KNews.id – Jakarta, PT Investree Radhika Jaya mengajukan jadwal pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada akhir Oktober 2025. RUPSLB ini merupakan tindak lanjut dari pembubaran perusahaan melalui RUPS Pembubaran pada 14 Maret 2025.
Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam akta keputusan RUPS Investree tertanggal 27 Maret 2025. “Ketua tim likuidasi perseroan dengan ini mengundang para pemegang saham untuk menghadiri RUPSLB yang dilaksanakan secara luring dan daring pada hari Kamis, tanggal 23 Oktober 2025,” tertulis dalam pengumuman yang dikutip Kamis (9/10/2025).
Agenda RUPSLB meliputi permintaan persetujuan dan penetapan rencana kerja anggaran biaya tim likuidasi, termasuk di dalamnya remunerasi tim likuidasi berupa honorarium, penghasilan, serta fasilitas lainnya.
Sementara itu, dalam perkembangan terpisah pada pekan lalu eks Direktur Utama Investree Adrian Asharyanto Gunadi berhasil ditangkap aparat penegak hukum. Pelarian Adrian di Qatar berakhir setelah Interpol menangkap dan membawanya kembali ke Indonesia untuk menjalani proses hukum.
Setelah penangkapan tersebut, aparat penegak hukum kini memburu buronan lain dari kasus serupa, termasuk pimpinan WanaArtha Life dan Kresna Life. Adrian tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Jumat (26/9/2025) setelah dijemput oleh Interpol Indonesia sejak Rabu (24/9/2025) di Qatar.
Ia tampak mengenakan kemeja putih dan borgol di tangan saat menjalani pemeriksaan, sebelum kemudian mengenakan rompi oranye bertuliskan “Tersangka OJK.”
Setelah mendarat di Terminal 1, Adrian dibawa ke Gedung 600 milik PT Angkasa Pura Indonesia. Di lokasi tersebut, aparat penegak hukum dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat memperlihatkan Adrian kepada media untuk diabadikan, sebelum membawanya keluar ruangan.
Adrian tidak memberikan pernyataan apa pun, dan konferensi pers terkait kasus Investree kemudian dimulai. Yuliana, Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK, menjelaskan bahwa Adrian melakukan penghimpunan dana masyarakat secara melanggar ketentuan dengan nilai mencapai Rp2,7 triliun.
Penggelapan tersebut dilakukan sepanjang Januari 2022 hingga Maret 2024. “Tersangka diduga menggunakan PT Radhika Persada Utama [RPU] dan PT Putra Radhika Investama [PRI] sebagai special purpose vehicle untuk menghimpun dana ilegal dengan mengatasnamakan PT Investree Radhika Jaya [Investree].
Dana tersebut kemudian digunakan antara lain untuk kepentingan pribadi,” ujar Yuliana dalam konferensi pers. Menurut Yuliana, selama penyidikan berlangsung, Adrian tidak kooperatif dan memilih berada di Doha, Qatar.
OJK kemudian menetapkannya sebagai tersangka dan melalui koordinasi dengan Korwas PPNS Bareskrim Polri serta Divisi Hubungan Internasional Polri, diterbitkan daftar pencarian orang (DPO) dan Red Notice pada 14 November 2024.
“Dalam hal ini Kementerian Hukum dan Kementerian Luar Negeri juga mengupayakan jalur G to G [government to government] berupa permohonan ekstradisi kepada pemerintah Qatar. Selanjutnya, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan telah pula menetapkan pencabutan paspor tersangka,” ujar Yuliana.
Proses pemulangan Adrian dilakukan melalui mekanisme kerja sama NCB to NCB dengan dukungan berbagai lembaga, termasuk Kementerian Luar Negeri dan KBRI di Qatar. OJK juga terus berkoordinasi dengan Bareskrim Polri terkait laporan korban pinjol Investree yang telah masuk ke Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya.
“Saat ini, tersangka merupakan tahanan OJK yang dititipkan di Rutan Bareskrim Polri untuk proses hukum lebih lanjut,” ujar Yuliana. Dari pihak kepolisian, Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol Polri, Brigjen Pol Untung Widyatmoko, mengungkap tantangan dalam penangkapan Adrian karena statusnya sebagai permanent resident di Qatar.
“Kenapa lama? Alasannya karena yang bersangkutan memiliki permanent residence atau izin tinggal di Doha [Qatar]. Dan kami tidak berputus asa untuk terus melakukan upaya-upaya, karena pihak Qatar meminta [proses pemulangan Adrian ke Indonesia] untuk dilakukan secara non-formal channel atau secara diplomatic channel,” ujar Untung dalam konferensi pers pada Jumat (26/9/2025).
Kronologi Penangkapan Adrian Gunadi di Qatar Dia menyebut sejak kasus gagal bayar Investree mencuat, Adrian telah mempersiapkan diri untuk meninggalkan Indonesia. Bahkan, sejak 2023, ia disebut sudah bolak-balik Indonesia–Qatar. OJK kemudian menetapkan Adrian sebagai buronan pada 14 Februari 2024.
Sejak saat itu, ia resmi menetap di Qatar. Kepolisian Indonesia kemudian membawa kasus tersebut ke Interpol General Assembly pada November 2024 di Glasgow, Inggris, dan berkoordinasi dengan Interpol Qatar untuk mempercepat proses penangkapan.
Untung menyebut bahwa Indonesia mendorong penangkapan melalui kerja sama police-to-police (P2P) karena dinilai lebih cepat dibandingkan jalur ekstradisi yang bisa memakan waktu hingga delapan tahun.
“Semenjak kami menjalin kerja sama hingga terakhir di Interpol Asian Regional Conference, kami menagih janji ke Executive Director of Asean, Kolonel Ali Muhammad Al-Ali, beliau Head of NCB Doha. Dan alhamdulillah kerja sama itu dibuktikan komitmennya, sehingga kami ke sana walaupun ada hambatan-hambatan, obstacle, tetapi berhasil pula kami lewati,” ujar Untung.
Ia menambahkan bahwa perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan Qatar menjadi tantangan tersendiri dalam proses tersebut, sehingga koordinasi dengan Interpol Qatar menjadi faktor penting keberhasilan penangkapan. Diketahui, selama di Qatar, Adrian menjabat sebagai CEO JTA Investree Doha, sebagaimana tercantum di laman resmi perusahaan tersebut. “Operator global dan wirausahawan berpengalaman.
Memimpin pertumbuhan teknologi finansial di berbagai pasar Asia Tenggara,” tulis profil singkat di laman resmi JTA Investree Doha memperkenalkan Adrian sebagai CEO perusahaan, dikutip pada Kamis (24/7/2025).
JTA Investree Doha Consultancy merupakan anak perusahaan dari JTA International Investment Holding, perusahaan penyedia teknologi finansial global yang mengembangkan perangkat lunak dan solusi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk pinjaman digital kepada bank, lembaga keuangan nonbank, serta perusahaan fintech.
Penyidik OJK bekerja sama dengan Kejaksaan Agung RI menjerat Adrian dengan Pasal 46 jo Pasal 16 ayat (1) Bab IV Undang-Undang Perbankan dan Pasal 305 ayat (1) jo Pasal 237 huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan jo Pasal 55 KUHP, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun.



