spot_img
Sabtu, April 20, 2024
spot_img

Invasi Rusia ke Ukraina Menjadi Peringatan dan Pelajaran Penting untuk Jepang, Berikut Ulasannya…

KNews.id- Agresi militer Rusia terhadap Ukraina telah menjadi peringatan keamanan yang mengerikan bagi banyak negara. Kehancuran yang mengerikan dan korban dengan jumlah besar yang diderita Ukraina telah mendorong para pemimpin politik di seluruh dunia untuk mulai memikirkan kembali kebijakan dan strategi keamanan mereka.

Adalah Finlandia dan Swedia mewakili dua kasus untuk kaji ulang yang strategis yang paling menonjol dari kebijakan keamanan negara. Setelah beberapa dekade mengejar strategi besar yang ditujukan terutama untuk memastikan situasi damai dengan Rusia, negara-negara Skandinavia ini sekarang justru cenderung memilih bergabung dengan NATO.

- Advertisement -

Demikian pula ddngan negara Jepang yang terletak di timur jauh. Jepang tidak lagi untuk dapat tetap melindungi diri dari pergeseran dampak yang dipicu oleh perang di Ukraina.

Bertindak bersama dengan AS dan Eropa, Jepang telah meningkatkan sanksinya sendiri terhadap Rusia dan mulai menerima pengungsi dari Ukraina, meskipun dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada banyak negara Barat.

- Advertisement -

Ketika Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014, pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe saat itu menahan diri untuk tidak menjatuhkan sanksi serius terhadap Moskow, menghancurkan hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar Barat.

Kali ini, pemerintah Jepang telah mengambil sikap tegas dan keras terhadap agresi Rusia, yaitu bergabung dengan AS dan Eropa dalam menekan Moskow. Ini tidak diragukan lagi merupakan tanggapan dan keputusan yang tepat atas pelanggaran berat Rusia terhadap kedaulatan Ukraina.

- Advertisement -

Namun, Jepang masih jauh dari kata siap untuk menghadapi krisis keamanannya sendiri di masa depan. Para pembuat kebijakan di Jepang perlu belajar beberapa pelajaran penting dari bagaimana perang dimulai dan sedang diperjuangkan untuk memetakan rencana membuat negaranya tidak terlalu rentan terhadap ancaman keamanan.

Pembuat kebijakan dan pakar Jepang mengatakan perang yang sedang berlangsung di Ukraina menawarkan tiga pelajaran penting bagi Jepang. Pertama, Anda hanya dapat mengandalkan sekutu keamanan formal dalam situasi seperti itu, tidak peduli berapa banyak negara sahabat yang anda miliki. Inilah kenyataan yang rentan dan sangat jelas yang telah muncul ke permukaan.

Hal ini ditunjukan bahwa saat ini, baik AS maupun Eropa tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina untuk memerangi pasukan Rusia meskipun mereka telah menyediakan berbagai senjata ke negara yang diperangi. Ini karena Ukraina bukan anggota aliansi militer NATO.

Sementara sejauh ini Jepang telah memperluas hubungan keamanannya dengan Australia, India, Inggris, dan Prancis. Tokyo juga telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat apa yang disebut kerangka kerja sama keamanan Quad dengan AS, Australia, dan India.

Langkah-langkah strategis ini penting tetapi tidak satupun dari mereka dapat menggantikan aliansi Jepang dengan AS. Dan sangat penting untuk pertama dan terutama adalah meningkatkan sistem pertahanan nasional yang didasari perjanjian keamanan Jepang-AS. Kedua, seperti kata pepatah, Tuhan membantu mereka yang membantu diri mereka sendiri.

Ukraina telah menerima dukungan dari banyak negara karena rakyatnya telah memerangi penjajah dengan keberanian dan tekad yang gigih. Negara-negara tidak dapat membantu Ukraina jika militernya dengan cepat menyerah.

Bagaimana pasukan Ukraina melawan penjajah, memberi pelajaran banyak tentang pentingnya Jepang untuk dapat mempertahankan diri secara efektif. Pada pertengahan 2010, Perdana Menteri Abe mengeluarkan instruksi kepada pejabat senior kementerian pertahanan.

Meskipun kata-kata persisnya tidak diketahui, namun dapat dipahami bahwa, “ketika Kepulauan Senkaku diserbu, hal terakhir yang harus anda lakukan adalah segera mencari bantuan AS. Sebuah aliansi tidak akan berhasil kecuali Jepang terlebih dahulu berusaha keras untuk mempertahankan diri.”

Hal ini dapat berlaku untuk setiap bagian dari wilayah Jepang lainnya.

Jika Jepang tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mempertahankan diri, AS tidak akan mengambil risiko besar untuk mempertahankannya. Ketiga, kepemimpinan politik sama pentingnya dengan kekuatan militer dalam menentukan hasil perang.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, tetap berada di Kyiv, ibu kota, meskipun terancam nyawanya, saat ia mengumpulkan rakyat dan militernya untuk berdiri bersama melawan Rusia.

Zelenskyy telah memimpin pertempuran, terlibat dalam pembicaraan gencatan senjata dan menjangkau dunia dengan permintaan dan informasi. Sebaliknya, Presiden Rusia Vladimir Putin telah membuat banyak kesalahan, mengelilingi dirinya dengan “yes-men” dan menindak protes anti-perang di Rusia.

Satu masalah yang mengkhawatirkan menyangkut pencegahan nuklir. Baik keberadaannya saat ini, maupun dampaknya jika suatu waktu digunakan. Senjata nuklir Rusia telah menghalangi AS untuk melakukan intervensi langsung dalam perang, tetapi persenjataan nuklir AS telah gagal menghentikan Rusia untuk menyerang Ukraina.

Dinamika yang sama dapat terjadi dalam kemungkinan krisis di Taiwan. Jika China menginvasi pulau itu, AS mungkin ragu untuk mengirim pasukan untuk mendukung Taipei karena takut akan terjadi perang nuklir.

Direktur Program Pertahanan, Strategi dan Keamanan Nadional Istitut Kebijakan Strategis Australia mengatakan, “masalah di Eropa saat ini adalah hanya senjata nuklir Rusia. Sekutu AS harus bekerja dengan Amerika untuk membuat penangkal nuklir mereka lebih kredibel,” kata Michael Shoebridge.

“Nuklir Rusia menghalangi AS Namun, senjata nuklir AS dan NATO tidak memiliki kredibilitas dalam menghalangi Putin dari agresinya yang mengerikan.” “Demikian pula, situasi ini akan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana China memandang kemampuan penangkal nuklir AS. Jadi kita perlu menemukan cara dengan AS untuk membangun kembali kredibilitas penangkal nuklirnya.” Tegasnya.

Shoebridge sebelumnya mengepalai divisi koordinasi pertahanan, intelijen dan penelitian di departemen perdana menteri Australia.

Ini bukan pertama kalinya sejak Perang Dingin mulai mereda bahwa Jepang dikejutkan oleh kekuatan-kekuatan negara-negara yang meluncurjan kekuatan militer mereka.

Perang Teluk, yang dimulai pada tahun 1991;
perang pimpinan AS melawan Afghanistan, yang dimulai pada 2001; dan Perang Irak, 2003; semuanya berdampak serius pada Jepang dan diplomasinya.

Yukio Okamoto, mendiang mantan diplomat Jepang, menjelaskan dalam otobiografinya baru-baru ini bagaimana pemerintah Jepang berjuang menghadapi tantangan kebijakan yang ditimbulkan oleh perang-perang itu. Okamoto terlibat dalam ketiga konflik sebagai diplomat atau penasihat khusus perdana menteri.

Dalam Perang Teluk, AS membentuk koalisi luas dari sekitar tiga lusin negara untuk memerangi Irak, yang menginvasi Kuwait. Washington sangat mendesak Tokyo untuk bergabung dengan koalisi, tetapi permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya memicu kebingungan dan kontroversi pahit di Jepang.
Pada akhirnya,

Tokyo memutuskan untuk menulis cek senilai $13 miliar untuk membantu membiayai operasi militer. NamunJepang dikritik secara internasional karena dinilai terlalu sedikit, terlalu terlambat.

Trauma oleh pengalaman itu, Jepang mengirim Pasukan Bela Diri untuk mendukung perang pimpinan AS saat melawan Afghanistan dan Irak.
SDF terlibat dalam misi pengisian bahan bakar di Samudra Hindia selama Perang Afghanistan dan operasi kemanusiaan di Irak.

“Namun keikutsertaan Jepang ini tidak mengubah kebijakan yang mempertaruhkan kekuatan negaranya untuk melindungi negara lain,” menurut Okamoto. “Kehadiran pasukan SDF Jepang di Irak masih dilindungi oleh pasukan asing.” Demikian Okamoto menutup bukunya yang mengingatkan tentang kebijakan keamanan Jepang.

Dia mengatakan Jepang telah lama menjaga pengeluaran pertahanannya seminimal mungkin, menabung untuk kemakmuran dan kesejahteraan, dan tidak perlu khawatir menyelamatkan pasukan asing yang diserang. “Namun kebijakan Prioritas Jepang ini tidak lagi berkelanjutan,” katanya. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah bergeser dari kebijakan Prioritas Jepang.

Pada bulan Maret 2016, sebuah undang-undang mulai berlaku yang memungkinkan negara itu melakukan pertahanan diri kolektif dalam skala terbatas.

Hal ini memungkinkan SDF untuk mendukung AS dan kekuatan lain dalam krisis yang mengancam kelangsungan hidup Jepang, bahkan jika negara tersebut tidak diserang secara langsung.

Tetapi faktanya disadari bahwa sistem pertahanan nasional Jepang penuh dengan lubang dan kerentanan, mengingat situasi keamanan yang semakin berbahaya di sekitar Jepang.

Sambil memberikan dukungan sebanyak mungkin ke Ukraina, Jepang juga perlu mengumpulkan pelajaran berharga dari perang dan menggunakannya untuk meningkatkan keamanannya sendiri. (AHM/intp24)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini