KNews.id – Jakarta – Ekonom mengkritik bantuan untuk meringankan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 2025 hanya berlaku dua bulan. Bantuan yang dimaksud seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kilogram (kg).
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan paket kebijakan ekonomi pemerintah cenderung berorientasi jangka pendek dan tidak ada kebaruan yang berarti. Padahal efek negatif naiknya tarif PPN 12% berdampak jangka panjang.
“Bentuk bantuan bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kg yang hanya berlaku 2 bulan, sementara efek negatif naiknya tarif PPN 12% berdampak jangka panjang,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (19/12/2024).
Menanggapi itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan mengatakan pemerintah telah memperhitungkan siklus tingginya tekanan inflasi per bulannya.
Ferry mengatakan tekanan inflasi tinggi biasanya akan terjadi pada akhir tahun, yang berimplikasi pada tekanan inflasi pada kuartal I-2025 karena adanya momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Oleh karena itu, awal tahun menjadi level kritis bagi pemerintah untuk menekan angka inflasi supaya tidak terlalu tinggi melalui diskon tarif listrik dua bulan pertama di 2025.
Dengan diskon tarif listrik 50% ditambah bantuan pangan beras untuk 16 juta keluarga masing-masing 10 kg/bulan selama Januari-Februari 2025, pemerintah disebut akan bisa mengendalikan tekanan inflasi sambil mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025.
“Kritikal di Q1 bagi pemerintah, makanya 2 bulan saat inflasi tinggi ada bantuan pangan yang untuk kelas menengah, kemudian diskon listrik, ini kita harapkan inflasi terjaga, kemudian daya beli yang dicreate dari bantuan pangan maupun diskon listrik, jadi leverage dari pertumbuhan ekonomi di kuartal I,” kata Ferry.
“Jadi kalau dari siklus sekarang Q1 kritikal yang jadi engine of growth juga, jadi kayak mesin di awal kita siapin sehingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi terjaga,” tambahnya.
Kebijakan itu muncul karena pemerintah menyadari tarif listrik merupakan salah satu komponen penyumbang inflasi terbesar setelah bahan pangan di Indonesia.
“Untuk inflasi kita tahu komponen-komponen besar bobot inflasi kan pangan, kemudian tarif listrik. Secara siklus meski inflasi 2024 kita relatif rendah dan kalau 2025 masih di rentang sasaran, tapi siklus akhir tahun kita punya mapping di bulan-bulan kapan inflasi tinggi dibanding inflasi bulan-bulan lain,” ucapnya.