KNews.id – Jakarta – Warkat dengan kop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 itu tersebar luas di media sosial. Isinya, Kementerian UMKM meminta kepada jajaran kedutaan besar setiap negara memberikan pendampingan bagi istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini dalam kegiatan misi budaya.
Guru besar Ilmu Pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, permintaan pendampingan kepada kedutaan besar memang lazim dilakukan pejabat negara untuk menopang kegiatan di negara kunjungan. Sebab, duta besar memiliki akses yang lebih terbuka.
“Tetapi, kalau permintaan pendampingan untuk kunjungan kepada istri pejabat, saya rasa ini penyalahgunaan wewenang,” kata Djohermansyah saat dihubungi, Sabtu, 5 Juli 2025.
Dia menjelaskan, istri atau keluarga pejabat negara memang memiliki hak untuk memperoleh Surat Perjalanan Dinas (SPD) ke luar negeri. Sebagaimana Pasal 1 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri, keluarga pejabat disebut dengan “pihak lain”.
Masalahnya, kata dia, perjalanan dinas yang dilakukan istri Menteri UMKM Maman Abdurrahman, yaitu Agustina Hastarini ke Eropa tidak dilakukan atas perintah dari Menteri. Pernyataan ini juga diperkuat dengan pengakuan Maman setelah memberikan klarifikasi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 4 Juli 2025.
“Kalau Menteri sampaikan tidak pernah beri disposisi, ini artinya kunjungan yang dilakukan bukan untuk perjalanan dinas,” ujar dia.
Menurut Djohermansyah, apa yang dilakukan Agustina menjadi suatu preseden buruk bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Sebab, alih-alih menjadi figur yang mencontohkan penerapan efisiensi anggaran, tindakan tersebut justru menunjukan tegas bagaimana nepotisme masih mengakar di keluarga pejabat negara.
Kendati mengklaim tak menggunakan anggaran negara, kata dia, tindakan Agustina yang meminta pendampingan kepada kedutaan besar dan konsulat jenderal dalam kunjungannya, adalah bentuk nyata dari penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
“Kalau disampaikan tidak gunakan anggaran negara, lalu untuk apa meminta pendampingan? Untuk memperoleh privilege? Ini jadi preseden buruk,” ucap Djohermansyah.
Adapun, dalam warkat yang menggunakan kop Kementerian UMKM, Agustina disebut akan melakukan kunjungan ke Benua Biru selama dua pekan. Ia meminta pendampingan kepada KBRI Sofia, Brussel, Paris, Bern, Roma, Den Haag, dan konsulat jenderal di Istanbul.
Kemarin, Maman Abdurrahman membantah jika istrinya menggunakan fasilitas negara untuk berkunjung ke Eropa. Dia mengatakan, Agustina Hastarini hanya menemani anaknya yang tengah mengikuti pertandingan misi budaya di luar negeri.
“Saya sampaikan satu rupiah pun tidak ada uang dari negara,” kata politikus Partai Golkar itu.
Maman memastikan, klaim tak menggunakan uang negara dalam kunjungan istrinya ke Eropa juga disampaikan dengan menunjukkan dokumen berupa pembayaran tiket perjalanan hingga konsumsi yang berasal dari rekening pribadi istrinya kepada KPK. Biaya itu, kata dia, telah dibayarkan Agustinya sejak Mei 2025.
“Tidak ada sedikit pun niat kami dari awal menggunakan fasilitas siapa pun,” kata dia.
Mengenai warkat permintaan pendampingan, dia mengklaim, tidak pernah memberikan arahan dan disposisi untuk menerbitkan permintaan pendampingan kepada kedutaan besar dan konsulat jenderal di luar negeri. “Sampai hari ini saya tidak mengerti itu dokumen dari mana. Saya tidak pernah ada perintah,” ujar Maman.
Dihubungi terpisah, Dosen Etika Filsafat Politik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Setyo Wibowo, mengatakan meski kunjungan Agustina ke luar negeri diklaim tak menggunakan sepeser pun anggaran negara, tapi tindakan permintaan pendampingan kepada kedutaan besar menjadi corang hitam bagi citra Maman Abdurrahman.
Menurut Setyo, publik tidak melihat pejabat negara dari kaca mata bagaimana ia mampu menggunakan anggaran dengan baik, namun juga dari bagaimana pejabat itu dapat berlaku sejalan dengan hati nuraninya. “Misalnya, tidak berupaya menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi,” kata Setyo.
Dia melanjutkan, meski pernyataan dan pengakuan Maman telah disampaikan secara terbuka, coreng hitam akan tetap tersemat setelah peristiwa ini. Sebab, publik akan terus mengingat lantaran kepercayaannya yang terus menurun terhadap tingkah laku pejabat negara.
“Tetapi, perlu diapresiasi kalau memang pejabat mengakui kesalahannya,” ujar Setyo.