KNews.id – tel Aviv, Kabinet keamanan Israel telah menyetujui rencana untuk memperluas serangan militer terhadap Hamas yang mencakup perebutan total Jalur Gaza.
Rencana itu diungkap seorang pejabat Zionis Israel, sebagaimana dilaporkan Reuters, Selasa (6/5/2025). Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kabinet telah memutuskan untuk melakukan “operasi yang kuat” untuk menghancurkan Hamas dan menyelamatkan para sandera yang tersisa, dan bahwa 2,1 juta penduduk Gaza “akan dipindahkan, untuk melindunginya”.
Dia tidak mengatakan berapa banyak wilayah Gaza yang akan direbut oleh pasukan Israel, tetapi dia menekankan bahwa “mereka tidak akan masuk dan keluar”. Kabinet tersebut juga menyetujui, pada prinsipnya, rencana untuk menyalurkan bantuan melalui perusahaan swasta, yang akan mengakhiri blokade Gaza selama dua bulan yang menurut PBB telah menyebabkan kekurangan pangan yang parah.
PBB dan badan-badan bantuan lainnya mengatakan usulan tersebut akan menjadi pelanggaran prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan bahwa mereka tidak akan bekerja sama. Seorang pejabat Hamas mengatakan kelompok itu menolak “tekanan dan pemerasan” Israel.
Ketika ditanya tentang rencana Israel untuk memperluas serangannya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengulangi janjinya untuk membantu mengirimkan makanan bagi warga Palestina di sana. Sementara itu, Inggris mengatakan tidak mendukung perluasan operasi militer Israel di Gaza.
Uni Eropa sebelumnya mendesak pengekangan, dengan mengatakan bahwa mereka khawatir tentang lebih banyak korban dan penderitaan bagi penduduk Palestina. Kabinet keamanan Israel bertemu pada Minggu malam untuk membahas serangan ke Gaza, yang dimulai kembali setelah Israel mengakhiri gencatan senjata selama dua bulan pada 18 Maret.
Seorang pejabat Israel yang memberi pengarahan kepada media pada Senin pagi mengatakan para menteri memberikan suara bulat untuk menyetujui rencana yang diusulkan oleh Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Eyal Zamir untuk “mengalahkan Hamas di Gaza dan memulangkan para sandera”.
“Rencana tersebut akan mencakup, antara lain, perebutan wilayah Jalur Gaza dan penguasaan wilayah tersebut, pemindahan penduduk Gaza ke selatan untuk pertahanannya, penolakan Hamas untuk mendistribusikan pasokan kemanusiaan, dan serangan-serangan dahsyat terhadap Hamas,” kata pejabat tersebut.
Media Israel melaporkan bahwa tahap pertama akan mencakup perebutan wilayah-wilayah tambahan di Gaza dan perluasan “zona penyangga” yang ditetapkan Israel di sepanjang perbatasan wilayah tersebut.
Rencana ini bertujuan untuk memberi Israel pengaruh tambahan dalam negosiasi dengan Hamas mengenai gencatan senjata baru dan kesepakatan pembebasan sandera.
Kemudian, seorang pejabat keamanan senior Israel mengatakan rencana tersebut tidak akan dilaksanakan hingga setelah kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah antara tanggal 13 dan 16 Mei, yang memberikan apa yang disebutnya “jendela kesempatan” bagi Hamas untuk menyetujui gencatan senjata baru dan kesepakatan pembebasan sandera.
Trump akan mengunjungi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar dalam perjalanannya. Sementara itu, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mengatakan dalam sebuah konferensi di Yerusalem pada hari Senin bahwa Israel akhirnya akan menduduki Jalur Gaza.
Israel menduduki Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967 bersama dengan Tepi Barat. Israel secara sepihak menarik pasukan dan pemukim dari Gaza pada tahun 2005, tetapi PBB masih menganggap Gaza sebagai wilayah yang diduduki Israel karena mempertahankan kendali atas perbatasan bersama, wilayah udara, dan garis pantai Gaza.
Dalam pengarahan pada hari Senin, IDF mengatakan bahwa perluasan operasi akan membuat sebagian besar warga Palestina di Gaza mengungsi karena serangan udara dan operasi militer lainnya terus berlanjut.
Namun, para kritikus mengatakan bahwa aksi militer telah gagal mengamankan pemulangan 59 sandera yang tersisa—hingga 24 di antaranya diyakini masih hidup—dan telah mendesak pemerintah untuk membuat kesepakatan dengan Hamas.
Forum Sandera dan Keluarga Hilang, yang mewakili keluarga sandera Israel, mengatakan bahwa rencana tersebut merupakan pengakuan pemerintah bahwa mereka “memilih wilayah daripada para sandera” dan bahwa hal ini bertentangan dengan keinginan lebih dari 70% orang di Israel.
Pejabat Hamas Mahmoud Mardawi menegaskan kembali bahwa kelompok tersebut menginginkan kesepakatan yang komprehensif, termasuk gencatan senjata lengkap, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, pembangunan kembali Jalur Gaza, dan pembebasan semua tahanan dari kedua belah pihak.
Warga Palestina di Gaza utara mengatakan kepada BBC bahwa mereka sangat menentang pemindahan paksa ke selatan sekali lagi, dengan beberapa mengatakan mereka lebih baik mati di tengah reruntuhan rumah mereka.
“Pada Oktober 2023, saya—mengungsi bersama anak-anak, anak perempuan, dan cucu saya—totalnya sekitar 60 orang,” kata warga Kota Gaza berusia 76 tahun, Ahmed Shehata.
“Kami hidup dalam kondisi yang tak tertahankan di tempat yang diklaim Israel sebagai ‘zona aman’ di selatan. Kali ini, kami tidak akan pergi, bahkan jika Israel merobohkan tenda-tenda di atas kepala kami.”
Osama Tawfiq, seorang ayah lima anak berusia 48 tahun, mengatakan: “Ancaman Israel tidak akan membuat kami takut. Kami tetap di Gaza.” Pejabat Israel mengatakan kabinet keamanan juga menyetujui dengan suara mayoritas “kemungkinan penyaluran [bantuan] kemanusiaan—jika perlu—yang akan mencegah Hamas mengambil alih persediaan dan akan menghancurkan kemampuan pemerintahannya”.
Pejabat keamanan Zionis mengatakan pengiriman akan dilanjutkan setelah perluasan serangan dimulai, dan bahwa militer akan membangun “daerah steril” di daerah Rafah selatan yang dapat dimasuki warga Palestina sambil menunggu pemeriksaan.
Militer Israel melancarkan kampanye pengeboman untuk menghancurkan Hamas sebagai respons atas serangan lintas batas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya.
Setidaknya 52.567 orang telah tewas di Gaza sejak saat itu, termasuk 2.459 orang sejak serangan brutal Israel dilanjutkan, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas di wilayah tersebut.