spot_img
Rabu, April 24, 2024
spot_img

Guru Besar UI Mencium Bau Busuk Revisi Statuta

KNews.id- Guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Manneke Budiman memaparkan sejumlah keganjilan dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Dia mencium keanehan dalam proses pengubahan statuta kampusnya.

“Jadi selama ini selalu secara intens di berbagai media dinyatakan terus-menerus prosesnya sudah mulai 2019, bahkan media-media, para pejabat, menteri, itu copas (copy pasteaja dalam pernyataan mereka ini (revisi statuta) adalah sudah dimulai 2019, tanpa merasa perlu melihat mana dokumennya, siapa orangnya, dibentuk oleh siapa. Jadi sudah ada bau busuk dari awal itu,” kata Manneke saat diskusi virtual, Sabtu (24/7).

- Advertisement -

Manneke lantas menjelaskan pengajuan revisi Statuta UI dilakukan oleh Rektor Ari Kuncoro sejak awal 2020 ke Kemendikbud. Dia mengatakan surat yang dijadikan sebagai landasan itu merupakan hasil telaah senat akademik UI untuk norma akademik existing dan telaah peraturan rektor.

“Pada 7 Januari (2020) itu, Rektor mengajukan permohonan tertulis secara resmi untuk mengubah Statuta UI kepada Kemendikbud. Apa yang digunakan sebagai basis permintaan perubahan itu? Ya itu adalah hasil telaah senat akademik UI. Terhadap apa? Bukan terhadap PP 68/2013 (statuta lama), tetapi hanya terhadap norma-norma akademik yang existing yang memang salah satu produk senat akademik. Dan juga telaah terhadap berbagai peraturan rektor tentang akademik yang memang menjadi kewenangan senat akademik,” ujarnya.

- Advertisement -

Manneke mempertanyakan siapa dan dokumen apa yang dipergunakan untuk mengajukan revisi jika memang pengajuannya dilakukan pada 2019. Dia menyebut tidak ada dokumen inisiasi revisi pada saat itu.

“Jadi kalau memang sudah dimulai 2019, oleh siapa? Mana dokumennya? Kenapa tidak digunakan sebagai landasan di dalam surat rektor itu kepada Menteri pada 7 Januari 2020? Nah, surat penting ini, permintaan mengubah PP ini, bahkan tidak ditembuskan kepada organ-organ lain, padahal perubahan PP itu adalah gawainya orang se-UI, tidak hanya pekerjannya eksekutif atau wewenangnya eksekutif. Jadi mohon dicatat keganjilan yang luar biasa aneh tetapi diamini dan direstui oleh berbagai pihak ini,” ucapnya.

- Advertisement -

Manneke mengatakan, awal Februari 2020, ada undangan terhadap lima organ dari eksekutif yang menyampaikan bahwa Kemendikbud saat itu meminta UI melakukan revisi statuta. Nantinya revisi tersebut juga akan dijadikan sebagai model bagi PTN BH lainnya, hingga akhirnya dewan guru besar dan senat akademik melakukan rapat.

“Kemudian pada 5 Februari, ketika kemudian diungkap kelima organ, maka kemudian digunakan alasan ini yang meminta adalah Kementerian. Jadi dikondisikan ya sudah jalankan, karena yang meminta itu kementerian yang membawahi UI. Maka dilakukan rapat-rapat oleh dewan guru besar, senat akademik untuk masing-masing membuat draf khusus sesuai dengan scoop mereka masing-masing,” tuturnya.

Manneke memaparkan, hingga Juni 2020, pihak eksekutif dan MWA masih belum mengajukan draf revisi. Dari empat organ, hanya dua draf organ saja yang digunakan untuk pembahasan Statuta UI.

“Perlu dicatat, sampai Juni ketika kemudian yang PP terjadi dan proses berhenti yang melibatkan empat organ, eksekutif dan MWA tidak punya draf sama sekali, tidak mengajukan draf apa-apa, jadi hanya dua draf dari dua organ inilah yang dipakai sebagai pembahasan perubahan statuta oleh empat organ di UI,” kata Manneke

Empat organ yang dimaksud adalah Majelis Wali Amanat (MWA), Dewan Guru Besar (DGB), Rektorat, serta Senat Akademi. Manneke menyampaikan Rektor mengeluarkan SK yang berlaku selama dua bulan yang diterbitkan pada Maret 2020. Dia melihat tim yang terbentuk dari SK tersebut seperti berada di bawah tekanan untuk segera menyelesaikan revisi.

“Keganjilan ketiga, gabungan organ mulai rapat, tetapi eksekutif dan MWA tidak memiliki atau mengajukan draf apa pun. SK Rektor untuk tim revisi statuta terbit 27 Maret (2020). Berlaku sampai 29 Mei saja. Jadi sudah lihat ya dari jangka waktu SK ini, tim itu di bawah tekanan untuk menyelesaikannya secepat mungkin,” paparnya.

Hingga akhirnya pada 26 Juni muncul rancangan PP yang akan dibahas lebih lanjut. Rancangan PP tersebut, kata Manneke, sudah cukup besar dan bisa diajukan ke Kementerian.

“Tapi rancangan PP ini adalah sudah suatu hasil yang besar, maka itu disepakati sudah bisa dilanjutkan ke Kementerian,” ucapnya.

Namun SK yang sebelumnya dikeluarkan Rektor sudah habis masa berlakunya. Kemudian muncullah SK baru pada akhir September 2020, yang berlaku satu bulan dengan komposisi anggota tim yang berubah meski empat organ masih ada. Pada 11 September 2020, muncul surat dari MWA kepada Rektor mengusulkan masukan-masukan perubahan. Namun sayangnya, tidak ditembuskan ke dua organ lain yang seharusnya berada dalam tim revisi.

Keganjilan berikutnya yang disampaikan Manneke ketika MWA mengajukan usulan yang sebelumnya tidak pernah dibahas dengan tim revisi empat organ saat rapat dengan Kemendikbud. Termasuk mengubah pasal terkait rangkap jabatan rektor.

“MWA tiba-tiba mengajukan usulan yang tidak pernah dibahas bersama tim revisi empat organ itu, termasuk mengubah pasal tentang rangkap jabatan Rektor yang membolehkan menjabat kecuali kalau menjadi direksi. Yaitu pasal yang kemudian gempar yang menyebabkan akhirnya rektor itu mundur diri dari BRI,” kata Manneke.

“Terjadi perdebatan karena ada yang pasal-pasal tambahan yang tidak dibicarakan sebelumnya dari awal, tetapi baru muncul ketika sudah sampai pada tahap Kementerian. Nah, kemudian ada 34 butir yang masih harus disepakati. Akibat dinamika yang baru ini, Kemendikbud berjanji akan mengundang rapat lagi. 7 Oktober, 14 Oktober, 21 Oktober itu ada undangan rapat, tetapi semuanya dibatalkan. Namun ternyata tetap terjadi rapat-rapat di Kemendikbud yang dihadiri oleh eksekutif Universitas, rektor atau bukan rektor saya kurang jelas MWA, dan saya dengar ada Sekjen Kemdikbud, tetapi tidak ada lagi perwakilan resmi, paling tidak dari dewan guru besar. Setahu saya, senat akademik yang bisa dikonfirmasi lagi,” sambungnya.

Hingga akhirnya, kata Manneke, muncul PP yang sudah disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak saat itu dewan guru besar mulai bersuara karena mendapat salinan PP tersebut.

“Kemudian 2 Juli 2021 itu tiba-tiba PP itu muncul ditandatangani oleh Presiden. Dewan guru besar sendiri baru tahu menerima adanya PP itu secara salinan 19 Juli 2021 dan sejak itulah kemudian memutuskan untuk bersuara,” imbuhnya. (Ade/dtk)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini