spot_img

WTO: Dari Wasit Perdagangan Bebas ke Penonton Pasar Gelap

Oleh: Tulus Warsito – Guru Besar Emeritus Politik Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

KNews.id – Bayangkan dua anak kecil berebut mainan, saling menuding dan menghukum dengan aturan bikinan sendiri. Begitulah wajah perdagangan dunia hari ini: kacau, egoistik, dan tidak ada yang peduli pada wasit. Dua raksasa ekonomi—Amerika Serikat dan Tiongkok—saling hantam tarif demi “kedaulatan”, tapi yang sebenarnya terjadi adalah duel kepentingan tanpa aturan. Dan di tengah arena yang panas itu, WTO—yang dulu diagung-agungkan sebagai penjaga ketertiban global—malah berdiri kaku di pinggir lapangan. Tanpa peluit. Tanpa wibawa. Tanpa daya.

- Advertisement -

Sejak era Trump, kata “multilateral” seolah berubah menjadi lelucon. Di bawah semboyan “America First”, aturan perdagangan global dilipat seperti kertas usang. Tarif baja, semikonduktor, hingga makanan hewan bisa naik semalam, tanpa negosiasi, tanpa proses deliberatif. WTO yang dibentuk justru untuk mencegah praktik semacam ini, kini tampak seperti boneka protokoler: hadir tapi tidak berpengaruh. Tidak heran jika banyak negara kini merasa lebih aman berlindung di balik perjanjian bilateral atau regional, ketimbang menunggu keadilan dari lembaga yang kehilangan otoritas.

Lucunya, semua ini masih dilakukan atas nama “tata perdagangan dunia”. Tapi realitasnya, yang muncul bukan keteraturan, melainkan kekacauan. Tarif sepihak memicu lonjakan harga, akses publik terhadap barang-barang strategis tercekik, dan pelan-pelan, ruang gelap pun terbuka. Ketika pasar resmi terlampau mahal atau tertutup, pasar gelap justru menawarkan ‘alternatif’ yang lebih cepat dan terjangkau.

- Advertisement -

Contoh paling kentara adalah Tiongkok. Setelah iPhone resmi dilarang dijual pada 2024, publik tidak berhenti membeli. Mereka hanya berpindah jalur. iPhone tetap muncul di tangan konsumen—hanya saja kini datang dari “jalan tikus”. Teknologi KW, industri replika, dan barang selundupan tumbuh subur bukan sebagai anomali, tapi sebagai konsekuensi kebijakan negara sendiri. Ironi ini sungguh tajam: dalam upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, negara justru menyerahkan sebagian ruangnya kepada kekuatan non-negara—mafia dagang, penyelundup, dan jaringan digital ilegal.

Dari perspektif Marxis, ini bukan semata perang negara versus pasar, tapi soal siapa yang memegang dominasi produksi dan distribusi. Dan hari ini, kekuatan itu pelan-pelan bergeser ke ranah informal, ke tangan aktor-aktor yang tak pernah menandatangani kesepakatan apapun di Jenewa. Pasar bergerak tanpa izin, tanpa paspor, tanpa moralitas.

Sementara itu, WTO hanya bisa menyaksikan semua ini—tanpa mampu menindak, apalagi mengatur. Panel-panel penyelesaian sengketa lumpuh, putusan-putusan tak digubris, dan reformasi internal berjalan lamban seperti birokrasi abad 19. Jika tak ada transformasi besar, WTO tinggal menunggu waktu untuk menjadi artefak sejarah: simbol masa lalu ketika dunia masih percaya bahwa aturan bisa mengikat kekuatan global.

Sudah saatnya dunia berhenti berpura-pura. Jika WTO tidak bisa merebut kembali otoritas moral dan legalnya sebagai wasit perdagangan internasional, maka dunia akan memasuki babak baru yang jauh lebih berbahaya: pasar tanpa wasit, perdagangan tanpa negara, dan pertumbuhan ekonomi yang berjalan di bawah tanah—tidak tercatat, tidak terkendali, dan tidak bertanggung jawab.

Dan ketika itu terjadi, jangan heran jika ketertiban global bukan runtuh karena perang, tapi karena kesepakatan yang dikhianati oleh diamnya lembaga-lembaga yang mestinya bicara.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini