Oleh Muammar Rafsanjanniwa – BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)
Fakultas Hukum Universitas Jakarta
KNews.id – Jakarta, Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
Pada Jumat 14 Maret, atau hampir satu bulan setelah surat presiden dirilis, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama pemerintah. Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan.
Tendensi dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara. Langkah tersebut dinilai bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang seharusnya memperkuat profesionalisme tentara sebagai alat pertahanan negara sesuai amanat konstitusi dan prinsip demokrasi. Revisi ini berpotensi mengembalikan peran TNI dalam ranah sosial-politik dan ekonomi yang pernah terjadi di era Orde Baru. Selain itu, perubahan aturan tersebut berpotensi mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas bagi anggota TNI, yang berisiko mencederai demokrasi dan supremasi hukum.
Pada Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip pengaturan militer di negara demokrasi yang menuntut adanya pemisahan antara domain sipil dan domain militer.
Di negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer seharusnya difokuskan sebagai alat pertahanan negara. Hal ini sesuai dengan hakekat keberadaan militer yang memang dididik, dilatih dan dipersiapan untuk perang, dan tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang lebih berorientasi pada pelayanan. Karena itu, penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, akan tetapi juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya.
(FHD/NRS)