spot_img
Senin, Oktober 20, 2025
spot_img
spot_img

Turki Masuk Gaza, Ancaman yang Selama Ini Ditakuti Zionis Israel Datang

KNews.id – Jakarta, Dari balik kabut asap perang Gaza, sebuah sosok lama yang paling ditakuti Israel mulai menampakkan wujudnya. Panggilan azan dari menara Istanbul seakan bergema sampai ke lorong-lorong markas Mossad, membawa kabar buruk: Turki yang kini dipimpin Erdogan, sang “penantang abadi” yang kerap menyamakan Netanyahu dengan monster sejarah, kini datang dengan restu Amerika.

Kehadirannya bagaikan vampir yang diundang masuk ke dalam rumah—sebuah mimpi buruk strategis yang mulai menghisap habis pengaruh Israel, sementara bayangan tentara Turki berbaris di perbatasan bagaikan pasukan mayat hidup yang siap mengubah lanskap Gaza menjadi kuburan bagi ambisi Zionis.

- Advertisement -

Yang memberi karpet merah Turki masuk ke Gaza bukan siapa-siapa. Dia adalah teman dekat Israel, Amerika dengan presidennya Donald Trump. Erdogan tidak hanya mendapat legitimasi internasional untuk campur tangan di Gaza, tetapi juga kesempatan emas untuk membangun pijakan nyata dalam konflik Palestina – sesuatu yang selalu dihindari Israel sejak insiden Mavi Marmara 2010.

Kehadiran Turki di perbatasan Gaza bukan lagi sekadar ancaman diplomatis, melainkan momok strategis yang dapat memicu krisis baru setiap saat, mengingat sejarah panjang ketegangan antara kedua negara dan determinasi Erdogan untuk menampilkan diri sebagai pembela utama cause Palestina.

- Advertisement -

Berhasil Mainkan Peranan Kunci

Sebuah laporan dari Institut Studi Keamanan Nasional Israel yang dikutip surat kabar Yedioth Ahronoth mengibaratkan kembalinya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke panggung politik Gaza bagai “mimpi buruk” yang menjadi kenyataan bagi Israel.

Kekhawatiran ini muncul justru ketika Turki berhasil memainkan peran kunci dalam kesepakatan gencatan senjata terbaru – sebuah posisi strategis yang sebelumnya selalu ditolak Israel karena retorika pedas Erdogan yang menyamakan Netanyahu dengan “Hitler di zaman kita” dan menuding Israel melakukan genosida.

Menurut pakar Turki Galia Lindenstrauss, perubahan drastis ini tidak lepas dari dukungan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang memandang Erdogan sebagai “pemimpin yang mampu memulihkan ketertiban di Timur Tengah”, sebagaimana diberitakan Al Jazeera.

Namun, kepercayaan Washington ini justru membuat Israel cemas, karena keterlibatan Turki dalam masa transisi Gaza dianggap sebagai perkembangan paling mengkhawatirkan. “Kehadiran tentara Turki di dekat pasukan Israel saja sudah bisa memicu insiden yang berujung krisis diplomatik atau militer,” ungkap Lindenstrauss, seraya mengingatkan bentrokan Israel dengan pasukan penjaga perdamaian di Lebanon.

Para analis meyakini bahwa Trump yang lebih suka “mengelola Timur Tengah melalui hubungan dengan para pemain kuat” telah memberikan dengan tepat apa yang diinginkan Erdogan: legitimasi untuk kembali menjadi aktor kunci di Gaza setelah tersingkir sejak krisis Mavi Marmara 2010.

- Advertisement -

Sekadar mengingat kembali, pada 31 Mei 2010, pasukan komando Angkatan Laut Israel menyerbu kapal Mavi Marmara di perairan internasional, sebuah kapal utama dalam armada yang membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.

Misi ini diselenggarakan oleh Freedom Flotilla Coalition, sebuah koalisi aktivis dan organisasi hak asasi manusia, untuk memprotes dan mencoba menembus blokade laut Israel yang ketat terhadap Gaza.

Serangan tersebut menyebabkan kematian 10 aktivis Turki dan melukai puluhan lainnya, termasuk banyak aktivis dari berbagai negara. Insiden ini memicu kecaman internasional yang luas, mengutuk tindakan Israel yang dianggap melanggar hukum internasional karena menyerang misi kemanusiaan di perairan internasional.

Insiden Mavi Marmara sangat merusak hubungan diplomatik antara Turki dan Israel, yang saat itu menjadi sekutu kunci di kawasan. Turki menuntut permintaan maaf resmi, kompensasi untuk keluarga korban, dan pencabutan blokade Gaza.

Meskipun Israel akhirnya meminta maaf pada tahun 2013, hubungan kedua negara tetap tegang selama bertahun-tahun. Penyelidikan independen dan komisi yang dibentuk oleh Israel dan PBB menghasilkan laporan yang kontroversial, tetapi pada akhirnya, insiden ini menunjukkan dampak serius dari konflik Israel-Palestina terhadap hubungan internasional dan menimbulkan pertanyaan besar tentang legalitas blokade Gaza.

Kesempatan Bersejarah

Bagi Ankara, momentum ini adalah “kesempatan bersejarah” untuk membuktikan pengaruhnya dalam isu Palestina yang telah menjadi perhatian utama selama dua dekade. Seperti diungkapkan peneliti Rami Daniel, upaya Turki membangun poros Islam pendukung Palestina akhirnya menemukan momentumnya – sebuah perubahan menentukan yang mengancam kepentingan fundamental Israel di Gaza.

Bayangkan poros Islam pendukung Palestina seperti sebuah tim superhero yang punya spesialisasi berbeda-beda. Di tim ini, Turki berperan sebagai “diplomat super” yang menggunakan pengaruh politik dan militernya yang besar untuk membuka blokade diplomatik terhadap Israel di panggung internasional.

Sementara negara-negara lain seperti Iran dan Qatar menyumbangkan “power” mereka dalam bentuk dukungan finansial dan persenjataan, Turki hadir dengan senjata yang tak kalah ampuh: jaringan diplomatik global, kekuatan militer NATO, dan posisi strategis yang membuat Barat sekalipun harus berpikir dua kali untuk mengabaikannya.

Yang bikin poros ini semakin kuat adalah kemampuan mereka main di berbagai medan pertempuran. Kalau di lapangan Hamas dan kelompok perlawanan lain yang jadi ujung tombak, maka di belakang layar Turki dan sekutunya ini yang jadi “supplier” andalan—bukan cuma kirim rudal dan dana, tapi juga membuka koridor bantuan kemanusiaan hingga membela Palestina di PBB.

Mereka ibarat tim yang punya division of labor yang rapi: ada yang ngurusi perang narasi, ada yang bantu di bidang kemanusiaan, dan ada yang siap pasang badan secara militer. Kolaborasi inilah yang bikin Israel kelabakan karena serangannya datang dari banyak front sekaligus.

Namun yang paling cerdas dari gerakan poros Islam ini adalah bagaimana mereka mengubah isu Palestina dari sekadar konflik lokal menjadi simbol perlawanan global. Setiap kali Turki mengkritik Israel di forum internasional atau menggelar bantuan kemanusiaan ke Gaza, mereka sebenarnya sedang membangun opini dunia bahwa Palestina adalah urusan semua umat Islam.

Dengan strategi ini, mereka tidak hanya membantu rakyat Palestina secara langsung, tapi juga memastikan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina tetap hidup dalam hati muslim di seluruh dunia—menjadi api yang tidak akan pernah padam sampai Palestina benar-benar merdeka.

(FHD/Rpk)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini