KNews.id – Jakarta – Universitas Harvard terlibat perselisihan sengit dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Konflik itu bermula usai Harvard menolak mematuhi tuntutan Trump, yang di antaranya meminta kampus menghapus program keberagaman hingga membatasi aktivisme civitas akademika.
Penolakan ini membuat Trump meradang sampai memutuskan membekukan dana hibah miliaran dolar terhadap Harvard. Selain itu, Trump juga meluncurkan serangkaian aksi baru yang bertujuan menekan universitas ternama ini.
Terlepas dari perlawanan Trump, aksi berani Harvard sendiri dibanjiri dukungan dari banyak universitas serta tokoh-tokoh publik. Mantan Presiden AS Barack Obama termasuk di antara yang mendukung langkah Harvard, dengan menyatakan bahwa perguruan tinggi ini telah menjadi teladan karena berani membela kebebasan akademik.
Berikut tindakan ‘gila’ pemerintahan Trump terhadap Harvard.
Pada Senin (14/4), beberapa jam setelah Harvard menolak patuh, Satuan Tugas Gabungan untuk memerangi anti-Semitisme mengumumkan akan membekukan dana hibah Harvard senilai $2,2 miliar atau sekitar Rp37 triliun.
Satuan tugas menyebut pembekuan dilakukan karena kampus tidak berkomitmen untuk mengatasi masalah antisemitisme terhadap mahasiswa Yahudi. Menurut otoritas, antisemitisme di universitas sudah tak bisa ditoleransi mengingat banyaknya kasus dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca agresi Israel di Gaza.
“Sudah waktunya bagi universitas elite untuk menanggapi masalah ini dengan serius dan berkomitmen untuk perubahan yang berarti jika mereka ingin terus menerima bantuan dari pajak negara,” demikian pernyataan satuan tugas.
Tuntutan Trump sendiri dirilis setelah sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus di AS menggelar protes pro-Palestina hingga berkemah di lingkungan universitas. Para mahasiswa utamanya mendesak agar kampus menghentikan kerja sama dengan perusahaan terkait Israel sebagai bentuk penolakan atas kekejaman yang dilakukan Israel di Gaza.
Trump sejak awal menilai aksi ini sebagai antisemitisme. Beberapa profesor, mahasiswa, bahkan kelompok Yahudi yang ikut berdemo menyatakan pemerintah AS telah secara keliru mencampuradukkan dukungan kemanusiaan terhadap Palestina dengan antisemitisme.
Cabut status bebas pajak
Dalam unggahan di media sosial pada Selasa (15/4), Trump mengaku sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri status bebas pajak Harvard.
Ia menyarankan agar universitas ditarik pajak “sebagai entitas politik” jika universitas terus tak nurut dengan mempertahankan “penyakit yang terinspirasi/mendukung politik, ideologi, dan teroris.”
Seperti banyak perguruan tinggi lainnya, Harvard dibebaskan dari pajak pendapatan federal dan negara bagian. Berdasarkan undang-undang pajak AS, pembatasan itu karena universitas dianggap dioperasikan secara eksklusif untuk tujuan pendidikan publik.
Leavitt mengatakan ancaman ini diberikan karena Trump ingin Harvard segera meminta maaf atas antisemitisme yang terjadi di kampus. Leavitt menyebut Harvard dan sekolah lain telah melanggar Undang-Undang Hak Sipil yang melarang diskriminasi ras maupun kebangsaan.
Pada Rabu (16/5), Internal Revenue Service (IRS) telah memulai rencana untuk mencabut status bebas pajak Harvard, menurut dua sumber yang tahu masalah tersebut.
Ancam persulit penerimaan mahasiswa asing
Pada Rabu malam, Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS) menyatakan bahwa Harvard akan kehilangan privilesenya dalam menerima mahasiswa asing jika tidak memenuhi permintaan pemerintah untuk membagikan informasi mengenai “kegiatan ilegal dan kekerasan” pemegang visa mahasiswa asing di Harvard.
DHS meminta Harvard menyerahkan laporan itu paling lambat 30 April.
“Dan jika Harvard tidak bisa memverifikasi bahwa mereka sepenuhnya mematuhi persyaratan pelaporan, universitas akan kehilangan privilese untuk menerima mahasiswa asing,” kata Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem dalam keterangan resmi, Rabu (16/4), seperti dikutip Reuters.
Noem berujar pemerintah saat ini juga akan menghentikan dana hibah senilai lebih dari $2,7 miliar (sekitar Rp45 triliun) untuk Harvard.
Harvard belum memberikan keterangan soal pernyataan ini.
Mahasiswa asing di universitas di AS harus terdaftar dan disertifikasi oleh Student and Exhange Visitor Program (SEVP) di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Hal ini agar Formulir I-20 dapat dikeluarkan, yang diperlukan bagi mahasiswa internasional untuk mengajukan visa F-1 atau M-1.