kemudian rakyat—khususnya umat Islam—sangat marah kepada PKI pasca-G30S PKI. PKI yang memulai, maka PKI yang diakhiri. Seperti kata pepatah: Siapa yang menanam angin, maka dialah yang menuai badai.

Jadi, jangan salahkan umat Islam jika PKI hancur. Jangan bikin isu hoax bahwa PKI muncul akibat konflik elit militer. Dan jangan pula menyebar hoax bahwa kasus G30S adalah ciptaan Soeharto. Bukan… bukan itu!

PKI memang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Seperti Polpot yang membentuk Khmer Merah dan Kim Il Sung yang membentuk Korea Utara. Keduanya adalah rezim yang paling kejam di dunia. Mereka membantai rakyatnya yang tidak seidelogis dengan sangat-sangat kejam.

Haing Somnang Ngor, seorang dokter, dalam buku The Killing Fields, menceritakan bagaimana kejam dan bengisnya rezim komunis Polpot membunuh rakyat Khmer Merah yang nonkomunis.

Banyak ibu hamil yang dibelah perutnya; orang tua yang dibelah kepalanya; dan anak-anak yang dicincang seperti potongan kambing. Sungguh luar biasa kejamnya.

PKI itu sangat berbahaya. Tapi, sudah matikah mereka setelah ideologinya dilarang sejak 1966? “Jasmerah,” kata Bung Karno. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Ingat sejarah politik hoax yang diterapkan PKI masa lalu. Kita harus ingat sejarah. Ibarat pepatah dan kutipan lagu dangdut Rhoma Irama: PKI yang memulai, PKI yang mengakhiri.

Menabur Angin Menuai Badai

PKI memang harus berakhir karena ia telah merencanakan siasat untuk meng-komunis-kan Indonesia. Suatu hal yang mustahil terjadi di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Jadi, PKI itu telah menabur angin. Maka PKI-lah yang menuai badai. Umat Islam telah menjelma menjadi badai yang meluluhlantakkan PKI.

Betul, PKI luluh lantak. Yang mati akibat badai umat Islam itu mencapai jutaan orang. Wakilah, lima juta orang. Banyak sekali. Tapi, pinjam pernyataan Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh militer puncak yang selamat dari penculikan PKI: “Benar, banyak sekali orang-orang PKI yang jadi korban setelah partai komunis itu dibubarkan. Tapi akan lebih banyak lagi korban pada rakyat Indonesia jika PKI berkuasa!”

Dari perspektif inilah kita mengenang Arief Budiman. Ia salah seorang konseptor dan penandatangan Manikebu untuk melawan Lekra. Saat itu, Lekra sangat berkuasa. Dan, siapa pun tahu, keterlibatan Arief melawan Lekra sangat riskan dan membahayakan jiwanya. Tapi Arief tidak takut. Karena baginya: kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan harus di atas segala-galanya. Tribute for Arief! (AHM)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini