spot_img

Usulan Pajak Baru untuk Orang Kaya: Efektif jika Data dan Pengawasan Diperkuat

KNews.id – Jakarta – Lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyarankan pemerintah Indonesia untuk menambah lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi kelompok berpenghasilan tinggi.

AMRO menilai struktur PPh di Indonesia masih kurang progresif dibandingkan negara-negara tetangga di Asia.

- Advertisement -

“Untuk mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan, perlu dipertimbangkan perluasan golongan tarif bagi kelompok berpendapatan tinggi,” tulis AMRO dalam laporannya, Senin (23/6).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai bahwa usulan penambahan lapisan tarif PPh OP untuk kelompok berpenghasilan tinggi harus dikaji secara hati-hati dan strategis.

- Advertisement -

Menurutnya, kebijakan tersebut hanya akan efektif jika dibarengi dengan reformasi menyeluruh pada basis data, sistem pengawasan, serta kerja sama internasional.

“Upaya untuk menambah lapisan tarif PPh OP bagi kelompok berpenghasilan tinggi harus dipertimbangkan secara strategis,” ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Senin (23/6).

Ia menekankan bahwa langkah menambah lapisan tarif pajak bukan semata soal meningkatkan tarif, melainkan soal memperkuat keadilan fiskal dan efektivitas sistem pajak dalam jangka menengah dan panjang.

Saat ini, Ariawan mengatakan bahwa struktur tarif PPh OP telah bersifat progresif, dengan lapisan tertinggi 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun.

Namun, Ariawan menilai struktur tersebut belum optimal dalam menjangkau kelompok ultra-kaya atau high net-worth individuals (HNWI).

“Kelompok ultra-kaya (high net-worth individuals/HNWI) ini apakah sudah benar-benar membayar sesuai kemampuannya? Menurut saya belum semuanya,” katanya.

- Advertisement -

Ia menggarisbawahi bahwa banyak penghasilan pasif dan aset lintas negara yang belum tertangkap oleh sistem perpajakan Indonesia.

Menurut Ariawan, kenaikan tarif hingga 37% atau bahkan 40% masih dimungkinkan, tetapi dampaknya akan terbatas jika basis pajak masih bocor dan administrasi pajak belum mumpuni.

Ia juga menyebut pentingnya kehadiran Satuan Tugas Khusus (Satgassus) penerimaan negara untuk menambal kebocoran tersebut.

Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa tanpa basis data kekayaan yang kuat, kebijakan penambahan tarif justru bisa memukul wajib pajak yang patuh, sementara yang menghindar tetap lolos.

Hal ini, menurutnya, bisa memicu risiko seperti capital flight, tax avoidance melalui offshore entities, atau bahkan migrasi pajak.

Sebagai solusi, Ariawan menyarankan pendekatan yang lebih komprehensif.

Selain penyesuaian tarif, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan minimum tax atau wealth tax berbasis aset neto, perluasan basis pajak atas penghasilan tidak rutin, dividen capital gain, dan properti mewah, serta reformasi atas insentif dan tax expenditures yang selama ini dinilai lebih menguntungkan kelompok atas.

“Kombinasi terbaik adalah penyesuaian tarif, perbaikan basis data, penguatan administrasi, pengawasan internasional, fokus pada perluasan basis pajak, penegakan hukum yang tidak tebang pilih,” katanya.

Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar lebih merekomendasikan instrumen pajak minimum bagi kelompok superkaya, atau bisa sebagai instrumen pelengkap dari peningkatan tarif layer tinggi.

Menurutnya, dengan adanya instrumen tersebut, kelompok superkaya akan membayar selaras dengan besaran aser yang dia miliki.

Lebih lanjut, kata Fajry, selama ini kelompok super kaya menikmati banyak pendapatan dari aset keuangan yang dikenakan tarif final yang lebih rendah dibandingkan tarif PPh Pasal 17, ada yang hanya dikenakan tarif 10% atau 20%.

“Nah, pajak minimum bagi kelompok super kaya dapat mengatasi hal tersebut,” kata Fajry.

(NS/KNTN)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini