KNews.id – Jakarta, Masuknya nama Presiden ke-7 Joko Widodo atau lebih dikenal sebagai Jokowi dalam daftar pemimpin terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menjadi perhatian di momen pergantian tahun 2024 ke 2025 ini. Usai munculnya nama Jokowi dalam daftar pemimpin terkorup di dunia tahun 2024 versi OCCRP ini, sejumlah pihak langsung memberikan pembelaan kepada Presiden ke-7 tersebut.
Lalu bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah terkait nama Jokowi yang masuk daftar pemimpin terkorup 2024 versi OCCRP tersebut.Sebelumnya, nama Jokowi masuk nominasi tokoh terkorup bersama pemimpin seperti Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, eks Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India, Gautam Adani.
OCCRP kemudian menobatkan Presiden Suriah yang terusir, Bashar Al-Assad, sebagai Tokoh Terkorup 2024 mengalahkan Jokowi. Organisasi jurnalis ini memilih presiden Suriah tersebut dengan menyinggung bisnis gelap keluarga Assad dan pengaruhnya terhadap kawasan Timur Tengah selama lebih dari 20 tahun berkuasa.
Organisasi yang berbasis di Amsterdam, Belanda itu mengaku menetapkan finalis dan pemenang Tokoh Terkorup 2024 berdasarkan nominasi dari publik dan jurnalis yang kemudian ditentukan enam dewan juri dari kalangan jurnalis dan akademisi.
Bagaimana Jokowi menjadi finalis Tokoh Terkorup 2024?
Menurut keterangan OCCRP, nama-nama yang masuk nominasi Tokoh Terkorup 2024 tidak semata diloloskan tanpa verifikasi. Keputusan akhir ada di tangan enam dewan juri yang terdiri dari jurnalis investigasi Ghana, Anas Aremeyaw Anas; pakar anti-korupsi Inggris Raya, Susan Hawley; CEO Daraj.com Alia Ibrahim; co-founder OCCRP, Paul Radu; profesor kebijakan publik Universitas George Mason, Louis Shelley; dan co-founder OCCRP, Drew Sullivan.
Organisasi tersebut menerangkan, Presiden Kenya William Ruto memperoleh nominasi terbanyak dengan 40.000 suara. Namun, dewan juri menilai Assad lebih pantas dinobatkan sebagai orang terkorup sedunia.
“Dewan juri kami meninjau seluruh nominasi, tetapi keputusan akhir ada di tangan juri. Ini bukan kontes popularitas,” demikian keterangan OCCRP via media sosial X, Rabu (1/1/2024). “Tahun ini, dewan juri memilih Bashar Al-Assad, mempertimbangkan kekacauan lintas-perbatasan dan kehancuran yang disebabkan rezimnya di Timur Tengah.”
Respons KPK
Terkait dengan masuknya nama Jokowi sebagai pemimpin terkorup 2024 versi OCCRP, KPK menyatakan semua Warga Negara Indonesia (WNI) sama kedudukannya di mata hukum. “Semua warga negara Indonesia, memiliki kedudukan yang sama di muka hukum,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).
KPK mempersilahkan bila ada pihak-pihak yang memiliki informasi dan bukti pendukung, tentang adanya perbuatan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara, untuk dapat dilaporkan menggunakan saluran dan cara yang tepat ke Aparat Penegak Hukum (APH). “Baik itu ke KPK, maupun ke kepolisian atau kejaksaan yang memang memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi,” kata Tessa.
Desakan Abraham Samad
Menurut Abraham Samad, jika KPK hanya berdiam diri dan tidak bertindak, maka bisa saja masyarakat bisa memberikan penilaian negatif kepada KPK.
Masyarakat bisa saja menilai Komisioner KPK yang baru ini adalah orang-orangnya Jokowi karena KPK enggan merespons isu ini. “Harusnya KPK merespons dengan cepat, karena kalau KPK berdiam diri tidak bertindak.”
“Maka bisa masyarakat menganggap komisioner KPK yang baru ini memang orangnya Jokowi seperti yang selama ini beredar dugaan,” kata Abraham Samad.
Jokowi Hanya Tertawa
“Yang dikorupsi apa. Ya dibuktikan, apa,” kata Jokowi sambil tertawa saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah (Jateng), pada Selasa (31/2/2024).
Kendati demikian, dia mengungkapkan banyak sekali framing yang merugikan dirinya tanpa bukti yang jelas. “Ya apa, apalagi? Sekarang kan banyak sekali fitnah, banyak sekali framing jahat. Banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti. Itu yang terjadi sekarang kan,” kata Jokowi.
Disinggung soal kemungkinan ada muatan politis, Jokowi meminta hal itu ditanyakan langsung kepada pihak yang tergabung dalam OCCRP. Mantan gubernur DKI Jakarta itu menekankan, saat ini siapa pun bisa menggunakan kendaraan apa pun untuk menfitnah dirinya.
“Ya ditanyakan aja, tanyakan aja. Orang bisa pakai kendaraan apa pun lah. Bisa pakai NGO, bisa pakai partai, bisa pakai ormas untuk menuduh, untuk membuat framing jahat, membuat tuduhan jahat-jahat seperti itu,” ujar Jokowi.
Pihak yang Bela Jokowi
Berikut ini pihak-pihak yang mengkritik publikasi OCCRP terkait Jokowi sebagai pemimpin paling korup dunia 2024.
Koordinator Koalisi Kader Partai Golkar (KKPG) sekaligus Koordinator Koalisi 40 Ormas/Pemuda untuk Jokowi (KOPI JOKJA), Ahmad Yani Panjaitan, menilai publikasi OCCRP sebagai fitnah dan propaganda. Sebab, publikasi OCCRP dilakukan tanpa ada data yang akurat maupun bukti valid.
“Sampai detik ini, belum ada satu laporan dan dakwaan yang masuk ke penyidik KPK atau Kejagung soal dugaan korupsi yang dilakukan oleh Presiden ke-7 RI itu. Tapi, mengapa OCCRP bisa membuat rilis tersebut?” kata Ahmad Yani, Rabu (1/1/2025).
Lebih lanjut, Ahmad Yani menduga kasus dugaan korupsi Jokowi sama seperti Undang-undang Nomor 7/2021 tentang PPN yang awalnya dimotori PDIP. “Saya menduga case ini hampir mirip UU Nomor 7/2021 tentang PPN yang awalnya dimotori oleh PDIP sehingga PPN jadi naik menjadi 12 persen, tapi yang dikambinghitamkan pemerintahan Prabowo,” imbuh dia.
2. Projo Minta Buktikan
Terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Relawan Projo, Handoko, mendesak OCCRP untuk membuktikan tudingan, Jokowi termasuk pemimpin korup. Ia juga mempersilakan publik untuk melaporkan Jokowi jika memang melakukan korupsi.
“Silakan saja proses hukum jika memang ada data dan fakta. Jangan cuma sekadar omong-omong tanpa bukti,” ujar Handoko, Rabu. Ia menilai publikasi OCCRP sebagai upaya framing. Selain itu, Handoko juga menyebut publikasi OCCRP merusak marwah bangsa Indonesia.
“Jangan buat framing jahat tanpa dasar. Penilaian seperti ini hanya mencerminkan bias dan tidak menghormati pendapat rakyat Indonesia yang jelas-jelas masih percaya pada Pak Jokowi,” urai dia. Handoko menambahkan, publikasi OCCRP soal pemimpin korup, tak mencerminkan realitas yang dirasakan rakyat Indonesia.
3. JokMan Tuding Ada Pesanan
Ketua Umum Jokowi Mania (JokMan), Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel, meragukan kredibilitas publikasi OCCRP. Ia bahkan menyebut hasil OCCRP soal pemimpin korup dunia sebagai penilaian yang ngawur. “Kredibilitas dan netralitas tim penilai OCCRP sangat meragukan, terbukti dari hasil penilaian mereka yang ngawur.”
“Apa yang dikorupsi Jokowi?” tanyanya, Rabu. Noel menyebut, sikap OCCRP tersebut justru melakukan tidak langsung kepada Jokowi dan Indonesia. Ia bahkan menyebut publikasi OCCRP sebagai pesanan pihak tertentu untuk menyudutkan Jokowi.
“Ketika ada pihak yang berusaha menyerang Indonesia dengan memojokkan mantan pemimpin nasional, kita harus bersatu melawan.” “Ini soal martabat kita sebagai bangsa. Jadi masalah ini tak bisa dianggap remeh,” jelasnya.
“Kita pantas mencurigai hasil penilaian OCCRP, karena ada yang mengatakan, OCCRP menarik kesimpulan berdasarkan nomisasi/voting dari pembaca hingga jurnalis dunia.” “Penentuan finalis tergantung masukan publik, pembaca, jurnalis, dan pihak lain relasi OCCRP,” tukas Noel.
4. NasDem: OCCRP Tak Bisa Dijadikan Acuan
Politikus NasDem, Irma Surya Chaniago, menyebut OCCRP tak bisa dijadikan acuan, sebab daftar pemimpin dunia paling korup disusun bukan berdasarkan data dan fakta. Lantaran, kata Irma, OCCRP mengumpulkan nominasi tersebut lewat Google Form yang dibagikan sejak 22 November 2024.
“Yang pertama, lembaga tersebut (OCCRP) merilis (publikasi) berdasarkan polling. Bukan data dan fakta,” ujar Irma, Rabu. Ia menganggap daftar itu dibuat karena pemerintahan Jokowi banyak bekerja sama dengan China, musuh Amerika Serikat (AS).
OCCRP, yang berpusat di Amsterdam, Belanda, menerima donatur dari sejumlah negara, termasuk AS. “Dugaan saya karena Jokowi lebih memilih bekerja sama dengan lawan politik AS, yaitu China.” “Karena, investasi China jauh lebih menguntungkan daripada AS, di mana semua investasi AS selama ini merugikan Indonesia dalam bagi hasil,” papar Irma.
5. PSI: Itu Suara Barisan Sakit Hati
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Wakil Ketua Umum DPP, Andy Budiman, berpendapat daftar yang dirilis OCCRP merupakan hasil dari suara barisan sakit hati. Andy menyebut, publikasi OCCRP merupakan bentuk barisan sakit hati yang gagal move on.
“Itu suara barisan sakit hati. Mereka yang belum bisa move on dari kekalahan di Pilpres.” “Ada jejak digital bahwa OCCRP membuka ke publik untuk menominasikan Corrupt Person of The Year sampai 5 Desember lalu. Jadi ada polling.” “Nah, barisan sakit hati itu yang memobilisasi suara,” kata Andy, Rabu (1/1/2025).
Karena hal itu, lanjut Andy, publikasi OCCRP soal Jokowi termasuk pemimpin paling korup dunia tahun 2024, tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terlebih menurutnya, Jokowi tak pernah memperkaya diri sendiri maupun orang lain secara tak sah. Tak hanya itu, apabila benar Jokowi korupsi, Andy menilai tingkat kepercayaan publik terhadap ayah tiga anak itu dipastikan anjlok.
“Ini jelas berbeda dengan survei ilmiah dengan pengambilan sampelnya yang sangat cermat untuk menghindari bias,” lanjut mantan jurnalis ini. “Kalau Pak Jokowi korupsi, rakyat pasti tahu dan tingkat kepercayaan anjlok. Rakyat melihat dari dekat kerja Pak Jokowi, tidak ada korupsi,” pungkasnya.
6. Praktisi Hukum: Bisa Dikualifikasikan sebagai Fitnah
Akademisi dan Praktisi Hukum, Albert Aries, berpendapat publikasi OCCRP soal pemimpin terkorup dunia 2024, bisa termasuk fitnah. Ia juga menilai publikasi tersebut bisa dikatakan sebagai penghinaan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
“Tuduhan korupsi tanpa dasar hukum dan tidak disertai bukti permulaan yang cukup, atau ‘Trial by NGO’ oleh OCCRP jelas bukan hanya ditujukan terhadap Jokowi, melainkan juga pemerintahan Indonesia,” kata dia dalam keterangannya, Rabu.
Meski Albert mengakui ada kekurangan selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ia menyebut banyak hal baik yang diwariskan suami Iriana itu. Karena itu, ia menilai OCCRP seolah mengambil peran konstitusional DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan.
“Selama 10 tahun Pemerintahan Jokowi pasti penuh kekurangan, tapi bagaimanapun juga banyak hal baik yang diwariskan Jokowi,” ujar Albert. Aries mengingatkan LSM Asing sebagai bagian dari demokrasi untuk tetap menghormati kedaulatan Indonesia.
Ia meminta LSM Asing agar kembali pada asas hukum internasional “Omnis indemnatus pro innoxio legibus habetur”, yaitu setiap orang yang belum pernah terbukti bersalah oleh peradilan yang adil haruslah dianggap tidak bersalah secara hukum.
“Menominasikan Presiden ke-7 RI sebagai tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024 tanpa bukti permulaan yang cukup adalah kejahatan fitnah yang merusak nama baik orang lain.”
“Sehingga, publikasi OCCRP itu jelas bertentangan dengan Pasal 19 ayat (3) Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil & Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005,” pungkas Albert.
7. Pengamat Politik Singgung Kelemahan Riset OCCRP
Pengamat politik yang juga pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, mengungkapkan segala bentuk tindak kejahatan tidak bisa dibuktikan lewat jajak pendapat. Hal ini terkait publikasi OCCRP yang memasukkan Jokowi dalam daftar pemimpin terkorup dunia 2024.
Ia menegaskan, pembuktian tindak kejahatan hanya bisa dilakukan lewat sidang di pengadilan. “Pembuktian kejahatan atau pelanggaran hukum adalah melalui persidangan di pengadilan. Bukan melalui polling atau jajak pendapat,” tegas Haidar, Rabu.
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada putusan pengadilan yang memvonis Jokowi telah melakukan tindak korupsi. Tuduhan kejahatan terorganisasi dalam pilpres untuk memenangkan salah satu paslon juga tidak terbukti di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika metodologinya benar, seharusnya dewan juri OCCRP tidak meloloskan usulan nama Jokowi.” “Sebab, bagaimana bisa memasukkan nama seseorang ke dalam daftar tersebut sementara tidak ada satu pun putusan pengadilan yang memvonisnya bersalah atas kejahatan yang dituduhkan? Jelas sekali ini merupakan suatu kesalahan yang nyata,” urai dia.
Oleh karena itu, predikat yang disematkan OCCRP terhadap Jokowi hanyalah usulan yang tidak berdasar dari para pemegang hak suara dalam polling atau jajak pendapat.
Akibatnya, ujar Haidar, dapat merusak reputasi dan nama baik Jokowi di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia. “OCCRP harus meralat rilisnya dan meminta maaf kepada Jokowi.” “Jika tidak, OCCRP yang berisi para jurnalis investigasi sama saja dengan mencoreng kredibilitasnya sendiri,” tukasnya.