DPR telah mensahkan UU KUHP yang, menurut istilah Margarito Kamis, ahli hukum tatanegara, telah mundur dalam peradaban 200 tahun silam. UU KUHP ini bahkan dikecam oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 7 pasalnya dan juga oleh negara pro-demokrasi lainnya, seperti Amerika. Setidaknya terdapat pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan jajaran pejabat negara, yang tadinya sudah dihilangkan sejak reformasi. Kemudian juga ada pasal-pasal yang menyulitkan kebebasan berpendapat dan penegakan HAM, serta pasal perzinaan yang kurang akomodatif pada hukum Islam, dapat menjerat para ulama atau kyai yang sedang menjalankan syiar Islam dengan kawin berdasarkan agama saja.
Menyelamatkan demokrasi ke depan, kata Syahganda setidaknya adalah menyelamatkan pemilu, mencari kepemimpinan bangsa yang baik, presiden dan legislatif, menegakkan sistem “check and balance” dalam menjalankan roda negara dan mendorong adanya kebebasan sipil dalam bersyarikat dan berpendapat.
“Demokrasi juga adalah sebuah kepemimpinan yang menghormati pemimpinnya, namun memastikan tidak adanya feodalisme kepemimpinan yang menjadikan pemimpin sebagai “Man Can Do No Wrong”. Untuk itu seluruh kekuatan rakyat, baik institusi politik maupun kalangan kampus dan organisasi masyarakat harus menekan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk tunduk pada agenda dan skedul yang ada, yakni pemilu 2024, dan menorong terwujudnya pemilu yang bersih dari ”money politics” serta bebas dari keberpihakan aparatur negara,” pungkas Syahganda. (Ach)