KNews.id – Jakarta – Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi di mana asam lambung kembali naik ke kerongkongan. Kondisi itu menyebabkan sensasi tidak nyaman di dada atau heartburn dan rasa pahit atau asam di mulut.
Kondisi ini terjadi akibat melemahnya katup atau klep yang seharusnya menutup rapat antara kerongkongan dan lambung seperti disampaikan dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastro Dedy G. Sudrajat.
Lebih lanjut, Dedy mengungkapkan ada berbagai pemicu GERD. Mulai dari kebiasaan makan, jenis makanan yang dikonsumsi, hingga kondisi psikologis seperti stres.
“Makanan tertentu seperti tinggi lemak, cokelat, susu, pedas, juga mengonsumsi bawang putih berlebihkan juga bisa melemahkan klep, yang memungkinkan cairan atau isi lambung naik ke atas,” kata dokter yang praktik di RS EMC Grha Kedoya.
Lalu, mengunyah terlalu cepat, makan sampai kekenyangan dan langsung berbaring usai makan itu juga bisa memicu GERD.
Mengonsumsi minuman seperti kopi, alkohol, dan minuman bersoda juga bisa memicu GERD pada sebagian orang.
Mengatasi GERD
Dedy mengatakan saat GERD datang perlu diatasi dengan optimal. Lalu, ia pun menekankan pada perubahan gaya hidup dan penerapan pola makan sehat sebagai fondasi penanganan GERD.
Langkah perbaikan bisa dimulai dari hal sederhana yang dilakukan setiap hari. Mulai dari menghindari makanan minuman pemicu GERD hingga berhenti merokok.
Berikut selengkapnya:
1. Kenali dan Hindari Makanan Pemicu
Beberapa makanan dan minuman dapat meningkatkan risiko kambuhnya GERD. Dedy menjelaskan, kategori yang umum menjadi pemicu, seperti:
Makanan terlalu berlemakMakanan pedasBawang putih berlebihKopiAlkoholSodaNamun, respons tiap orang bisa berbeda. “Masing-masing orang punya sensitivitas yang lain-lain,” ujar Dedy.
Ada yang masih bisa minum kopi tanpa susu dalam porsi kecil, ada yang lebih sensitif pada santan, namun masih toleran terhadap pedas.
Oleh karena itu, kesadaran terhadap respons tubuh menjadi kunci dalam mengendalikan gejala seperti pesan Dedy.
2. Atur Porsi dan Frekuensi Makan
Selain pemilihan makanan, cara makan juga menentukan. Jika pasien mengalami obesitas, Dedy menyarankan penurunan berat badan karena dapat mengurangi gejala secara signifikan.
Dedy juga menyebutkan, beberapa pasien merasa lebih nyaman makan sedikit tetapi sering. Pada sebagian lainnya, puasa justru membuat gejala membaik.
“Pada pasien-pasien yang Muslim sering kali malah pada puasa Ramadan, gejalanya hilang,” katanya.
Namun, ia mengingatkan agar tidak makan berlebihan saat berbuka. Terlalu banyak dan terlalu berlemak justru menjadi pemicu, sehingga pilihan menu dan waktu makan saat berbuka harus diperhatikan.
3. Kunyah Lebih Lama dan Jangan Terlalu Kenyang
Menghabiskan makanan terlalu cepat dapat membebani lambung. Dedy menyarankan untuk mengunyah lebih lama, tidak terburu-buru, dan menghindari kondisi sangat kenyang.
Jika lambung terlalu penuh, tekanan yang meningkat dapat melemahkan klep yang berfungsi mencegah kenaikan asam lambung.
4. Jaga Jarak Waktu Sebelum Tidur
Setelah makan, tubuh membutuhkan waktu untuk mencerna. Oleh karena itu, tidak disarankan makan menjelang tidur.
“Jangan makan langsung berbaring, kalau bisa dijeda 3 jam,” tegasnya. Langkah sederhana ini dapat membantu mencegah gejala muncul pada malam hari.Strategi Lain
5. Berhenti Merokok dan Perhatikan Kondisi Kehamilan
Dedy menyebut, merokok berisiko memicu GERD karena asap yang tertelan bisa merusak lapisan pelindung kerongkongan serta membuat air liur berkurang. Padahal air liur berfungsi sebagai penetral asam.
Dedy juga mengingatkan, kehamilan rentan memicu GERD. Bila ada riwayat gejala pada kehamilan sebelumnya, konsultasi medis menjadi penting dilakukan.
6. Tetap Tenang Saat Serangan Terjadi
Ketika muncul rasa tidak nyaman di dada, Dedy menekankan untuk tidak panik. Rasa cemas dapat memperburuk kondisi. Ia menyarankan untuk minum air putih biasa, bukan air terlalu panas atau dingin, agar gejala lebih cepat mereda.
7. Gunakan Obat Bila Diperlukan
Meski fokus utama penanganan berada pada perubahan gaya hidup, Dedy menjelaskan, obat lambung masih diperlukan pada kondisi tertentu, terutama bila gejala masih sering muncul dan masih dalam pemantauan dokter.



