spot_img
Sabtu, April 20, 2024
spot_img

Kiprah dan Perjalanan Hidup sang Sastrawan, Radhar Panca Dahana…

KNews.id- Noorca juga meneruskan pesan yang dikirimkan oleh kakak Radhar Panca Dahana, yakni Radhar Tribaskoro. Dalam pesan tersebut, Radhar Panca Dahana disebutkan meninggal dunia di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat.

“Telah berpulang malam ini pk. 20.00 adik saya tercinta Radhar Panca Dahana di UGD RS Cipto Mangunkusumo. Mohon maaf atas semua kesalahan dan dosanya. Mohon doa agar ia mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Aaminn YRA,” demikian bunyi pesan Radhar Tribaskoro yang diteruskan oleh Noorca.

- Advertisement -

Berikut kiprah dan perjalanan hidup Radhar Panca Dahana:

Esais, sastrawan, hingga jurnalis

- Advertisement -

Dilansir dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemenkdikbud), nama Radhar Panca Dahana memiliki julukan yang sangat beragam.

Ia dikenal sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Selain itu, Radhar pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah dihasilkannya.

- Advertisement -

Radhar lahir di Jakarta, pada 26 Maret 1965. Nama Radhar merupakan akromim dari nama kedua orang tuanya, yakni Radsomo dan Suharti. Ia merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar.

Kehidupan masa kecilnya sangat keras. Ayahnya mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter. Sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan tersebut adalah sabetan rotan. Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit rambut di ujung kepalanya.

Kerap membangkang, tapi bakatnya luar biasa

Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan karena sering pula disakiti secara fisik, membuat Radhar, pada akhir 1970, sering pergi dari rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Tempat favorit yang ditujunya adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang dikenal saat ini. Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah cerita pendek “Tamu Tak Diundang.”

Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.

Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi.

Kiprah Radar

Saat sekolah SMA di Bogor, ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri. Ketika Arswendo Atmowiloto membuat Koma (Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan menandai kiprahnya sebagai jurnalis.

Pada periode itu produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi tempat penampungan karyanya.

Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini. Karier Radhar sebagai jurnalis pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas.

Valens Doy, wartawan senior berpengaruh, menempatkannya sebagai pembantu reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja, seperti olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja.

Tidak diizinkan orangtua

Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor) dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD, wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai oleh teman-temannya.

Di SMA, ia kerap bertengkar dengan guru dan menolak sistem sekolah. Baca juga: Mengenang 23 Tahun Kepergian Kasino Warkop… Hal itu tidak mengherankan karena Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya.

Radhar Panca Dahana saat itu dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut diperbuatnya. Setelah lulus SMA, ia pun memutuskan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tetapi, harapannya untuk diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Padjadjaran, sirna.

Setelah itu, ia kembali mencoba masuk ke perguruan tinggi, kali ini ke Universitas Indonesia (UI). Ia diterima di sosilogi UI dan mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun. Pada 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Perancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia.

Pulang ke Indonesia

Baru setahun, Radhar pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Ketika itu, di Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat tergulingnya Soeharto dari kursi presiden.

Sepulang dari Perancis, Radhar mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan chronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan.

Dua buah ginjalnya dinyatakan sudah mati. Kumpulan buku karyanya: Homo Theatricus Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002) Jejak Posmodernisme (2004) Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006) Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007) Kumpulan puisinya ,antara lain:  Simponi Duapuluh (1988) Lalu Waktu (2003).

Kumpulan cerpen, antara lain Masa Depan Kesunyian (1995) Ganjar dan Si Lengli (1994) Cerita-Cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005) Kumpulan drama, antara lain: Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007) Memimpin kelompok Teater Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996).

Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Perancis. (AHM/kmp)

NB: Penulis pernah berjumpa dengannya dan berbincang-bincang waktu masih di TempoTV tahun 2011

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini