KNews.id – Jakarta, Dunia memprediksi penerimaan pajak Indonesia tahun ini ambles menjadi 9,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dari penerimaan perpajakan tahun lalu yang sebesar 10,08 persen dari PDB.
Prediksi ini tertuang dalam laporan Indonesia Economic Prospects bertajuk “People-First Housing: A Roadmap from Homes to Job to Prosperity in Indonesia” yang dirilis pada Senin, 23 Juni 2025. Dalam dokumen itu, Bank Dunia menyebutkan faktor sementara yang mengakibatkan penurunan penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak, yakni gangguan teknis dalam implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax.
Selain itu, ada faktor seperti potongan pajak yang melebihi perkiraan, kehilangan setoran dividen badan usaha milik negara, penyesuaian kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), penurunan harga komoditas, dan pelemahan permintaan domestik.
Untuk mengatasi pendapatan yang menurun dan menciptakan ruang fiskal bagi program prioritas, pemerintahan Prabowo Subianto memberlakukan pemangkasan anggaran. Menurut Bank Dunia, pada Mei 2025, langkah tersebut berhasil menyeimbangkan neraca fiskal. Namun langkah itu dikhawatirkan mengorbankan pertumbuhan jangka panjang.
“Kebijakan fiskal disesuaikan untuk memberikan ruang fiskal bagi program prioritas dan paket stimulus konsumsi, terlepas dari pendapatan negara yang menurun,” demikian ditulis Bank Dunia. Penerimaan perpajakan diprediksi baru membaik mulai tahun depan. Bank Dunia memperkirakan tax ratio atau rasio perpajakan naik tipis menjadi 10,3 persen pada 2026 dan 10,5 persen pada 2027.
Dalam satu dekade terakhir, rasio perpajakan tumbuh stagnan di kisaran 10 persen. Setelah tertekan hingga 8,32 persen pada 2020, kinerja rasio perpajakan menanjak hingga 10,39 persen pada 2022. Namun rasio perpajakan kembali ambles menjadi 10,31 persen pada 2023 dan 10,08 persen pada 2024.
Dibanding negara ASEAN, rasio perpajakan Indonesia tercatat masih berada di bawah Thailand yang sebesar 17,18 persen, Vietnam 16,21 persen, dan Singapura 12,96 persen. Tahun ini, berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2025, pemerintah menetapkan target rasio perpajakan sebesar 10,09-10,29 persen dari PDB.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah mematok target penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp 2.433,5 triliun. Pajak penghasilan (PPh) ditargetkan menjadi penyumbang terbesar, yakni Rp 1.209,3 triliun atau 49,7 persen dari total target pajak.
Adapun dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, rasio perpajakan 2025 diperkirakan sebesar 10,7-11,20 persen dari PDB. Pada 2045, rasio perpajakan dibidik menyundul 18,0-20,0 persen dari PDB.
Setoran pajak pada Januari hingga 31 Mei 2025 pun hanya Rp 683,3 triliun atau turun 10,14 persen dibanding setoran pada tahun sebelumnya. Angka ini cuma sepertiga atau 31,2 persen dari target Rp 2.189,3 triliun.
Ketika melantik Direktur Jenderal Pajak yang baru, Bimo Wijayanto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemimpin negara telah menginstruksikan peningkatan penerimaan negara dan rasio perpajakan. Pelayanan kepada wajib pajak dan kepastian mengenai perpajakan juga harus meningkat.
Menurut Sri Mulyani, masyarakat juga menginginkan penerimaan pajak naik. Masalahnya, para wajib pajak segan menunaikan kewajibannya. “Ini adalah kontradiksi yang harus terus dikelola,” ucapnya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.
Peningkatan layanan itu di antaranya dilakukan melalui perbaikan sistem Coretax. Setelah menghadapi kendala pada bulan-bulan awal sejak diterapkan pada 1 Januari 2025, perbaikan sistem dan penambahan infrastruktur direncanakan rampung pada 31 Juli 2025.
Hasilnya, Kementerian Keuangan mengklaim laporan galat yang terkait dengan perubahan data di Coretax menurun. Pada Februari 2025 terdapat 397 kasus, sedangkan pada Mei lalu hanya 18 kasus.
Analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia, Ajib Hamdani, memperkirakan potensi penerimaan pajak sekitar Rp 2.057 triliun, lebih rendah Rp 130 triliun dari target. Prakiraan ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan inflasi sekitar 2,5 persen.
Musababnya, Ajib menuturkan, penerimaan perpajakan tahun ini akan menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya pertumbuhan ekonomi yang melandai dan aktivitas ekonomi legal yang tak dilaporkan secara resmi (grey economy) yang belum terdeteksi oleh otoritas perpajakan.
Selain itu, utang jatuh tempo yang sangat membebani APBN dan masalah sistem Coretax yang belum berjalan maksimal dinilai akan menghambat penerimaan perpajakan. Menurut Ajib, Coretax seharusnya menjadi solusi layanan dan integrasi data. Namun otoritas kurang siap ketika sistem ini berjalan pada 1 Januari 2025.
“Pemerintah harus membuat langkah extraordinary untuk mengerek pendapatan negara. Misalnya dengan mengeluarkan tax amnesty jilid III atau menambah obyek pajak di pasar keuangan dengan mendorong Real Estate Investment Trust,” ujarnya, Senin, 30 Juni 2025.
Setali tiga uang, Direktur Kajian Fiskal dan Penasihat Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji menilai penerimaan tahun ini diperkirakan tak mencapai target karena faktor kondisi ekonomi, termasuk melemahnya daya beli. Sebab, kontribusi terbesar penerimaan berasal dari PPN dalam negeri.
Selain itu, melemahnya harga komoditas dan masalah geopolitik memukul sektor pertambangan dan manufaktur. Kedua sektor ini beserta sektor perdagangan besar adalah sektor utama penyumbang penerimaan negara. Kondisi itu memukul kinerja PPh badan yang merupakan pos kontributor terbesar kedua.
Bawono menambahkan, Coretax sebagai tulang punggung administrasi pajak membutuhkan kesempurnaan dari sisi sistem dan penguasaan teknologi otoritas. Kendala ini harus segera diatasi agar tidak mendistorsi proses bisnis kepatuhan wajib pajak.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, juga memprediksi rasio perpajakan dan realisasi penerimaan pajak terhadap target tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu. “Semua itu didasari asumsi jika pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu,” ucapnya, Senin, 30 Juni 2025.
Jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding tahun lalu, tax buoyancy akan tertekan sehingga rasio perpajakan juga akan turun. Sementara itu, setelah tarif resiprokal Amerika Serikat diumumkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia direvisi dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen.
Tax buoyancy atau daya apung pajak merupakan indikator untuk mengukur efisiensi dan daya tanggap mobilisasi penerimaan terhadap pertumbuhan PDB. Selain itu, Fajry menilai penerimaan perpajakan akan terganjal peningkatan restitusi akibat pelemahan harga komoditas, penyesuaian tarif efektif rata-rata PPh 21, dan pengelolaan likuiditas negara tahun lalu.
Menurut Fajry, implementasi Coretax pada awal tahun belum sesuai dengan harapan. Padahal sistem ini diproyeksikan menjadi game changer yang akan meningkatkan kepatuhan dan meningkatkan penerimaan. Kendati kontraksi penerimaan perpajakan pada Mei 2025 masih 10 persen, Fajry memperkirakan pada bulan-bulan selanjutnya ada perbaikan kinerja penerimaan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance M. Rizal Taufikurahman menilai proyeksi penurunan penerimaan perpajakan mencerminkan persoalan struktural dalam sistem perpajakan nasional.
Sejumlah faktor berkontribusi terhadap koreksi ini, di antaranya implementasi sistem Coretax yang belum sepenuhnya stabil dan transisi digital yang belum diiringi kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Walhasil, proses ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan menjadi terhambat.
Rizal menilai efektivitas Coretax sebagai instrumen peningkatan rasio pajak belum dapat diklaim dalam jangka pendek. Bahkan data pelaporan surat pemberitahuan (SPT) dan aktivitas kepatuhan fiskal pernah menurun pada kuartal I 2025, yang justru kontraproduktif terhadap target penerimaan.
Kendati begitu, dalam horizon menengah-panjang, Coretax tetap menyimpan potensi strategis jika diiringi penguatan manajemen perubahan, edukasi digital kepada wajib pajak, serta pemanfaatan data lintas sektor secara real-time untuk memperluas basis pajak.
Ekonom Next Policy, Dwi Raihan, mengimbuhkan bahwa faktor utama anjoknya penerimaan perpajakan adalah pelemahan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi terutama dari aspek konsumsi melambat, basis pajak akan menurun.
Untuk mendorong penerimaan perpajakan, Dwi menyarankan pemerintah tak hanya membenahi Coretax, tapi juga memperluas kriteria wajib pajak, meningkatkan kepatuhan pajak terutama orang kaya/pengusaha, serta memperbaiki pengelolaan pajak yang transparan.
Adapun Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan otoritas pajak tahun ini menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk mengejar target penerimaan pajak. Pasalnya, kondisi ekonomi tengah mengalami tekanan, bukan hanya karena ketegangan global, melainkan juga berbagai permasalahan di dalam negeri.
Sejumlah aturan juga dinilai mempengaruhi penerimaan pajak karena berdampak pada perubahan mekanisme pemenuhan kewajiban pajak. Di antaranya Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor 8 Tahun 2025 tentang Coretax dan Perdirjen Pajak Nomor 11 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaporan Pajak.
“Saya kira tahun ini penerimaan pajak mungkin mengalami pertumbuhan yang terbatas. Meski demikian, jika beberapa isu di atas dapat diatasi, penerimaan pajak ada kemungkinan bisa tercapai,” katanya, Senin, 30 Juni 2025.
Menanggapi analisis Bank Dunia tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rosmauli menyatakan instansinya berupaya mengamankan penerimaan pajak sekaligus peningkatan rasio perpajakan.
“Untuk mencapai target penerimaan pajak 2025, pemerintah akan melaksanakan upaya strategis,” tuturnya.
Sejumlah upaya yang dimaksudkan itu di antaranya perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi serta peningkatan kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi sistem perpajakan, penguatan sinergi, joint program, dan penegakan hukum.
Selain itu, pemerintah akan menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional, memberikan insentif perpajakan yang makin terarah dan terukur, melakukan transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi, serta mendorong penguatan organisasi dan SDM.
Ihwal implementasi Coretax, Rosmauli menyebutkan sistem ini ditujukan untuk memudahkan wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakan. Ditjen Pajak berupaya mengakselerasi pembenahan dengan berfokus pada perbaikan proses bisnis utama: registrasi, pembayaran, penyampaian SPT, dan pelayanan.