KNews.id – Sejumlah akademisi dan 500an mahasiswa membedah keberhasilan Jakarta kota kolaborasi sebagai kota global. Menurut para narasumber, keberhasilan Jakarta Kota Kolaborasi di bawah kepemimpinan Anies Baswedan membuat Ibu Kota Nusantara (IKN) semakin tidak relevan.
Pakar Sosiologi Perkotaan Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Prof Sulfikar Amir menyebut tujuan pemerintah membangun IKN untuk pemerataan pembangunan adalah kekeliruan cara berpikir. “Pemerataan pertumbuhan sama sekali tidak ditentukan oleh lokasi ibukota.
Anda lihat ibu kota Amerika Serikat di Washington DC yang ada di pantai timur, tetapi justru California yang berada jauh dari ibu kota adalah negara bagian yang paling kaya. Sementara negara bagian yang paling miskin justru West Virginia yang dekat dengan ibu kota yaitu hanya 2 jam dari Washington DC,” ujar Sulfikar dalam Studium Generale IDN Future di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sulfikar menekankan bahwa pemindahan Ibu Kota atas nama pemerataan pembangunan adalah proyek yang tidak punya basis teknokratik dan cacat perhitungan. Selain itu, alasan pemindahan Ibu Kota karena dianggap tidak terbendungnya beban sosial-ekonomi Jakarta, justru tidak relevan karena Jakarta masih bisa dibenahi dengan pendekatan dan tata kelola kolaborasi.
“Jakarta mengalami perubahan signifikan 10-15 tahun terakhir, terutama di bawah kepemimpinan Anies Baswedan. Artinya masalah Jakarta bisa diselesaikan. Jakarta adalah proses yang memberi kita optimisme bahwa kota-kota Indonesia bisa dibenahi. Maka pemerataan pembangunan mestinya yang dibangun bukan 1 kota tapi 18 kota besar di seluruh Indonesia,” ungkap Sulfikar.
Sementara Pakar Tata Kota UGM, Dr Tri Mulyani Sunarharum, Kota Kolaborasi perlu diwujudkan di skala nasional, meski ada banyak tantangan untuk mewujudkannya. “Di pemerintahan tantangannya adalah bekerja masih ego sektoral, antar pemerintah di level kota/kabupaten dengan provinsi dan nasional. Harus ada iklim kolaborasi yang memungkinkan adanya dialog dua arah, tidak didominasi keputusan top down tapi juga bottom up, dan cross sectoral,” tutur Mulyani.
Menurutnya proses kolaborasi bisa bekerja dengan baik ketika pemerintah mendapatkan kepercayaan publik, dan pemerintah mau memberikan kepercayaan pada publik. Sulfikar Amir mengibaratkan kota seperti organisme yang tumbuh, menyerap sumber daya, melakukan proses produksi dan kemudian mati.
“Ada kota yang hidup dan mati, ada kota yang belum sempat hidup sudah mati,” ujar Sulfikar. Senada dengan Sulfikar, Direktur RUJAK Centre for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyebut bahwa IKN tidak mencerminkan kebutuhan kota-kota masa depan.
“IKN tidak mencerminkan kota masa depan, ia hanya kumpulan bangunan tanpa manusia, ia akan mengulang kesalahan lama pembangunan urban di Indonesia berdekade-dekade lamanya. IKN tidak bisa menjadi kota yang dapat dicontoh kota-kota lain di Indonesia.”