KNews.id – Jakarta – Pemerintah dan DPR kembali membuat geger dengan proses kilat revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Proses legislasi RUU TNI ini terbilang kilat, terkesan terburu-buru dan sembunyi-sembunyi dari publik. Terlebih, revisi UU TNI ini juga tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 prioritas yang disahkan pada 19 November 2024 lalu.
Kesan tertutup diperlihatkan saat pembahasan di sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta pada 14-15 Maret 2025 lalu hingga diwarnai dengan protes dari masyarakat sipil di lokasi rapat. Kini, RUU TNI tinggal menunggu disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna yang sudah diagendakan hari ini.
Ini bukan kali pertama DPR memproses produk UU secara kilat. Sebelumnya, ada produk UU lain yang dibahas kilat, tanpa partisipasi bermakna dari publik.
Kondisi penyusunan RUU TNI yang kilat dan dianggap minim partisipasi publik ini berkebalikan dari yang dijanjikan sejak awal oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia pada 28 Oktober 2024 lalu.
Kala itu, Doli mengklaim bahwa preseden membuat UU secara kilat akan dihindari dalam proses legislasi periode 2024-2029 dan lebih mengedepankan prosedur dan materil.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memprediksi ke depannya DPR akan terus membuat pelbagai aturan serba kilat dan minim partisipasi publik meski sudah berjanji tak mengulanginya lagi.
Baginya, RUU TNI yang digodok belakangan ini sudah membuktikan DPR ingkar janji lantaran membuat rancangan aturan sesuai keinginan dan kehendak mereka sendiri.
“Pasti itu kejadian lagi. Sesuai dengan keinginan mereka saja, bukan sesuai kebutuhan. Yang di daftar [Prolegnas] prioritas kan sesuai kebutuhan. Kalau dibahas kilat beda lagi, itu sesuai dengan keinginan,” kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/3).
Jika ditilik ke belakang, Lucius mengatakan DPR semakin terbiasa melakukan pembahasan kilat dan minim partisipasi atas sejumlah RUU. Kebiasaan, ini, lanjutnya, dimulai sejak revisi UU KPK di penghujung periode 2014-2019 lalu. Kemudian berlanjut ke RUU Cipta Kerja, RUU IKN hingga revisi UU MK.
Pembahasan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memang terkesan tertutup dan terburu-buru. RUU Cipta Kerja mulai dibahas oleh legislator pada 2 April 2020. Anggota dewan sampai menggelar rapat maraton, termasuk pada dini hari, akhir pekan, hingga saat reses. Kemudian pembahasan RUU ini rampung dan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai UU pada 5 Oktober 2020. Imbas proses yang kilat dan tertutup, sebagian dari aturan ini dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Tak hanya itu, proses pembahasan RUU tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) oleh DPR juga tergolong super kilat. Pansus IKN DPR dibentuk 7 Desember 2021. Kemudian DPR kembali menjalani masa sidang mulai 11 Januari dan disahkan pada 18 Januari 2022.
Pembahasan super cepat rancangan regulasi di DPR juga terjadi pada revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Rancangan regulasi itu ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019. Kemudian pengesahan revisi UU KPK dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 September 2019.
“Pembahasan kilat atas RUU-RUU terkait kelembagaan itu umumnya ditentang oleh publik karena proses pembahasannya diam-diam dan sembunyi-sembunyi,” kata Lucius.
Lucius melihat fokus revisi UU tentang KPK, MK, BUMN hingga RUU TNI yang dilakukan DPR belakangan ini cenderung melemahkan institusi yang bersangkutan.
Revisi UU ini, lanjutnya, merupakan ‘operasi politik’ untuk menggerogoti profesionalisme lembaga dengan memberikan ruang bagi masuknya unsur kepentingan politik dan kekuasaan.
“Dalam jangka panjang intensi revisi seperti ini akan menghambat upaya membangun TNI sebagai institusi pertahanan negara yang profesional. Mereka menjadikan legislasi sebagai alat bargaining atau alat barter kepentingan,” ujarnya.
Lucius melihat praktek pembahasan kilat RUU ala DPR jelas merusak tata kelola pembentukan legislasi sebagaimana diamanatkan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Baginya, UU PPP menjadi percuma karena tahapan pembentukan seringkali “dimanipulasi” dengan segala macam cara.
Ia menilai mekanisme perencanaan legislasi antara kumulatif tertutup dan kumulatif terbuka menjadi tak jelas.
Alhasil, ia mengatakan RUU yang seharusnya menjadi bagian dari design politik legislasi penguasa terkadang justru dibahas menggunakan jalur kumulatif terbuka. Kondisi ini membuat DPR bisa menghindari keharusan menyusun naskah akademik dan draf yang ketat.
“Penyusunan naskah akademik, penyusunan draf, harmonisasi hingga pembahasan kadang-kadang tak jelas. Ketertutupan DPR atas pelaksanaan rapat dan risalah rapat mendukung upaya “manipulasi” itu,” kata Lucius.
Terpisah, Peneliti politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan langkah DPR sering membuat peraturan serba kilat lantaran ada kepentingan baik motif internal maupun eksternal.
“Itu juga didasari berbagai kepentingan yang saling bekelindan dalam perumusan, penyusunan, hingga pengesahan,” kata Wasis.
Wasis mengatakan DPR sering kali melakukan pembahasan RUU yang secepat kilat karena berupaya keras untuk memenuhi target penyelesaian dan pengesahan UU tiap tahunnya. Alhasil, terkesan mengesampingkan berbagai tahapan legislasi yang seharusnya ditempuh.
“Misalnya dengar pendapat publik pun dikesampingkan,” kata dia.
Di sisi lain, Wasis menjelaskan Prolegnas DPR secara umum memuat daftar target produk legislasi yang kerap mengalami dinamika. Dinamika di dalamnya seiring dengan isu yang berkembang, urgensi masalah yang perlu diakomodir, dan juga solusi yang ditawarkan.
Baginya, pembahasan RUU sebetulnya tergantung dalam kemauan politik anggota DPR di tiap alat kelengkapan dewan.
“Apakah tetap berpegang pada Prolegnas atau sebaliknya,” kata Wasis.