spot_img
Minggu, Desember 28, 2025
spot_img
spot_img

Perubahan dari NKRI ke RIS Lebih di Terima Publik di Banding Kepada Sistim Komunis atau Khilafah

Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

(Abstrak, memperkuat argumentatif RIS)

- Advertisement -

KNews.id – Jakarta 28 Desember 2025 – Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk di era Orde Lama pada 27 Desember 1949 dan bubar pada 17 Agustus 1950 dan sejarah mengakui RIS implikasi pressure negara sekutu Belanda (konspirasi politik negara sekutu) atau blok barat, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan tujuan utama untuk mengakhiri konflik fisik dan diplomatik dengan Belanda.

Alasan utama “prasyarat pembentukan RIS dimaksud,” sebagai jalan kompromi politik terakhir dari perundingan antara Indonesia dan Belanda, di mana kedaulatan akan diakui olehnya (Belanda), jika atau kan Indonesia negara dalam bentuk sistim federasi (federal) yang didesain oleh blok barat untuk mempertahankan pengaruh mereka Inggris, AS dan kawan-kawan, meskipun alhasil RIS hanya berumur pendek dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

- Advertisement -

Bahwasanya saat ini, apapun latar belakang pergeseran sejarah dari status NKRI ke RIS sudah selesai karena Belanda secara de yure dan PBB dan dunia Intenasional sudah mengakui karena faktor de facto, bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945 bukan akibat keterpaksaan (sekedar meributkan Tanggal Negara RI merdeka), melalui berbagai faktor yuridis formal termasuk historis hukum politik KMB pada Desember 1949 Jo Peristiwa KMB di negara sang bangsa kolonial Belanda (abuse of power) pada Agustus-November 1949, dan atau black history of power pressure, sebuah tendensi brutal, karena statuta renville 17 Januari 1948 dibuat pasca disahkan di atas kapal perang, kapal angkut serbu milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang seolah lanjutan episode perjanjian Linggar jati 25 Maret 1947, di mana Belanda mengakui wilayah de facto Indonesia (Jawa, Sumatera, Madura).

Apa hak nya Belanda kolonialis?

Namun kini realitas negara Indonesia terpuruk baik dari sisi ekonomi dan politik bahkan adab dan budaya pancasila nampak sudah atau setidak-tidaknya menjelang titik nadir. Hal ini serius talah dirasakan oleh masyarakat bangsa ini ‘termasuk oleh masyarakat pengusaha kelas menengah kebawah’, bisa jadi dapur pengusaha menengah pun sebenarnya sudah kritis hanya menunggu habis aset barang tidak bergerak milik mereka yang “dijual dibawah NJOP “, ini hal serius dan terjadi.

Dan alternatif bentuk negara RIS pun walau bakal mengundang perdebatan *(di baca: penolakan)* adalah alternatif terbaik dari pada pilihan bentuk pemerintahan lainnya, seperti ide perubahan dari NKRI yang Presidential/ kepada sistim komunis atau faktor penolakan sama dahsyat jika Kesatuan dan sistim presidential bergeser kepada sistem khilafah atau kepada sistim monarki, yang bakal konflik siapa yang bakal menjadi raja ?

Esensial dan ilustrasi physical ada negara maju federal yang bisa dicontoh USA, Jerman, Australia, Swiss dan Kanada jangan juga mencontoh negara federasi yang rusak akibat law enforcement yang rendah kepada para koruptor di negaranya, aparat disobedient karena ikut korupsi, seperti India, Meksiko, bahkan miskin dan miris mirip Nigeria dan Sudan Selatan oleh sebab primordial konflik suku dan utamanya faktor korupsi.

Penulis berlatarbelakang ilmu hukum dan berupaya mengamati dari sisi politik- (kehidupan) sosial- hukum saja tentunya, sengaja tidak berani menyinggung ranah asas dan teori ekonomi khususnya terkait hal bruto kas negara federal dan pola manajemen sistim federal itu ranah studi dan hasil studi kelayakan para pakar ekonom yang mengacu pada total arus kas masuk (penerimaan bruto) yang diterima oleh pemerintah federal kelak pada RIS (pola manajerial)termasuk kebutuhan arus keluar, yang primer tidak omon omon dan khayal sumber arus (rupiah/dollar/dirham) masuk dari hasil kekayaan barang tambang, laut dan air nyata Negara RIS total revenue/ gross collection diantaranya pajak, segala macam pajak kepada badan usaha daerah dan BUMN, bukan beban pajak kepada warganya, noktah

- Advertisement -

Oleh karenanya kondisi sosial politik ekonomi saat ini yang terpantau publik umumnya bangsa ini cukup prihatin, rakyat merasakan negara RI mengalami keterpurukan ketimpangan kehidupan sosial di sektor ekonomi, dan transparan melihat antara daerah yang aset kekayaan alamnya berpenghasilan berlimpah lalu ditampung oleh pusat kemudian didapati kota yang megah dibanding daerah yang dikeruk hasil kekayaan daerahnya, dan sesuai berita media publis banyak di bancak akibat sistim (rules) yang dirancang/ diproduksi oleh birokrat pusat dan kroni legislatif, dan faktor simbiosis (kepentingan) karena birokratnya multi fungsi (birokrat-konglomerat komisaris BUMD/BUMN)  kemudian lepas dinas alih profesi menjadi konglomerat dan bekerja sama dengan para taipan hitam (politik konspirasi ekonomi) atau oligarki, dimana mereka tahu detail posisi aset dan aset terpendam, indikasi karakter individualistis, egois “preparing prematur tuk sekedar faktor anak biologis”.

Kesemua perilaku segelintir orang ini sudah berdampak dan merasuk kemunduran perilaku (adab) akibat rendahnya moralitas dan atau sebaliknya minimnya kualitas mentalitas (akhlak) kepemimpinan para penyelenggara negara pada umumnya, dampak tragis kerusakan ( mentalitas dan moralitas) telah menggurita lalu menjerat berbagai lapisan masyarakat lintas disiplin ilmu dan lintas strata sosial, dan parahnya pada era Jokowi ‘dan pasca,’ ‘zona akademisi’ cenderung mengalami degradasi moral yang akut.

Tidak keliru kacamata publik dan cerminannya, untuk mengatasi hal negatif yang nampak nyata terkait sistem manajemen pasca 80 tahun rakyat dan negara RI merdeka, tanpa menampik kemajuan pada sektor yang ada, namun faktor sistim ‘memproduksi’ berbagai gejala keterpurukan kepemimpinan bangsa dan lemah (mirisnya) sektor ekonomi mayoritas anak bangsa, maka perlu segenap para tokoh bangsa dan para ulama yang strategis dari sisi politis duduk bersama tentang topik “quo vadis RI?” demi menuju pencapaian bangsa yang sejahtera adil dan beradab setidak tidaknya- tidak seperti kondisi kontemporer ke opsi RIS.

Pastinya RIS bukan sekularisme-kapitalis (bukan condong ke imperialis) hanya menjadikan negara disetiap federasi serius bertanggung jawab mengolah kekayaannya masing untuk rakyatnya demi mencapai bangsa sejahtera adil dan beradab serta memberikan income wajib kepada pusat (Jakarta) untuk pertahanan negara TNI-Polri dan semua korps aparatur negara (ASN) dan kebutuhan pengelolaan ibukota negara termasuk segala kebutuhan maintenance. Dan menjadikan RIS toleran membantu negara lain (hibah/donasi) sesuai hukum administrasi negara-hukum tata negara dalam konteks hubungan luar negeri (bilateral) dan internasional harus melalui dan atas nama Pemerintahan Pusat NRIS.

Konklusi, yakin Indonesia yang tetap ber falsafah Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 dalam perspektif objektif RIS dengan sistim parlementer bakal unggul di sektor pembangunan ekonomi negara-negara tetangga karena Indonesia memiliki faktor kekayaan alam dan geografis selain jumlah aset manusianya.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini