spot_img
Selasa, April 23, 2024
spot_img

Perang antara Rusia dan Ukraina Memakan Korban Baru: Hubungan AS dan Arab!

KNews.id- Perang Rusia dan Ukraina memakan korban baru. Kali ini hubungan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Timur Tengah. Para analis melihat adanya keretakan di antara mereka. Melansir Aljazeera, Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi terlihat mengejar kepentingan negara mereka sendiri saat AS mendesak keduanya menghukum Presiden Rusia Vladimir Putin.

Hal ini terungkap saat Wall Street Journal memuat pemberitaan bahwa pemerintah UEA dan Arab Saudi menolak panggilan telepon yang dilakukan Presiden AS Joe Biden soal sanksi minyak Rusia. Hal ini menimbulkan pesimisme bahwa negara-negara tersebut akan membantu suplai minyak dunia saat Washington menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.

- Advertisement -

Pangeran Mohammed Bin Zayed Al Nahyan dilaporkan menolak telepon tanpa sebab pasti, meski rilis terbaru menyebut panggilan akan diatur kembali. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed Bin Salman juga berlaku demikian, padahal Washington meminta tambahan keran minyak yang dimiliki negara itu.

Manifestasi terbaru dari keretakan yang tampak ini terjadi minggu lalu ketika UEA menjamu Presiden Suriah Bashar al-Assad, sekutu Putin. Ini dilakukan meskipun ada peringatan berulang-ulang dari AS terhadap normalisasi hubungan dengan pemerintah di Damaskus.

- Advertisement -

Itu adalah kunjungan pertama al-Assad, ke negara Arab sejak perang Suriah pecah pada 2011. Itu pun terjadi beberapa minggu setelah presiden Suriah menyatakan dukungan penuh untuk serangan Rusia ke Ukraina.

“Al-Assad datang ke UEA, tak lama setelah negara Teluk Arab memilih untuk abstain dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina bulan lalu, memberitahu kita bahwa UEA sangat serius untuk menegaskan otonomi mereka dari AS, ” kata CEO Gulf State Analytics, konsultan risiko geopolitik yang berbasis di Washington, Giorgio Cafiero, dikutip Selasa (22/3).

- Advertisement -

Sementara itu, Arab Saudi disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China, teman dekat Rusia lainnya, terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.

Pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.

Sementara itu, analis lainnya, Sheline dari Quincy Institute mengatakan pada akhirnya perang Rusia di Ukraina telah menyoroti fakta bahwa sekutu Teluk mengejar kepentingan mereka sendiri di dunia. Sehingga AS tidak lagi menjadi satu-satunya negara adidaya.

“Masuk akal rasional bagi negara lain untuk tidak terlalu bergantung pada AS lagi,” katanya.

“Tetapi kemudian tidak rasional bagi AS untuk mendukung negara-negara ini tanpa syarat, terutama ketika pada pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang penting, mereka memilih menentang apa yang coba dilakukan AS.”

Gedung Putih sendiri menolak laporan keretakan ini. Pemerintah Biden menyebutnya “tidak akurat”. (AHM/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini