KNews.id – Bacapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan merespons soal polusi udara di Jakarta. Anies mengatakan polusi itu dibawa dari hasil industri di sekitar Jakarta.
“Kalau Anda perhatikan polusi udara ada hari-hari di mana polusi itu tinggi sekali, ada hari-hari polusi tidak tinggi, karena aktivitas di Jakartanya sama setiap hari,” ujar Anies dalam acara ‘Desak Anies’ di Pos Bloc, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Anies mengatakan salah satu penyebab polusi di Jakarta ialah polutan dari PLU yang terbawa angin ke Jakarta. Namun, lanjut Anies, polusi itu tak hanya di Jakarta, tapi juga ke Lampung dan Banten, namun tidak ada sensor yang menangkap polusi udara.
“Kok bisa situasi itu terjadi? Sesungguhnya yang terjadi, selain polutan dari dalam aktivitas dalam kota, juga polutan yang diakibatkan dari kegiatan di luar kota Jakarta. Apa itu? Banyak pembangkit listrik tenaga uap yang kemudian cerobongnya menghasilkan polutan. Ketika arah anginnya bergerak ke arah Jakarta, maka dia tertangkap oleh sensor,” terangnya.
“Angin bergerak ke Lampung, bergerak ke Banten, di sana nggak ada sensor, jadi tidak muncul menjadi problem. Saya merasa di seluruh Indonesia harus dipasang sensor polusi udara sehingga kita mengetahui kualitas udara bukan hanya di Jakarta, tetapi berbagai wilayah yang dekat dengan wilayah industri. Industri apa pun supaya kita bisa melindungi seluruh rakyat,” sambung Anies.
Eks Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan sensor pendeteksi polusi tidak mahal.
“Alat itu tidak terlalu mahal. Jangan sampai kita seperti kasus COVID kemarin ketika ditanya bagaimana kasus COVID-nya, alhamdulillah tidak ada. Kenapa? Karena tidak ada testing, apa kualitas udara di semua tempat kita baik, ya, kalau nggak ada sensor dan monitor kita akan merasa baik,” jelas Anies.
Anies menawarkan solusi agar semua kota nantinya memiliki alat pengukur kualitas udaranya sendiri. Kedua, harus dimulai juga transisi pembangkit energi tak terbarukan menuju energi terbarukan.
“Jadi menurut saya ke depan nomor satu semua kota harus memiliki alat ukur kualitas udara. kemudian yang kedua harus dimulai secara serius transisi dari pembangkit energi tak terbarukan menuju energi tergantikan,” kata dia.
Solusi Anies selanjutnya adalah penggunaan fasilitas umum yang berbasis listrik. Dan terakhir, menurut Anies, harus diperbanyak daerah hijau di setiap perkotaan.
“Keempat, memperbanyak paru-paru kota di semua wilayah perkotaan. Itu contoh road map yang bisa kita kerjakan,” tuturnya.
Kualitas Udara Jakarta Buruk
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto sebelumnya mengatakan buruknya kualitas udara di Jakarta saat ini dipengaruhi musim kemarau yang sedang tinggi-tingginya. Kondisi tersebut menyebabkan udara kurang baik.
“Memang kualitas udara Jakarta sepanjang 2023 ini cukup berfluktuatif. Tadi disampaikan Pak Dirjen, salah satu faktor pencetusnya adalah kondisi musim kemarau Juli-September biasanya musim kemarau mencapai tinggi-tingginya, sehingga berakibat pada kondisi kualitas udara yang kurang baik,” kata Asep dalam jumpa pers, Jumat (11/8).
Asep menerangkan, saat ini Pemprov DKI tengah menyusun regulasi. Salah satu aturan yang sudah ada, lanjut Asep, adalah Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Nantinya Pemprov DKI juga akan menerbitkan pergub sebagai langkah pengendalian polusi Jakarta.
Sementara itu, Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan bahwa kualitas udara cenderung naik saat musim kemarau. Dia mengatakan hal itu juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
“Kecenderungannya biasanya pada saat musim kemarau kualitas udara cenderung naik dan seperti yang kita lihat sekarang. Jadi itu faktor yang mempengaruhi kondisi yang terjadi sekarang dan sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Hal lain yang perlu dicermati bahwa kondisi kualitas udaranya itu ada siklus harian pada saat malam hari, dini hari, lepas pagi cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore itu karena ada siklus harian,” kata Sena.
Selain itu, fenomena lain adalah soal lapisan inversi di wilayah urban saat musim kemarau. Dia mengatakan fenomena itu menyebabkan kecenderungan udara lebih dingin di lapisan bawah.
“Sehingga itu mencegah udara itu untuk naik dan terinversi itu juga penjelasan mengapa di Jakarta itu kelihatan keruhnya di bawah dibanding di atas, di mana perkotaan kita hidup bersama,” katanya. (Zs/Dtk)
Discussion about this post