Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Perilaku kepemimpinan Jokowi saat menjadi Presiden, banyak memakan korban nyawa, ada korban kejahatan pelanggaran HAM berat, diantaranya peristiwa KM 50 (Tahun 2020), namun law enforcement process sengaja tidak menyentuh otak pelaku (medelpleger) dan sebelumnya ada korban kematian 894 orang petugas KPPS pemilu pilpres 2019 namun tidak ada visum et repertum, sehingga pemerintahan di bawah Jokowi dapat dikategori sebagai “state of crime”
Selanjutnya terhadap dua peristiwa tragis dimaksud, saat Jokowi menjabat presiden, telah melakukan pembiaran hukum (disobedient) setidaknya tidak serius memerintahkan aparatur mengusut tuntas penyebab dan latar belakang peristiwa hukum.
Termasuk hal tuduhan publik Jokowi pengguna ijazah palsu oleh Bambang Tri Mulyono/ BTM dan Gus Nur, merupakan bentuk hubungan hukum antara publik kepada pejabat publik (vide UU. Keterbukaan Informasi Publik/ KIP), andai tidak didasari fitnah dan hasut, maka penyelesaiannya cukup simple, sekedar klarifikasi dan bukti dari Jokowi selaku pejabat publik, lalu clear. Namun alhasil temuan publik BTM dan Gus Nur yang tidak fitnah, justru berakibat keduanya dipenjara.
Serta saat ini masih dalam hal pokok yang sama (Ijazah S.1 Jokowi palsu) bahkan tuduhan (publik) berdasarkan IT (ilmiah), hasil analisa forensik digital, namun nyatanya berdampak 4 (empat) orang aktivis (Dr. Rismon, Dr Roy, dr Tida dan Rizal Fadilla (aktivis TPUA) telah dilaporkan ke Penyidik Polri, serta sebelum terbitkan laporan, dirasakan ada nuansa teror (intimidasi) terhadap TPUA, yakni:
1. Dr. Eggi Sudjana bersama dengan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) yang sudah sebulan sebelumnya berkirim surat akan berkunjung ke UGM, Jogjakarta (15/4/ 2025) dan ke rumahnya di Solo (16/4/ 2025), namun Dr. Eggi mendadak mendapatkan panggilan menghadap ke pihak penyidik Polri tepat pada 15 April 2025;
2. Jokowi dikunjungi kelompok premanisme, menjelang Kelompok TPUA berkunjung ke rumahnya di Solo, lalu publis berita kelompok premanisme akan mengahalau kedatangan TPUA ke rumah Jokowi di Solo;
3. Jokowi memperlihatkan ijazah ‘asli’ S.1 nya kepada 11 wartawan, namun tanpa boleh di foto (melanggar UU. Tentang Pers). Sebaliknya;
4. Jokowi menolak memperlihatkan ijazah S.1 a quo in casu kepada TPUA, dengan mengatakan alasannya dalam konpres ; “TPUA tidak memiliki kewenangan dan dirinya tidak memiliki kewajiban untuk memperlihatkan (Ijazahnya). Pendapat Jokowi melanggar UU. Tentang KIP);
5. Jokowi sosok yang berbahaya secara moral (morally dangerous figure), karena terbukti dihadapan 3 orang anggota TPUA implisit menyatakan, “memalsukan sekedar ijazah S.1 tidak apa-apa, kecuali S.2 dan S.3”.
Selanjutnya, terkait perkara BTM dan Gus Nur, ada beberapa temuan saat Pengadilan Negeri Surakarta menggelar perkara, bahwa Penyidik Polri tidak memiliki BAP dari Jokowi, dan Penyidik Polri maupun JPU, Hakim dan para Pengacara tidak diperlihatkan atau tidak pernah memegang Ijazah SD, SMP dan SMA serta S.1 Jokowi, selain foto Copi (tanpa komparasi ijazah asli) dan beberapa bukti keganjilan lainnya, namun kedua terdakwa dituntut oleh JPU 10 tahun penjara, lalu majelis hakim PN. Surakarta memvonis 6 tahun penjara.
Dari sisi perspektif dan logika hukum dihubungkan dengan fungsi tugas Jokowi saat menjabat presiden, berdasarkan asas ekualitas yang ada pada UUD. 1945 sebagai pijakan hukum ketatanegaraan, Presiden harus bertanggung jawab walau sekedar terhadap harga bawang yang mahal di pasar’, sehingga terlebih dihubungkan dengan segala peristiwa hukum tersebut diatas, termasuk perilaku sosok Jokowi yang dikenali hobi berbohong puluhan kali’ bahkan estimasi kebohongannya mencapai 100 kali lebih, tentu berlaku asas ekualitas, sehingga absolut Jokowi harus dapat diproses hukum, terlebih ada koban fisik, nyawa dan harta benda.
Oleh karenanya dalam makna hukum secara luas, walau seseorang memiliki privelege, tetap saja keberlakuan hukum terhadapnya equal (primus inter pares).
Untuk itu agar publik bangsa ini tidak keliru atau salah tafsir menginterpretasikan, bahwa Prabowo identik (tidak beda) pola kepemimpinannya dengan Jokowi (attitude leadership), ideal Prabowo selaku Presiden RI segera menginstruksikan Kapolri Listyo Sigit agar Ijazah S.1 Jokowi dari UGM, termasuk investigasi identitas (biografi) asal usul keluarga Jokowi, karena didapati temuan beberapa keganjilan terkait identitas dirinya yang terkuak di P. N Surakarta, karena dari sisi hukum identitas seluruh warga negara bangsa ini, terlebih identitas seorang pemimpin tidak boleh bohong atau palsu, selain mengingat dan memperhatikan track record (bad leadership) Jokowi dimasa kepemimpinannya,
kesemuanya ini demi fungsi kepastian hukum, manfaat hukum dan rasa keadilan.
Pastinya bangsa ini tidak boleh tercederai oleh seonggok manusia, yang perilakunya absurd dikatakan terhormat (behavior is dishonorable) karena realistis tidak role model, sehingga bangsa ini lacur atau ketiban sial, jika NRI memberi reward sebidang tanah seluas 1,2 berikut bangunan rumah diatasnya kepada pemimpin amoral saat berkuasa, licik (flying victim) dan terus ditandai melakukan dusta dan adu domba walau sudah menjadi bekas pemimpin.
(FHD/NRS)