KNews.id – Jakarta, Sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim terhadap Kejaksaan Agung kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 9 Oktober 2025. Dalam sidang hari ini, tim kuasa hukum Nadiem menyerahkan sejumlah bukti tambahan untuk memperkuat permohonan mereka ihwal sah tidaknya penetapan tersangka oleh Kejagung.
“Sidang pada hari ini untuk agenda bukti tambahan dari Pemohon. Sidang telah selesai dilaksanakan dan ditunda besok untuk kesimpulan,” kata Pejabat Humas PN Jakarta Selatan Rio Barten.
Praperadilan ini merupakan upaya hukum Nadiem untuk menggugat proses penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek periode 2019-2022. Ia menilai proses penyidikan Kejaksaan Agung cacat prosedur dan penetapan tersangka dilakukan secara tidak sah.
Dalam sidang sebelumnya, Rabu, 8 Oktober 2025, kuasa hukum Nadiem, Hotman Paris Hutapea, mempersoalkan pemeriksaan penyidik yang dinilai tidak menanyakan tuduhan mark up harga proyek kepada kliennya. Ia juga mengungkap kesalahan pencantuman identitas Nadiem dalam dokumen penetapan tersangka yang tertulis sebagai “karyawan swasta”, bukan sebagai menteri aktif.
Kejaksaan Agung membantah tudingan tersebut. Jaksa penuntut umum Roy Riyadi menyebut telah menyerahkan 86 alat bukti dalam sidang. Korps Adhyaksan itu juga melawan dalil kubu Nadiem dengan menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad yang menilai identitas tersangka bukan ranah praperadilan.
Sementara dari pihak pemohon, yakni kuasa hukum Nadiem Makarim, menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda pada Selasa 7 Oktober 2025. Sidang dijadwalkan kembali digelar besok dengan agenda penyampaian kesimpulan dari kedua pihak.
Tim kuasa hukum mengatakan, penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung cacat formil. Mantan Menteri Pendidikan itu mempersoalkan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
Nadiem juga menyinggung tidak mendapat kiriman surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Selain itu, ketidaksesuaian penyebutan keterangan pekerjaan pada surat perintah penetapan tersangka dengan yang tercantum pada kartu tanda kependudukan (KTP).



