KNews.id – Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuai kecaman luas setelah mengusulkan pemindahan paksa sekitar 1,5 juta warga Palestina dari Gaza ke Yordania dan Mesir. Proposal yang disebutnya sebagai upaya “membersihkan” wilayah itu ditolak oleh Palestina, negara-negara Arab, dan bahkan dikritik oleh media serta analis Israel.
Dalam pernyataannya pada Sabtu (25/1/2025), Trump menggambarkan Gaza sebagai “lokasi pembongkaran” dan menyatakan, “Lebih baik kita membersihkan semuanya. Saya ingin Mesir menerima orang-orang itu… Ini bisa bersifat sementara atau jangka panjang.”
Usulan ini muncul kurang dari seminggu setelah gencatan senjata di Gaza berlaku pada 19 Januari, mengakhiri 15 bulan perang. Otoritas Palestina serta pemerintah Yordania dan Mesir langsung menolak ide tersebut. Mereka menegaskan bahwa pemindahan paksa berisiko menghapus hak pulang warga Palestina ke tanah mereka.
Yordania, yang menjadi rumah bagi lebih dari dua juta pengungsi Palestina, telah berulang kali menolak menjadi “tanah air alternatif” bagi mereka. Selain dari sejumlah negara Arab, rencana Trump tersebut bahkan diolok-olok surat kabar terkemuka Israel, Haaretz, dalam tajuk mereka pada Senin (27/1/2025).
Haaretz menyebut usulan itu sebagai “visi pengusaha properti yang tidak realistis” dan secara sarkastik menyarankan Trump untuk “mengirim warga Gaza ke Mars”.
Kolumnis Haaretz Chaim Levinson menegaskan, “Tidak ada rencana konkret untuk ini. Negara-negara Islam seperti Qatar dan Mesir mungkin bersimpati, tetapi tidak ada yang mau menerima pengungsi Gaza.”
Analis lain, Zvi Bar’el, mengingatkan bahwa Israel telah berulang kali memberi jaminan ke Yordania dan Mesir bahwa “tidak ada rencana pemindahan paksa”.
Para ahli hukum internasional mengecam proposal Trump sebagai ilegal. Ardi Imseis, profesor hukum internasional di Queen’s University dan mantan pejabat PBB, menyatakan bahwa pemindahan massal warga Palestina dari wilayah pendudukan melanggar Konvensi Jenewa.
“Pemindahan paksa atau deportasi penduduk sipil dari wilayah pendudukan dilarang keras, apa pun motivasinya,” tegas Imseis dikutip dari Middle East Eye.
Penolakan rencana tersebut juga datang dalam negeri AS. Bahkan sekutu Trump di Partai Republik mengaku bingung. Senator Lindsey Graham menyebut ide tersebut “tidak praktis” dan mendesak Trump untuk berfokus pada dialog dengan pemimpin Arab.
Pemerintah Jerman juga menolak keras usulan itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman menegaskan, “Gaza tidak boleh diduduki atau dikolonisasi ulang. Hak pulang warga Palestina harus dijamin.”
Di tengah ketegangan, puluhan ribu warga Palestina membanjiri Gaza Utara—wilayah yang paling hancur—untuk menunjukkan tekad tetap tinggal di tanah mereka. “Saya ingin pergi ke utara… Saya akan kembali meski harus berjalan tanpa alas kaki,” kata Sami Saleh, pengungsi yang terusir selama perang.
Sekitar 80% populasi Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi yang terusir sejak Nakba 1948. Saat ini, terdapat 5,8 juta pengungsi Palestina terdaftar di Tepi Barat, Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Gencatan senjata yang berlaku sejak 19 Januari masih dalam tahap awal. Pada Sabtu lalu, Israel dan Hamas menyelesaikan pertukaran tahanan kedua: empat tentara Israel dibebaskan sebagai imbalan 200 tahanan Palestina.
Sementara itu, Trump mengonfirmasi pengiriman bom 2.000 pon (907 kg) ke Israel—kebijakan yang dihentikan pemerintahan Joe Biden sebelumnya.
Pemerintahannya juga berjanji memberikan “dukungan tanpa syarat” kepada Israel, meski belum merilis strategi jelas untuk perdamaian Timur Tengah.