spot_img
Jumat, April 26, 2024
spot_img

Waspada! Dugaan Rekayasa Minta Maaf dan Pengampunan untuk PKI, Muncul Kembali

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

KNews.id- Pada 2012 silam, Komnas HAM menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa. Dari dugaan-dugaan itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi lain yang masih bekaitan. Korban lainnya adalah masyarakat umum.

- Advertisement -

Menjelang peringatan ke 50 Gerakan 30 September September 2015. Muncul isu Presiden akan memaafkan dan atau minta maaf kepada PKI. Buru buru Mengkopulhukam Luhud Binsat Panjaitan (menepis itu hoak).

Pemerintah memastikan tidak akan meminta maaf kepada keluarga yang terlibat Gerakan 30 September (G30SPKI), tetapi tetap akan mengusahakan ada rekonsiliasi.

- Advertisement -

“Siapa memaafkan siapa, karena kedua pihak ada terjadi, kalau boleh dikatakan korban, jadi saya pikir tidak sampai ke situ (meminta maaf),” jelasnya saat itu.

Saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI, partainya PDI Perjuangan juga berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Pada saat itu massa umat Islam bergerak melakukan aksi penolakan terhadap wacana tersebut.

- Advertisement -

Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) bermasalah sejak awal. Salah satu alasannya, karena tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila.

Yaitu Ketetapan (TAP) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai terlarang, termasuk pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme.

Presiden diakhir sambutannya, dalam acara pembukaan Kajian Ramadan 1438 Hijriah. Kegiatan yang diadakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mulai hari ini, Sabtu, 3 Juni 2017.

Jokowi dengan gamblang menyampaikan isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). “Saya mau bicara mengenai masalah yang berkaitan dengan PKI karena sekarang ini masih banyak isu bahwa PKI bangkit, komunis bangkit,”, seraya bertanya mana, mana , mana ada PKI, tunjukkan kepada saya, kata Jokowi.

Fenomena kongres PKI : Kongres PKI ke VII di Blitar selatan 1967,  Kongres ke VIII tahun 2000 di Sukabumi Selatan Jabar, Kongres ke IX 2005 di Cianjur Selatan Jabar. Kongres ke X,  2010  di Magelang Jawa Tengah dan Kongres ke XI di  Banyumas Jawa Tengah 2015. Adalah bukti mereka tetap eksis.

Perjuangan PKI agar Pemerintah minta maaf dan meminta kompensasi ganti rugi serta agar radar agar PKI tetap eksis dan bisa kembali hidup di Indonesia terus bergerak, tetap harus di waspadai.

Saat ini Presiden Jokowi telah melahirkan KEPPRES No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.  Pemerintah mengaku diri ini sebagai langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban dengan penyelesaian non-yudisial . Mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban.

Alasan menempuh mekanisme non-yudisial lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban, seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan.

Apapun alasannya Kepres tersebut memuat misteri politik tersembunyi yang harus di waspadai sangat mungkin hanya dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat bahkan ada agenda politik lain yang mendesak harus diambil.

Melacak rekam jejak digital tentang polah tingkah PKI selama ini bisa jadi Kepres no 17 tahun 2022 ini sebagai pintu masuk Pemerintah akan  minta maaf kepada PKI kemudian hak-hak Komunisme dipulihkan, dan PKI sebagai institusi dihidupkan ,/direhabilitasi dan negara harus memberikan ganti rugi kepada pihak-pihak yang meraga menjadi korban.

*Asumsi dan dugaan tersebut diatas pasti akan ditolak Pemerintah dengan berbagai  alasan bahkan bisa jadi langsung diterjang itu angan angan hoak belaka.

Masyarakat saat ini tidak boleh menelan mentah-mentah apapun ucapan dan  kebijakan Presiden yang sangat sering dalam hitungan hari sudah berubah dan membahayakan negara, karena dugaan kuat Presiden dalam kendali kekuatan lain yang sangat besar, sehingga ruang gerak PKI telah menemukan momentumnya. Masyarakat harus waspada tinggi menjaga agar tragedi dan ambisi neo-PKI itu berkuasa kembali, meski pun saat ini mereka secara “soft defacto” berkuasa..

Terbitnya Keppres 17 / 2022 ini, bisa jadi sebagai sinyal bahwa  bahaya laten PKI sudah semakin nyata, kuat masuk di semua lini pemerintahan .

Diduga kuat ada agenda tersembunyi dari maksud Keppres ini dibuat. Yang aneh kena apa agenda pelanggaran HAM berat kasus pembunuhan / tragedi KM 50 justru dianggap angin lalu. Justru akan menyelesaikan kasus kasus lainnya yang dibatasi waktunya minimal ahir Desember 2022 dan atau ada perpanjangan waktu satu tahun di tahun 2023 (menjelang ahir masa jabatannya). Tampak kerjanya sangat politis, ada apa?.

Kecurigaan masyarakat, Presiden ingin melepas tes the water  untuk mendorong pengkuan PKI dan antek anteknya sebagai  korban pelanggaran HAM berat di masa silam, dengan alasan rekonsilasi tidak bisa diabaikan.

Dugaan skenario yang akan dibuat adalah : PKI adalah korban, negara harus memohon maaf kepada korban dan keluarga PKI. Korban atau keluarganya berhak dapat  bermacam kompensasi (PKI akan direhabilitasi), dipulihkan nama baiknya, serta beri hak hidup  kembali dan berkembang.

Kalau asumsi atau kecurigaan masyarakat ini terjadi maka yang akan terjadi bukan menyelesaikan masalah justru akan timbul masalah yang lebih besar dan berbahaya. Dan dampak justru Presiden bisa terpental sebagai pihak yang harus diadili oleh pengadilan rakyat. (AHM)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini