spot_img
Minggu, Mei 5, 2024
spot_img

Tommy Winata : Awalnya Rempang Akan di Bangun Kasino Mewah dan Pusat Judi

KNews.id – Anggota DPRD Kepulauan Riau (Kepri), Taba Iskandar angkat bicara terkait polemik Proyek Eco-City di Pulau Rempang. Taba mengaku menolak rencana relokasi warga dari 16 kampung tua di pulau tersebut, karena dianggap bukan solusi untuk menyelesaikan polemik yang sudah berlarut-larut.

Menurut Taba riwayat pengembangan Pulau Rempang, dimulai sejak 2004. Kader Partai Golkar ini menjelaskan bahwa semuanya dimulai dari surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, yang dia teken saat menjabat sebagai Ketua DPRD Batam. Isi surat tersebut menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) milik pengusaha Tomy Winata yang mendapat rekomendasi dari 6 fraksi di DPRD Batam.

- Advertisement -

Menurut Taba, DPRD Batam memberikan respons positif kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang ingin mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.

Warga Rempang menangis saat melihat keluarga dan kerabat mereka bentrok dengan aparat karena menolak relokasi.Warga Rempang menangis saat melihat keluarga dan kerabat mereka bentrok dengan aparat karena menolak relokasi. Ketua DPRD Batam Taba mengatakan awalnya akan dibangun kasino mewah dan pusat judi Rempang. Pengusaha Tomy Winata angkat bicara soal ini 

Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam. Wali Kota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Sementara Ismeth Abdullah yang menjabat penjabat Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) turut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemkot Batam. Kerja sama, kata dia juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.

- Advertisement -
Dalam KWTE, kata Taba, destinasi wisata juga menyangkut soal pusat judi dengan
membangun kasino mewah di sana.

“Tidak ada lanjutan proyek yang sekarang (Eco-City Rempang) dengan proyek KWTE tahun 2004. Investasi KWTE ini terkait pariwisata, konsepnya akan membangun destinasi pariwisata seperti di Genting Higland (Malaysia) atau Sentosa (Singapura),” papar Taba.

Taba menyatakan bahwa pernyataan Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang menyatakan proyek Eco City hanya melanjutkan kerja sama pengembangan Pulau Rempang melalui PT Makmur Elok Graha (MEG), perusahaan milik Tomy Winata (TW) adalah keliru. Karena proyek yang sekarang ini berbeda dengan proyek KWTE tahun 2004.

- Advertisement -

“Saat itu, memang dilakukan kerja sama antara BP, pemkot dan PT MEG. DPRD Batam hanya memberi rekomendasi saja, dengan landasan peraturan daerah (perda) KWTE. Jadi semua kegiatan hiburan malam dipindahkan ke Rempang, tapi ke Rempang Laut yang pulaunya terpisah dari daratnya,” paparnya lagi.

Status lahan Pulau Rempang saat itu, katanya juga masih belum Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama BP Batam maupun Pemkot Batam. Saat itu, masih status quo, jadi masih tanah negara ada hutan lindung dan lainnya, ungkapnya.

Setelah itu, karena ketiadaan infrastruktur di Rempang, Pemkot Batam memberikan lokasi sementara di Marina Batam selama 5 tahun untuk pengembangan KWTE. Namun setelah itu Kapolri saat itu, Sutanto beranggapan bahwa kawasan wisata tersebut akan dibuat tempat judi.

“Maka batal Perda KWTE dan perjanjian kerja sama tersebut selesai, dan tidak ada lanjutan hingga sampai proyek Eco-City ini,” paparnya.

“Perbedaan lainnya KWTE itu program lokal, sedangkan proyek Eco-City ini Program Strategis Nasional (PSN),” jelasnya. Mengenai isu relokasi, Taba menyebut BP Batam harus lebih bijak dan humanis dalam mendekati warga setempat. Dia meminta rencana relokasi tersebut didesain ulang agar tidak ada masyarakat yang dirugikan.

“Soal relokasi ini ini tidak tepat. Beda dengan masyarakat yang tinggal di rumah liar, karena jika suatu saat lahannya dibangun, maka bisa direlokasi. Sedangkan di Rempang, mereka duluan yang tinggal di situ sebelum ada BP Batam ataupun Kota Batam ini,” ungkapnya. DPRD Kepri mendukung investasi tetap berjalan, tapi juga harus memikirkan kepentingan rakyat lokal.

“Sebaiknya konsep pengembangan Rempang didesain ulang. Itu dengan mengintegrasikan masyarakat tempatan ke dalam konsep pembangunan, tanpa melakukan relokasi,” ungkapnya.

Menurut Taba, tidak semua lahan di Rempang dapat dijadikan kawasan industri, karena ada yang merupakan daerah pemukiman, dan bahkan ada yang berstatus hutan lindung. Sebagai contoh, pengembang dapat melakukan renovasi terhadap rumah warga yang kurang layak dan menyediakan sarana tangkap bagi nelayan, yang jadi mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut.

“Kalau rumah tinggalnya tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata, rumahnya yang diperbaiki. Karena dia mencari makan di sana, bukan ditempatkan di rumah susun atau dibuatkan rumah lagi. Kampung itu adalah bagian integrasi dari konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,” ujarnya. Kemudian, pengembang dapat mengonversi lahan masyarakat yang ingin dijadikan lokasi industri.

“Dihitung luasan tanahnya. Jika masuk dalam kawasan industri, maka itu akan menjadi saham di perusahaan tersebut maka dia punya masa depan sampai anak cucunya,” tambahnya.

Pemilik PT Makmur Elok Graha (MEG) Tomy Winata yang juga pendiri Grup Artha Graha angkat bicara soal proyek Rempang. Tomy membantah pernyataan Taba yang menyebutkan awalnya Rempang akan dijadikan destinasi wisata berikut pusat judi seperti di Genting Higland (Malaysia) atau Sentosa (Singapura),

”Tidak benarlah, saya patuh pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia,” tegasnya sepeti dilansir Batam Pos dari laman Majalah Tempo.

”Kami mendapat satu konsep. Kami diajak ngomong. ’Keberatan tidak?’ Saya jawab tidak keberatan,” ungkap Tomy Winata.

Tomy Winata juga menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan seluruh wilayah Rempang yang luasnya mencapai 17 ribu hektare. Pihaknya hanya membutuhkan lahan seluas 7.500 hektare.

”Iya, dari wilayah itu kami tidak menggunakan seluruhnya 17 ribu hektare, hanya 7.500 hektare,” tegas Tomy Winata.

Bahkan, rencananya Xinyi Glass Holdings Limited (Xinyi Group) membuat pabrik pasir silika, pasir kuarsa, solar panel, hingga energi baru dan terbarukan akan menyerap 35 ribu tenaga kerja. Juga bakal ada pendapatan pajak yang cukup besar.

”Di lain pihak ada yang menjual bahan baku dengan sangat murah malah dibiarkan,” beber Tomy.

Meski berpolemik, Tomy menyebut investor hingga kini belum menyatakan mundur. Paling tidak ia belum mendapatkan surat resmi. Namun, Tomy menyerahkan apapun putusan pemerintah terkait rencana investasi jumbonya di Rempang.

”Kami patuh dan loyal pada putusan pemerintah dan BP Batam,” tegasnya.

Diketahui, Bentrokan warga dengan aparat keamanan di Pulau Rempang berawal dari keputusan Pemerintah yang memasukkan Proyek Rempang Eco-City ke dalam PSN tahun 2023.

Keputusan itu diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2023. Sementara itu entitas perusahaan yang diberikan hak untuk mengelola kawasan Rempang adalah PT MEG atau Makmur Elok Graha. PT MEG merupakan anak perusahaan Artha Graha Network yang bergerak di bidang jasa pariwisata dan perhotelan. Artha Graha Network merupakan milik konglomerat Tomy Winata.Konglomerat Tomy Winata dikenal sebagai orang terkaya di Indonesia ke-40 pada 2016.

Bentrok 

Masalah Rempang mengemuka ketika muncul rencana relokasi warga Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru. Terkait investasi Pulau Rempang yang bakal disulap kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini yang ini ditargetkan bisa menarik investasi Rp3801triliun hingga 2080. Tahap awal, perusahaan asal China yakni Xinyi Group tertarik membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa atau pasir silika.

Bentrok pun pecah antara aparat dengan warga pada 7 September 2023. Aparat gabungan disebut memasuki wilayah perkampungan warga. Sementara warga memilih bertahan dan menolak pemasangan patok lahan sebagai langkah untuk merelokasi.

Tak berhenti di sana, kerusuhan kembali terjadi pada 11 September saat ribuan warga menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam. Warga menolak rencana relokasi dan meminta tujuh warga yang terlibat aksi dibebaskan. (Zs/Trbn)

 

 

 

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini