spot_img

Fufu Fafa Ijazah Ir D-1 SE dan MM Jokowi Harus Berterima Kasih Kepada Prabowo dan Suruh Gibran Mundur

Oleh – Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

(Abstrak, Ijazah D-1 SE dan MM patut diusut tanpa perlu publik melapor

- Advertisement -

KNews.id – Jakarta, Jokowi tidak pandai balas budi, Prabowo sudah bantu dengan cara ‘telah bersedia’ menjadi Menhan RI 2019. Namun ketika menjelang pra purna tugas 2024 balasan Jokowi kepada Prabowo justru ingin menjabat 3 periode dengan pola “disobedient/ pembiaran” terhadap wacana 3 periode dari para kroninya yang ingin menabrak rule of law atau inkonstitusional (LBP, Muhaimin, Zulhas dan Airlangga Hartarto dan Bahlil serta lainnya) termasuk Ketua DPD RI Mattaliti dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, namun akhirnya setelah memakan korban nyawa dan fisik, termasuk penolakan dari Megawati Soekarno Poetri , maka wacana 3 periode pun kandas, gagal.

Tengara Penulis mengatakan, wacana 3 periode ini merupakan keserakahan terhadap politik dan nafsu kekuasaan, tentu perspektif politiknya termasuk diantaranya upaya ‘menghambat Prabowo’ dan siapapun capresnya? Agar terhalang ikut kompetisi pilpres 2024 (obstructive political steps) namun faktor politik penolakan Megawati yang dirasa pahit karena “menghambat birahi 3 periode nya” maka Jokowi, justru terpaksa mencegah cukup 2 (dua) orang bakal lawan politiknya, satu sosok jagoan usungan eks induk semangnya yakni Ganjar Pranowo dan kekhawatiran puncaknya adalah terhadap sosok Anies Baswedan yang andai memperoleh kemenangan pemilu pilpres 2024 dikhawatirkan bakal mengejar dirinya, oleh sebab faktor indikasi latar belakang pendukung Anies yang sudah lama “kalap” selain banyaknya janji bohong dan “sebuah kepalsuan”, serta penyebab lainnya adalah dendam dari pihak “korban kriminilasasi dan terorisasi”. Maka “ide Gibran menjadi cawapres dengan potong usia adalah jawaban historis hukumnya”.

- Advertisement -

Namun ada kejutan, pra pelantikan presiden terbongkar kasus akun fufu fafa, Gibran dituduh publik 99 % lebih, “pemilik akun fufu fafa yang ‘menghinadinakan’ Prabowo dan keluarga besarnya”. Dan tidak ada reaksi Gibran yang berarti, selain mendiamkan tuduhan publik, terlebih diketahui (seorang pakar IT), nomor hand phone yang digunakan untuk akun fufu fafa adalah nomor HP. yang digunakan Gibran sebagai penghubung direct ke KPUD Surakarta, yang tercantum pada formulir pendaftaran peserta pilkada.

Maka, andai Jokowi memahami makna substansial negarawan, tentu Jokowi akan sadar diri, lalu minta kepada Putra Kandungnya Gibran, agar mundur dari kursi RI-2, karena selain tudingan Gibran amoral, dan minim wibawa karena banyak indikasi intelektualitas Gibran dinilai memprihatinkan karena amat standar, hal ‘daya tangkap ini’ diuji saat memberi pernyataan dihadapan pers atau menjawab pertanyaan sedehana dari awak media, lalu diikuti isu tak sedap seolah dirinya seorang “pengguna”, sehingga sosok Gibran sarat antiklimaks dari perilaku role model, sampai-sampai Gibran dijuluki sebagai ‘anak haram konstitusi’ karena faktor umur yang dipaksakan oleh MK dengan fakta autentik, ‘MKMK menghukum Anwar Usman (Paman Gibran) selaku Ketua MK dan Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan JR untuk kepentingan Gibran (Nepotisme) “terkait sejarah hukum potong usia jo JR. UU. Tentang Pemilu.

Dan Gibran sendiri akhirnya nampak serba salah, karena sebagai Wapres tidak mendapat porsi yang seharusnya dari Presiden, disebabkan imbas antipati publik terhadap karakter dirinya termasuk isu isu miring aktivitas negatif keluarganya (Kaesang, Kahiyang serta Bobby Nst) jo arsip KPK.

Selain ‘nir kualitas’ dimata sebagian publik, kebenaran strata pendidikan Gibran yang setara SLA (D-1) pun diragukan publik, ditambah jam terbang politiknya yang seumur jagung (secuil), maka deskripsi seorang Gibran tidak layak mendampingi Seorang Jendral alumni Akmil. Dan tentunya Para Jendral termasuk isi Kabinet (KMP) ‘sebatas seremonial dan keterpaksaan’ jika harus memberi hormat kepada sosok Gibran yang minim (dibawah rata rata) kemampuan para menteri kabinet KMP dalam kepemimpinan negara disertai polemik besar yang dihadapi kedepan, diantaranya polemik adalah “residu legasi Jokowi”, yang otomatis menjadi PR (Pekerjaan rumah) berat Prabowo dan kabinet khsusunya di sektor ekonomi dan hukum.

Saat ini dari sisi politik dan hukum, Jokowi mutlak di back up Prabowo, selain Jokowi ‘ punya faktor kedekatan’ pribadi dengan Listyo Sigit, namun satu-satunya pemegang kendali di negara ini adalah Presiden Prabowo, yang meliputi segala hak diskresi politik dan hukum serta ekonomi, maka andaikan Prabowo memerintahkan Kapolri atau Jaksa Agung RI “terkait” kasus fufu fafa (“dan Ijazah S 1 Jokowi”), maka Gibran sudah tidak di kursi (istana) wakil presiden, namun “bersama sang Bapak ada di kursi pesakitan di Pengadilan.”

Sehingga not wise (tidak bijak) pernyataan Jokowi yang tersirat disimpulkan; “andai Gibran ‘diturunkan’, maka berdampak kepada “posisi” presiden.

- Advertisement -

Hal tersirat (implisit) ini oleh sebab adanya pernyataan Jokowi;
“Pilpres kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri. Kayak di Filipina, itu akan sendiri-sendiri, di kita kan satu paket”.

Pernyataan keberatan Jokowi ini lantaran ada mosi tuntutan secara lisan dari para tokoh purna tugas, para Jendral TNI dan tuntutan juga dilayangkan melalui surat kepada wakil rakyat di MPR RI perihal, “makzulkan Gibran dari kursi Wapres RI” disertai bukti-bukti dan dalil hukum yang logis.

Pendapat Jokowi ini entah ‘bisikan ilmu’ darimana, tentu saja anomali dari sisi hukum dan realitas politik, karena sesuai asas dan teori pertanggungjawaban hukum pidana jo kasus fufu fafa dipikul oleh individu pelaku, bukan beresiko hukum kepada “sang korban”.

Dari sisi politik, justru Prabowo bakal mendapatkan lonjakan simpatik dan dukungan moral yang bisa mencapai 90 prosen lebih dari masyarakat bangsa ini, “nir rekayasa model polling buzzeRp.”

Semestinya Jokowi menyadari bahwa ketika Gibran mundur karena faktor kesadaran, tentu ada imbas politik yang nice, Gibran dan Jokowi, bakal mendapat pujian publik. Sebaliknya andai kelak dimundurkan oleh kekuatan politik (konstitusi), Gibran dan saudara-sudara kandung serta Iparnya bakal repot dari kejaran proses hukum (law enforcement), yang akan menjalar dan menjerat pertanggungjawaban hukum Jokowi selama satu dekade kepemimpinannya termasuk kasus tuduhan publik Ijazah S-1 palsu dan Ijazah D-1 Gibran atau bisa jadi merembet ke isu titel SE dan MM yang dimiliki oleh Iriana?

Namun sebagai negara yang konstitusinya menyatakan “Indonesia adalah negara hukum”, sehingga dalam hubungannya terhadap pasal yang mengatur tentang larangan terkait ‘surat dan atau keterangan palsu’ sebagai perbuatan pidana yang mengandung unsur-unsur delik biasa, oleh sebab hukum sejatinya tentu pihak aparat saat ini dapat segera melakukan investigasi, karena Penyidik yang berwenang, tidak membutuhkan laporan atau pengaduan masyarakat terhadap kategori pelanggaran atau kejahatan delik yang bersifat formil terlebih diploma tersebut nyata-nyata sudah digunakan oleh si “para terduga publik”.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini