Laporan BPK terkait Anggaran, Analis: Pemerintah Jokowi terindikasi Korupsi?

101
anggaran
Ilustrasi Rapat Kabinet
Advertisement

Oleh: Muda Saleh, Analis Sosial Universitas Bung Karno

KNews.id- Makin hari kinerja pemerintah tampaknya makin menunjukkan ketidakmampuannya dalam menjalankan tata kelola anggaran. Bagaimana tidak, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak pelanggaran di berbagai sektor.

Advertisement

BPK Ragu Pemerintah dapat Bayar Utang

Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna beberapa hari lalu memberikan pernyataan bahwa pihaknya mengaku khawatir dengan utang yang sangat tinggi, pemerintah tak mampu membayarnya.

Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Paripurna, pada Selasa (22/6/2021) lalu. Dimana dalam pemaparannya, BPK melaporkan realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78t triliun atau mencapai 96,93% dari anggaran.

Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14% dari PDB.

Kendati demikian, realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya. Sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 245,59 triliun.

Sebagai informasi, pada akhir Desember 2020 saja, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp 1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.

BPK Temukan Pelanggaran dalam Penggunaan Anggaran PEN

Tak hanya soal utang, BPK juga menyampaikan adanya pelanggaran dalam penggunaan anggaran Penanganan Covid-19, dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Dimana Agung Firman Sampurna menjelaskan, setidaknya ada 6 poin yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.

Pertama, mekanisme pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) belum disusun.

Kedua, BPK menemukan adanya pencairan insentif perpajakan dalam program PC-PEN yang tidak sesuai dengan ketentuan pada 2020.

Ketiga, Agung mengatakan pengendalian dalam pelaksanaan belanja program PC-PEN sebesar Rp9 triliun pada 10 kementerian/lembaga tidak memadai.

Keempat, BPK juga menemukan adanya permasalahan dalam penyaluran belanja subsidi bunga Kredit usaha Rakyat (KUR) dan non-KUR, serta belanja lain-lain pada program Kartu Prakerja.

Kelima, realisasi pengeluaran pembiayaan tahun 2020 sebesar Rp28,75 triliun dalam rangka PC-PEN tidak dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan dan jadwal kebutuhan penerima akhir investasi.

Keenam, pemerintah belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja/pembiayaan PC-PEN tahun 2020 di tahun 2021 sebagai sisa dana SBN PC-PEN Tahun 2020 dan kegiatan PC-PEN tahun 2020 yang dilanjutkan di tahun 2021.

Diketahui, realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sejauh ini sebesar 29,9 persen dari total anggaran yang sebesar Rp699,43 triliun. Jika dihitung, realisasinya sekitar Rp209 triliun.

Adapun Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa penambahan alokasi anggaran PEN sengaja dilakukan pemerintah untuk menahan tekanan pandemi virus corona penyebab Covid-19 di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi.

“Kami terus memperbaiki dan menjaga masyarakat dan memulihkan ekonomi dengan APBN 2021,” ungkap Ani melalui unggahan di Instagram pribadinya, @smindrawati pada Sabtu (6/2) lalu.

BPK Sebut Kemensos Belum Kembalikan Kelebihan Dana Bansos Rp1,4 Triliun

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada kelebihan dana pada program bantuan sosial (bansos) dan belum disetor kembali ke kas negara. Totalnya ada sekitar Rp 1,48 triliun dari seluruh penyaluran bantuan sosial di tahun 2020.

BPK merinci ada kelebihan anggaran sebesar Rp 821,09 miliar untuk bantuan sembako kepada 1.614.831 keluarga penerima manfaat (KPM). Kemudian, Rp 91,34 miliar yang belum terdistribusikan kepada 96.483 KPM PKH pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

“Sebanyak 959.003 KKS tidak dapat didistribusikan kepada KPM Program Sembako dan saldonya belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 519,32 miliar,” tulis BPK dalam IHPS II 2020 BPK

Pelanggaran Kartu Pra-Kerja

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya menyatakan, bahwa telah menemukan adanya pelanggaran ketentuan dalam program pelatihan Kartu Prakerja tahun anggaran 2020. Adapun nilai yang dibayarkan kepada platform digital dan lembaga pelatihan tidak didasarkan atas pelatihan yang benar-benar diikuti oleh peserta Kartu Prakerja, yang berdampak pada pencapaian tujuan program tersebut.

“Yaitu terdapat pelatihan yang telah dibayarkan, namun pelatihan tersebut tidak diikuti oleh peserta atau status pelatihan tersebut belum selesai sampai dengan posisi 31 Desember 2020 sebesar Rp 125,93 miliar,” jelas BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, dikutip Selasa (22/6).

Selain itu, BPK juga menemukan bahwa program Kartu Prakerja di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian belum disalurkan kepada penerima manfaat sebesar Rp 6,83 triliun per 31 Desember 2020.

Hasil review Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kemenko Bidang Perekonomian atas usulan anggaran tambahan manajemen pelaksana Program Kartu Prakerja, melalui Bendahara Umum Negara (BUN) untuk mempertimbangkan metode-metode alternatif pendaftaran dan pelatihan seperti diatur dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2020 berdasarkan pertimbangan.

“Agar penerima manfaat program Kartu Prakerja sesuai dengan kriteria yang diatur dan pemanfaatan teknologi informasi yang belum merata,” tulis BPK.

Empat Temuan BPK Terindikasi Korupsi

Temuan-temuan yang disampaikan oleh BPK tentunya menjadi perhatian publik, dimana pemerintah sebelumnya terlalu over confident dalam menjalankan tata kelola keuangan. Terutama terkait penanganan pandemi covid-19.

Tentunya ini menjadi preseden buruk bagi pemerintah. Karena semua sektor anggaran mengalami masalah besar. BPK dalam hal ini dipastikan memiliki data kongkrit, sehingga tidak main-main dalam menyampaikannya kepada masyarakat.

Kerja pemerintah dalam menyelesaikan utang saja menurut BPK dianggap tidak mampu, terlebih penggunaan dana PEN yang bermasalah. Selain itu ada dana bansos yang masih nyangkut di Kemensos, serta Kartu Prakerja yang belum disalurkan kepada penerima manfaat sebesar Rp 6,83 triliun per 31 Desember 2020.

Keempat poin ini jelas harus diaudit oleh lembaga resmi serta dipastikan bahwa anggaran yang belum terpakai ataupun terpakai tersalurkan dengan benar. Jika tidak, maka besar kemungkinan terjadinya penggunaan dana secara semena-mena.

Masih Ingat Pasal 2 ayat (1) dalam Perppu Corona?

Pasal 27 dalam Perppu yang kerap disebut Perppu Corona atau Perppu Covid ini, dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah. Berikut bunyi pasalnya.

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Sepertinya, jika melihat Perppu ini, pemerintah sudah mengetahui akan terjadi hal tersebut. Maka, semakin besar dugaan adanya penyelewengan dana dalam penggunaan anggaran-anggaran tersebut.

Melihat ‘gagapnya’ penanganan pandemi covid-19 saat ini saja pemerintah seperti tak mampu membendung laju peningkatan, bahkan kini Rumah Sakit swasta telah membuka kran penyewaan kamar untuk isolasi mandiri, (Isoman) dengan harga bervariasi, Rp2-6 Juta dengan durasi waktu 12 hari.

Dengan demikian, masyarakat semakin mengalami kesulitan dana bagi yang terpapar covid-19. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mampu membayar rumah sakit swasta.

Mengingat kondisi ekonomi juga mengalami masalah besar dan kesulitan keuangan yang dialami masyarakat, berat rasanya untuk memberikan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah Jokowi.

Ini sangat membahayakan negara serta rakyat yang menaruh harapan besar pada pemerintah mengenai berbagai hal yang dialami saat ini. Jika ini terjadi dan betul-betul terjadi adanya indikasi korupsi besar-besaran, kepada siapa rakyat akan meminta pertolongan?. ( Ade.bcra)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini