Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Dr. Rismon Sianipar dan Dr. Roy Suryo tipikalis aktivis pejuang jujur dan berani dan tentu saja berawal atas dasar kepemilikan ilmunya di bidang kategori IT.
Kalau tidak jujur dan tidak berani mereka keduanya yang terbiasa berprofesi selalu mendahulukan studi analisa dan hasil analisis yang dilandasi ilmu pengetahuan (ilmiah), tentu konsisten dan konsekuen andai sudah menemukan kebenaran terkait “tuduhan dugaan” terhadap objek penelitiannya sebuah Ijazah tentang keaslian atau kepalsuan.
Dan terhadap mereka berdua terutama seorang Roy Suryo yang track record nya berkejelasan eks menteri oleh raga atau bidang pada ranah moral dan mentalitas yang menjunjung tinggi sportivitas, idealnya jati diri sosok yang dituntut penuh rasa hormat terhadap aturan, wasit, lawan, dan semangat permainan yang adil (fair play), di era kepemimpinan SBY Presiden RI ke 6.
Roy diketahui publik sudah menjadi “korban politik” yang tidak sebanding dengan ganjaran hukuman yang seakan berperilaku kriminal dalam makna kriminal yang sebenarnya. Namun begitulah keadaan sebenarnya.
Sehingga mereka berdua yang tulen sarjana dari universitas yang dikenal “sebelumnya” mentereng dimata siswa siswa SMA di tanah air, sebagai wadah cita cita mereka untuk mendapatkan diploma.
Maka bisa diamati dengan akal sehat dan nurani, ketika disaat mereka tahu dan mengalami berdasarkan data empiris yang A-1 perihal kepribadian tokoh mantan penguasa yang digambarkan pola kepemimpinannya saat menjabat, dan pasca berkuasa oleh masyarakat peselancar (netizen) di media sosial di segala jenis akun: X, FB, Tik tok, Youtube, dan WAG bahkan warta warta diberbagai media publik menjadi cermin tentang perilaku sosok pribadi yang ternyata masih banyak “filial atau panjang tangannya untuk menyentuh siapa saja, dan tetap mengakar radikal” dengan prinsip ‘siap membabi buta,” walau sudah beralih era pada kepemimpinan (now/ kontemporer), dan sosoknya super radikal mendapat dukungan oleh grass root (lover) yang hanya tahu “pokoknya”.
Dilalah, nyatanya mereka mau ikut berpihak kepada pihak yang dikenal radikal walau dalam posisi “lemah”, namun terhormat yakni TPUA kelompok besutan para tokoh ulama kaffah (konsisten terhadap kaffah di tanah air). Mereka berdua memberikan moral support, dengan pola ala on the spot, baik kehadiran fisik juga disertai data yang amat dibutuhkan dari sisi fungsi metode penyidikan polri untuk mendapatkan kebenaran sesungguhnya (materiele waarheid) sesuai asas dan teori hukum pidana.
Dan nampak mereka full memberikan tetap realitas berdiri tegar gagah vokal melakukan perlawanan, maka mereka tentunya kelak pada saatnya layak diberikan gelar pahlawan nasional, maka silahkan publik catat, mereka akan diberi gelar pahlawan justru oleh “kelompok musuh masa lalunya”, karena terbukti kedua aktivis ilmuwan ini berpihak kepada hakekat kebenaran, apapun putusan yang dijatuhkan kepada mereka. Karena hakiki pemahaman ‘kehormatan’ (substansial) dari nomenklatur dari sisi etimologi dan atau terminologi “KEHORMATAN” kokoh tak bakal goyah, walau dipaksakan dituduh bersalah dan tetap bakal terhormat, karena kebenaran dan kehormatan substantif mutlak datang dari Tuhan yang Maha Kuasa, dan kepastian serta Keadilan semata milik-Nya. Ini berarti, “bahwa kehormatan” seseorang absurd diukur oleh pendapat orang lain atau hasil dari proses hukum, sekalipun inkracht” tetapi oleh kebenaran dan integritas manusia yang ada dan faktor niat dalam diri sendiri.
Sebaliknya “hanya kelompok orang yang berkuasa yang tergelincir kesehatan mentalitasnya andai terus terang bersekutu dengan kelompok maling lalu sengaja menghukum para korban”.
Selebihnya absolut, Wallahu A’lam Bishawab, “hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya”
Penulis adalah advokat, jurnalis dan aktivis pergerakan dan pakar ilmu Peran Serta Masarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat sesuai UUD 1945 dan sistim hukum turunannya.
(FHD/NRS)



