spot_img
Selasa, April 23, 2024
spot_img

Kemapanan Tasawuf di Tangan al-Ghazali

KNews.id- Berkat Imam Ghazali, tasawuf sebagai ilmu menjadi kian kukuh dan diterima luas Muslimin.

Sekitar paruh awal abad ketiga Hijriyah, tasawuf sudah mulai menampakkan jati dirinya sebagai sebuah ilmu. Perlahan namun pasti, paradigma keilmuan tasawuf pun menjadi kian mapan.

- Advertisement -

Proses yang dilalui tasawuf untuk mencapai titik itu tidaklah mudah. Pelbagai rintangan dihadapi, semisal tuduhan sesat, bidah, dan bahkan kafir yang disematkan pihak-pihak anti-tasawuf pada para pelaku dan pengikutnya.

Sejarah mencatat pelbagai penolakan terhadap suatu laku beragama ini. Bagaimanapun, tidak jarang pula tasawuf terlahir kembali dengan kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnnya.

- Advertisement -

Tasawuf sebagai ilmu mencapai kemapanannya terjadi di tangan Imam al- Ghazali. Abdul Kadir Riyadi dalam buku Arkeologi Tasawuf menjelaskan, sosok yang bergelar Hujjatul Islam berhasil menciptakan sayap bagi ilmu ini sehingga mampu terbang lebih tinggi.

Hujjatul Islam berhasil menciptakan sayap bagi ilmu ini sehingga mampu terbang lebih tinggi.

- Advertisement -

“Sayap” yang dibuat al-Ghazali untuk tasawuf ada sepasang, yakni terdiri atas fikih dan filsafat. Adapun “raga”-nya adalah tarekat. “Indra penglihatan”-nya adalah wahyu Illahi. “Kedua telinga”-nya adalah logika penalaran. “Kaki-kakinya yang kokoh” adalah syariat.

Al-Ghazali menapaki jejak intelektual yang panjang. Mulanya, dia sendiri asyik berfilsafat. Namun, ketika masuk lebih dalam, dia menemukan ada kerancuan di dalam bidang itu sehingga mengoreksi pendapat sejumlah filsuf dalam beberapa poin.

Beberapa di antaranya adalah pendapat para filsuf tentang “keabadian alam”. Dalam Tahafutul Falasifa, al-Ghazali mengoreksi argumentasi ini dengan mengingatkan bahwa derajat Allah selalu yang tertinggi. Bahwa tidak ada yang abadi selain Zat Yang Mahatinggi. Allah sudah ada sejak alam belum diciptakan. Jadi, tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa alam muncul dengan sendirinya.

Dari filsafat, sang Hujjatul Islam kemudian memasuki ranah tasawuf. Ini diceritakannya panjang lebar dalam bukunya yang semi-autobiografi, Al-Munqidz minad Dhalal. Dalam kitab itu, tergambar betapa tingginya rasa ingin tahu sang imam. Dia tak puas hanya dengan mendengar tasawuf dari mulut ke mulut.

Kehidupan mapan yang sudah dijalani ditinggalkannya. Dia tanggalkan jabatan sebagai kepala Madrasah Nizamul Muluk Baghdad yang sangat terkenal di zamannya. Dari situlah pengembaraan spiritualnya bermula. Mata batinnya semakin tajam melihat realita sehingga menyingkap perasaan batin dan sisi terdalam manusia yang selama ini tidak diketahui banyak orang.

Dari al-Ghazali, tradisi tasawuf kemudian tumbuh dan kemudian dikembangkan oleh banyak ulama berikutnya.

Dari al-Ghazali, tradisi tasawuf kemudian tumbuh dan kemudian dikembangkan oleh banyak ulama berikutnya. Sedangkan tradisi falsafah menepi ke Andalusia dan wilayah Persia. Sang Hujjatul Islam juga dinilai mampu meyadarkan para sufi akan pentingnya tarekat sebagai penyangga paling penting bagi tasawuf.

Tradisi olah batin ini tanpa tarekat adalah ibarat jiwa tanpa badan. Menurut Abdul Kadir, al-Ghazali telah menegaskan, nutrisi tasawuf hanya didapat melalui tarekat. Karena itu, mendirikan tarekat adalah jalan paling strategis untuk membesarkan dan merawat ilmu ini.

Ajakan ini disambut oleh para sufi, termasuk Abu Hasan Ali as-Syadzili, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abu Najid Suhrawardi. Mereka kemudian segera mendirikan tarekat. Setelah 50 tahun sejak wafatnya al-Ghazali, tarekat sudah berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam.

Setelah 50 tahun sejak wafatnya al-Ghazali, tarekat sudah berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam.

Sayangnya, dalam perkembangnya tasawuf kemudian lebih sering diidentikkan dengan tarekat. Bila sudah demikian, nuansa ilmiahnya cenderung tidak tampak atau bahkan hilang. Padahal, tasawuf dan tarekat itu berbeda walau terkesan menyatu.

Tasawuf untuk ihsan

Agama terdiri atas tiga unsur penting, yakni Islam, iman, dan ihsan. Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadis sahih yang populer. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan padanya. Tambahan pula, tidak seorang pun dari para sahabat Nabi SAW yang mengenalnya.

Kemudian, pria misterius itu langsung duduk menghadap Rasulullah SAW. Tiap kali dirinya bertanya perihal Islam, iman dan ihsan, Nabi SAW menjawabnya dengan lugas. Yang mengherankan para sahabat, tiap beliau selesai menjawab, maka orang itu menyatakan, “Engkau benar.”

Lantas, Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Umar.

“Itulah Jibril, datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.”

Pokok mengenai ihsan dapat ditemukan dalam ilmu tasawuf. Sebab, sasarannya adalah akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi serta menjadi dekat (muraqabah) dengan Tuhan. Di samping itu, tasawuf berfokus pada membuang kotoran yang terdapat dalam hati yang mendinding (menjadi hijab) antara hamba dan Rabbnya.

Sebab, sebagaimana sabda Rasul SAW, ihsan didefinisikan sebagai “beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Walaupun seorang hamba tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat.” (RZ/RPL)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini