KNews.id – Jakarta, 5 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) telah melakukan pendampingan yang berlangsung pada tanggal 3 dan 4 Juni 2025 terhadap 14 orang massa aksi Mayday 2025 yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian pada 1 Mei 2025 lalu.
Sebanyak 13 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Mei 2025, dan satu orang lainnya pada 23 Mei 2025. Mereka dijerat dengan Pasal 212, 216, dan 218 KUHP, pasal yang kerap digunakan Negara untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat yang sah dan dijamin oleh Konstitusi.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia menegaskan bahwa aksi unjuk rasa tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang. Penerapan pasal-pasal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945, yang menjamin kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, juga melanggar Pasal 24 dan Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, penerapan pasal-pasal pada para korban kriminalisasi juga melanggar Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998), yang memberikan perlindungan terhadap pelaku penyampaian pendapat dan secara eksplisit melarang pembubaran paksa sebagaimana termaktub pada Pasal 18 ayat (1). Maka, pengkriminalan peserta aksi menggunakan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap hak sipil yang sah dan dijamin oleh hukum nasional maupun internasional.
Kekerasan yang dialami oleh 14 massa aksi, mulai dari penangkapan sewenang-wenang, tindakan represif di lapangan, hingga rangkaian proses pemeriksaan yang menyimpang seperti “interview” dan “klarifikasi” — yang sama sekali tidak diatur dalam hukum acara pidana — menunjukkan pola pelanggaran yang disengaja dan dilakukan secara sistematis oleh aparat.
Framing negatif yang dibangun sejak awal hingga penetapan status tersangka tanpa dasar yang sah, merupakan bukti nyata bahwa kepolisian secara terang-terangan telah meludahi hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini bukan hanya soal pelanggaran prosedur, tapi bentuk nyata pembungkaman terhadap ruang demokrasi.
Sebelumnya, TAUD telah mengirimkan surat permohonan penghentian penyidikan (SP3) dan penundaan pemeriksaan pada panggilan pertama (14 Mei 2025), dengan alasan korban masih membutuhkan pemulihan fisik dan psikologis akibat kekerasan yang dialami. Alih-alih menanggapi surat tersebut, Polda Metro Jaya justru mengirimkan panggilan kedua pada 23 Mei 2025, dengan mengabaikan alasan-alasan yang sah dan manusiawi dari korban.
Adapun beberapa temuan TAUD dalam proses pemeriksaan korban penangkapan sebagai tersangka yang dilakukan pada 3 dan 4 Juni 2025 adalah sebagai berikut:
Pertama, terdapat upaya penghilangan jejak kekerasan oleh aparat. Dalam proses pemeriksaan, pengakuan korban mengenai tindakan kekerasan dan kekerasan seksual yang dialami saat penangkapan, berulang kali berusaha dinihilkan oleh pihak penyidik. Hal ini merupakan bentuk pengabaian terhadap trauma dan bukti kekerasan yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam proses hukum.
Kedua, terdapat pertanyaan yang mendelegitimasi hak konstitusional korban. Penyidik menanyakan soal “izin” untuk mengikuti aksi demonstrasi dan pendirian pos medis, pertanyaan ini menggiring narasi bahwa penikmatan hak menyampaikan pendapat serta kerja kerelawanan dalam keberlangsungan penyampaian pendapat memerlukan persetujuan negara. Hal ini menunjukkan terdapatnya upaya untuk mendelegitimasi hak berkumpul dan menyatakan pendapat, yang dilindungi konstitusi dan merupakan pondasi utama demokrasi.
Ketiga, terdapat upaya mendelegitimasi kerja-kerja paralegal dan kerelawanan paramedis. Empat di antara korban yang dijadikan tersangka pada kasus ini merupakan relawan medis yang berjaga di aksi Mayday 2025. Pada proses pemeriksaan terhadap keempat paramedis tersebut, berulang kali penyidik cenderung mengarahkan narasi mengenai tidak terdapatnya relevansi antara latar belakang pendidikan mereka dengan perannya sebagai paramedis. Hal ini membuktikan minimnya pengetahuan serta pemahaman kepolisian terhadap kerja-kerja kerelawanan berbasis kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh keempat paramedis yang dijadikan tersangka tersebut.
Dua di antara 14 orang massa aksi juga berstatus sebagai Paralegal yang menjalankan kerja-kerja pendampingan hukum. Ketentuan Undang-Undang 16/2011 tentang Bantuan Hukum dan Pasal 3 ayat (1) Permenkumham No.3/2021 tentang Paralegal memberikan jaminan perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan dalam menjalankan tugasnya baik di dalam maupun luar pengadilan. Semestinya pihak kepolisian tidak melakukan penangkapan apalagi menetapkannya sebagai Tersangka.
Keempat, terdapat tendensi mengkerdilkan aksi hari buruh yang berlangsung di depan DPR/MPR RI. Pada proses pemeriksaan, penyidik juga turut mempertanyakan mengapa para korban yang dijadikan tersangka tersebut memilih untuk hadir di depan gedung DPR/MPR RI alih-alih menghadiri aksi hari buruh di Monas yang dihadiri oleh Presiden RI. Selain tidak relevan dengan pasal-pasal yang dituduhkan, pertanyaan tersebut juga dapat diindikasikan sebagai bentuk upaya dari Kepolisian untuk menciptakan bingkai negatif terhadap aksi hari buruh yang berlangsung di depan gedung DPR/MPR RI serta mengkerdilkan hak atas kebebasan berkumpul yang dipilih secara merdeka oleh para korban.
Kelima, terdapat pelanggaran terhadap hukum acara pidana yang berlaku. Beberapa korban ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah dilakukan pemeriksaan atau pembuatan Berita Acara Pemeriksaan sebagai Saksi/Calon Tersangka terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2024. Para korban juga mengalami “pemeriksaan” tanpa diberitahukan hak-haknya dan dalam situasi ketidakjelasan mengenai tahap yang mereka jalani dalam sistem peradilan pidana.
Keenam, berangkat dari terdapatnya berbagai pertanyaan yang tidak relevan dan proses hukum yang tidak sah serta bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku, seluruh korban yang dijadikan tersangka menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Penolakan ini dilakukan sebagai bentuk pernyataan bahwa keempat belas korban menentang secara keras status tersangka terhadap mereka serta terhadap seluruh upaya kriminalisasi atas hak penyampaian pendapat yang dimiliki oleh setiap warga negara
TAUD menilai proses hukum terhadap para korban ini menyimpang secara prosedural dan substansial. Mereka adalah korban, bukan pelaku. Mereka menjadi sasaran kekerasan aparat, namun justru dikriminalisasi secara terbuka.
Oleh karena itu, TAUD mendesak:
- Presiden RI untuk menghapuskan segala bentuk kriminalisasi terhadap buruh, petani, nelayan, miskin kota, pegiat antikorupsi dan mahasiswa yang masih berlangsung sampai saat ini serta menjamin pelaksanaan hak penyampaian pendapat dan menghormati nilai-nilai pemenuhan HAM;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Kapolda Metro Jaya) c.q. Direktur Reskrimum untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);
- Kapolri untuk melakukan evaluasi dan proses hukum terhadap aparat yang diduga kuat melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia;
- Kapolri untuk melakukan dan memprioritaskan pemulihan hak-hak korban secara menyeluruh, termasuk hak atas keadilan, kebenaran, dan jaminan ketidak berulangan;
- Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera memberikan jaminan perlindungan terhadap 14 (empat belas) orang masa aksi korban kriminalisasi sebagai Pembela Hak Asasi Manusia (Pembela HAM) yang dilindungi oleh UU;
6. Mahasiswa, buruh, akademisi, dan seluruh kelompok masyarakat sipil untuk bersama- sama bersolidaritas melawan praktik kotor penegakan hukum dan kriminalisasi;
Kami menyerukan kepada masyarakat sipil, media, dan komunitas hukum untuk mengawasi proses ini secara ketat. Demokrasi tidak akan tumbuh dari represifnya aparat terhadap warga yang menyuarakan keadilan.
Hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
YLBHI – LBH Jakarta – KontraS – LBH Pers – LBH APIK Jakarta – ICJR – LBH Masyarakat – WALHI – Greenpeace Indonesia – KIARA – Trend Asia – PBHI – Lokataru Foundation – PSHK Indonesia – IM57+ Institute – SAFEnet – AJI Indonesia – PPMAN – Amnesty International Indonesia – JATAM – Paralegal Jalanan Jakarta – AMAR PILO – ICW – PUSAKA Bentala Rakyat – Imparsial – DFW Indonesia.
(FHD/NRS)