Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Sekalipun seorang pejabat Presiden RI yang justru harus lebih dul tunduk (4ole model ) dalam makna NRI adalah berdasarkan hukum, dan setiap WNI adalah berkedudukan sama di mata hukum, oleh karenanya oleh sebab hukum, bisa dikenakan tuduhan pasal makar jika tindakannya memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 104, 106, dan 107.
Kumulasi Pasal Terkait Makar:
1. Pasal 104 KUHP: Makar memiliki makna unsur atau elemen elemen dengan niat atau maksud membunuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden/Wakil Presiden memerintah, diancam pidana mati atau penjara seumur hidup/paling lama 20 tahun;
2. Pasal 106 KUHP: Makar dengan maksud membuat sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau dalam makna luas hukum, untuk atau agar memisahkan diri atau terpisah dari NRI, diancam penjara seumur hidup/paling lama 20 tahun;
3. Pasal 107 KUHP: Makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, diancam penjara paling lama 15 tahun.
Adapun unsur Makar atau aanslag:
1. Niat kehendak atau dolus/mensrea (Maksud/ bertujuan) telah berkejelasan untuk melakukan tindakan makar;
2. Permulaan Pelaksanaan nyata yang menunjukkan permulaan pelaksanaan makar;
3. Tidak Sekadar Pernyataan, namun harus ada bukti sikap lisan dan disertai tindakan konkret.
_Ilustrasi kasus hukum yang benar dan tidak benar (perspektif):
1. Kasus pengibaran bendera separatis (contoh: Bintang Kejora di Papua) pernah dikategorikan sebagai makar;
2. Penerapan pasal makar yang sering diperdebatkan terkait kebebasan berpendapat vs keamanan negara.
Catatan hukum terhadap kedua ilustrasi hukum:
Terhadap contoh pertama benar adanya, karena kelompok separatis Bintang Kejora sudah banyak tanda tanda selain bendera yang berbeda (bukan merah putih) juga melakukan beberapa kali pembunuhan terhadap WNI dan TNI – POLRI serta menyampaikan kehendaknya (mens rea) ingin memisahkan Papua sebagai negara merdeka.
Terhadap hal contoh yang kedua, tentunya secara perspektif logika hukum merupakan kontraproduktif, justru pengekangan WNI untuk praktik pelaksanaan dari pada perintah undang undang untuk menyampaikan kebenaran atau kritisi atau protes terhadap kebijakan politik hukum penguasa yang keliru dengan dan harus melulu berdasarkan asas legalitas berikut data empirik.
Dan terkait judul dengan tanda tanya tentu sebuah indikasi hukum yang mengandung problematika dan perlu disikapi oleh kalangan ahli atau pakar hukum serta utamanya penguasa pemerintahan saat ini, dengan pola dan metode berbagai contoh kasus lainnya yang dilakukan Jokowi saat menjabat presiden dan “nampak berlanjut”.
Perilaku Jokowi tentu sesuai asas fiksi hukum bahwasanya “semua orang dianggap tahu terhadap keberadaan hukum yang berisi ketentuan dan larangan,” terlebih dalam hal ini Jokowi sosok “yang paling tidak lulus SMA”, tentu dianggap tahu adanya larangan menjual laut.
Terlebih “andai menjual wilayah laut kepada pihak asing atau WNA”, maka apakah pengetahuan seseorang terhadap tindakan terjadinya proses pemalsuan surat surat (akte dibawah tangan hingga akte otentik) yang dilakukan secara sengaja, patut dikategorikan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 106 KUHP sebagai makna makar atau serangan.
Pemahaman aanslag (serangan) tidak adil dan tidak berkepastian hukum serta picik, jika aanslag dimaknai sekedar terbatas kepada perilaku atau perbuatan yang ingin membunuh kepala negara saja, melainkan harus include menguji klausula pada frase tentang “mengganggu keberlangsungan pemerintahan yang sah” sehingga mesti memasuki substansial makna etimologi hukum dan sejarah hukum berikut analisis terhadap makna daripada gejala gejala “ingin sebagian wilayah negara jatuh ke tangan WNA atau yang perspektifnya adalah musuh atau agar memisahkan diri sebagian dari NRI Jo. Vide Pasal 106 KUHP.
Maka inilah studi kasus bukan terhadap kebijakan politik namun spesial kejahatan seorang pemimpin, selain demi tujuan dan fungsi kepastian hukum, logika demi kepastian hukum (legalitas) dan keadilan (justice), sehingga terhadap setiap kejahatan siapapun pelakunya, terlebih figurnya adalah Jokowi, harus ada beban pertanggungjawaban hukum dan moral, selain hukum tanpa moral adalah sia sia belaka, noktah !
(FHD/NRS)



