spot_img
Rabu, November 12, 2025
spot_img
spot_img

Efek Berantai Shutdown Amerika Serikat: Harga Emas Naik, PHK Merebak

KNews.id – Jakarta, Amerika Serikat mengalami penutupan atau shutdown pemerintahan ketiga di era Presiden Donald Trump. Kondisi itu membuat harga emas naik, sekaligus membawa ancaman ekonomi seperti PHK Massal.

Shutdown Amerika Serikat (AS) terjadi karena Kongres gagal meloloskan rancangan pendanaan federal baru, ketika pendanaan periode sebelumnya berakhir pada 30 September 2025. Shutdown dilakukan karena pemerintahan AS dijalankan berdasarkan 12 undang-undang pengeluaran yang disahkan setiap tahun oleh Kongres dan ditandatangani oleh pemerintah.

- Advertisement -

Shutdown sendiri tidak berarti semua fungsi pemerintah federal dihentikan. Layanan yang dianggap esensial oleh pemerintah seperti yang terkait dengan penegakan hukum dan keamanan publik tetap berlanjut.

Sayangnya, memasuki hari kelima shutdown Amerika, Trump akhirnya mengumumkan bahwa akan terdapat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bagi pegawai negeri sipil atau PNS AS.

- Advertisement -

PHK besar-besaran akan terjadi jika negosiasi dengan Partai Demokrat di Kongres menemui jalan buntu. Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih Kevin Hassett mengatakan masih ada peluang Demokrat melunak sehingga dapat menghindari penutupan berkepanjangan dan PHK pegawai federal.

“Presiden Trump dan [Direktur Anggaran Gedung Putih] Russ Vought sedang menyiapkan langkah jika diperlukan, meski berharap hal itu tidak terjadi,” ujar Hassett, dikutip dari Reuters pada Senin (6/10/2025).

Namun, ketika ditanya wartawan kapan PHK akan dimulai, Trump menjawab singkat bahwa hal tersebut sedang berlangsung sekarang. Sekitar 40% PNS AS atau 750.000 orang pegawai federal diperkirakan akan dirumahkan tanpa digaji.

Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih, yang selama ini menjadi motor kampanye Trump untuk memangkas ukuran birokrasi federal, menolak berkomentar lebih lanjut. Hingga kini belum ada tanda-tanda negosiasi baru antara pimpinan Kongres setelah pertemuan terakhir dengan Trump pekan lalu.

Gangguan Layanan Publik hingga Bandara Terkendala 

Dilansir dari BBC, penutupan pemerintahan berpotensi memicu antrean panjang di bandara serta penundaan penerbangan, karena pengendali lalu lintas udara dan staf keamanan bandara (TSA) bekerja tanpa bayaran.

Meski digolongkan sebagai pekerja esensial, pengalaman shutdown 2018—2019 menunjukkan banyak di antaranya memilih absen sehingga menimbulkan keterlambatan nasional. Layanan paspor juga diperkirakan melambat, berdampak pada warga AS yang hendak bepergian ke luar negeri.

- Advertisement -

Penutupan juga akan memengaruhi penelitian di lembaga kesehatan seperti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan National Institutes of Health (NIH), serta menekan kontraktor pemerintah yang tidak dijamin menerima gaji tertunda.

Sebaliknya, anggota Kongres tetap menerima gaji penuh, meskipun hal ini menuai kritik. Lahan federal, termasuk Taman Nasional dan Hutan Nasional, pada penutupan pemerintahan sebelumnya ditutup untuk pengunjung karena para penjaga hutan dan pegawai lainnya dirumahkan Namun, dalam penutupan terakhir, pemerintahan Trump memutuskan tetap membuka taman meski hampir tanpa petugas federal yang berjaga.

Keputusan itu berujung pada aksi vandalisme, ketika pengunjung berkendara melintasi kawasan lindung, menjarah situs bersejarah, hingga meninggalkan sampah sembarangan, menurut para pegiat taman.

Lebih dari 40 mantan pengawas taman telah mengajukan seruan kepada Gedung Putih agar taman nasional ditutup sepenuhnya jika penutupan pemerintahan kembali terjadi.

“Kita tidak membiarkan museum dibuka tanpa kurator, atau bandara tanpa pengatur lalu lintas udara — dan kita juga tidak seharusnya membiarkan taman nasional dibuka tanpa petugas Taman Nasional,” ujar Emily Thompson dari Coalition to Protect America’s National Parks.

Program Sosial dan Bencana Turut Terdampak 

Program kesehatan sosial Medicare dan Medicaid untuk lansia serta masyarakat berpenghasilan rendah tetap berjalan, meski kekurangan tenaga berpotensi menimbulkan gangguan layanan.

Program bantuan pangan juga terdampak. Dana untuk Supplemental Nutrition Program for Women, Infants, and Children (WIC) diperkirakan segera habis. Sementara itu, Supplemental Nutrition Assistance Program, yang dahulu dikenal sebagai food stamps, masih berlanjut, tetapi terancam kekurangan dana jika penutupan berlangsung lama.

Bantuan darurat bencana umumnya tidak terpengaruh, tetapi pekerjaan lain dari lembaga penanggulangan bencana akan terdampak. Program Asuransi Banjir Nasional ditutup, sehingga sejumlah hipotek properti yang membutuhkan polis dari program pemerintah tertunda.

Dampak Shutdown Amerika Serikat ke Ekonomi: Harga Emas Langsung Pecah Rekor

Harga emas kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa dan menembus level US$3.900 per troy ounce seiring dengan meningkatnya permintaan aset safe haven di tengah berlarutnya shutdown Amerika Serikat.

Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (6/10/2025), harga emas di pasar spot sempat naik hingga menembus US$3.920,63 per troy ounce sebelum mengurangi kenaikannya ke level US$3.908,44 per troy ounce.

Sementara itu, harga emas berjangka AS untuk pengiriman Desember menguat 0,7% ke posisi US$3.935 per troy ounce. HSBC memperkirakan bahwa harga emas dapat diperdagangkan di atas US$4.000 per troy ounce dalam waktu dekat.

Berdasarkan keterangan resminya HSBC mengungkap kenaikan harga emas selanjutnya akan didorong oleh risiko geopolitik, ketidakpastian fiskal, dan ancaman terhadap independensi Federal Reserve (The Fed).

Di pasar modal, bursa Amerika Serikat bisa terdampak dan reli S&P 500 yang sudah naik 14% dan berulang kali mencapai rekor bisa terhenti. Kekhawatiran utama investor adalah terhentinya aliran data ekonomi tepat waktu.

Jika berlangsung beberapa pekan, kondisi ini dapat menimbulkan kebingungan terkait arah kebijakan moneter The Fed, yang biasanya sangat bergantung pada data pemerintah. Semakin lama shutdown berlangsung, semakin besar pula risikonya bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk saat ini, investor menilai belum ada alasan untuk panik.

“Dalam pandangan saya, kurangnya data justru menambah beban pembuktian bagi investor pesimistis [bears], ketimbang bagi investor optimistis [bulls],” ujar kata Chief Market Strategist di Nationwide, Mark Hackett, dikutip dari Reuters pada Senin (6/10/2025).

CEO KEY Advisors Wealth Management, Eddie Ghabour, menilai bahwa shutdown bisa berlangsung 2—4 pekan. “Jika shutdown berlarut, lalu ekonomi mendapat tambahan stimulus lewat dua kali pemangkasan suku bunga, kemudian pemerintah kembali beroperasi, kita akan melihat percepatan besar pertumbuhan ekonomi dan pasar saham,” jelasnya.

Apakah Shutdown Amerika Serikat Berpengaruh ke Indonesia? 

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menjelaskan bahwa shutdown di AS akan menekan pertumbuhan ekonomi negara tersebut secara langsung sebab ratusan ribu pegawai federal akan dirumahkan, serta belanja pemerintah yang tertunda.

Efeknya akan teras pada rantai pasok dan permintaan impor AS. Efek ke Indonesia, terang Josua, diperkirakan bakal datang melalui tiga jalur yaitu kurs, perdagangan, dan keuangan. Dari sisi kurs, dia menilai kecenderungan pelemahan doar bisa meringankan terkanan terhadap impor dan membantu stabilisasi rupiah.

Akan tetapi, sensitivitas rupiah sangat dipengaruhi faktor domestik seperti kredibilitas fiskal dan bauran kebijakan. “Rupiah juga masih tertahan oleh premi risiko domestik seiring kekhawatiran disiplin fiskal dan pemangkasan suku bunga dalam negeri, sehingga respons rupiah terhadap pelemahan dolar kemungkinan tidak sebesar mata uang negara berkembang lainnya,” jelasnya kepada Bisnis, dikutip pada Senin (6/10/2025).

Sementara itu, dampak shutdown ke AS terhadap perdagangan diperkirakan cenderung terbatas karena paparan langsung Indonesia terhadap permintaan akhir AS relatif lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara Asia lain. Asalkan, penghentian operasional pemerintahan tidak berlangsung lama.

Porsi ekspor ke AS sebagai bagian dari PDB Indonesia berada di kelompok menengah ke bawah dibanding negara-negara berkembang lainnya. Dari sisi keuangan, pelemahan dolar dan menguatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga AS diperkirakan bisa mendorong potensi arus masuk ke obligasi negara berkembang untuk terbuka kembali.

Namun, lagi-lagi Josua mewanti-wanti arahnya tetap bergantung pada kejelasan jalur fiskal dan koordinasi kebijakan moneter–fiskal.

(FHD/BC)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini