spot_img
Minggu, November 9, 2025
spot_img
spot_img

Panglima Politik Adalah Hukum Traktat Apapun Yang Void Haram di Laksanakan

Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

KNews.id – Jakarta, BW (burgelijk wetbook) atau KUHPER (Kitab Undang Undang Hukum Perdata) hingga kini masih berlaku, BW mengatur syarat pembatalan perjanjian melalui proses litigasi di badan peradilan, biasanya gugatan terjadi akibat adanya salah satu pihak yang melanggar pasal yang mengatur tentang isi perjanjian, diantaranya:

- Advertisement -

Terdapat pada Pasal 1335 BW oleh sebab (void/ causa) yang tidak halal, seperti benda/objek yang terlarang menurut undang-undang, susila, atau ketertiban umum atau perilaku curang.

Juga ada Pasal 1331 dan 1330 BW yang mengatur pembatalan perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap, seperti orang yang belum dewasa, pikun atau subjek hukum yang di bawah pengampuan

- Advertisement -

Yang relevan lainnya adalah Pasal 1449 KUH Perdata, bahwa perjanjian akibat (causa) daya paksa, atau kekhilafan, atau penipuan, maka oleh sebab hukum dapat dimintakan pembatalannya.

Kemudian pembatalan perjanjian juga bisa dilakukan dengan contoh adanya gugatan rekonvensi (gugat ginugat), akibat diawali adanya peristiwa gugatan dari pihak penggugat yang menggunakan Pasal 1243 KUHPerdata terkait adanya unsur-unsur wanprestasi terhadap isi perjanjian, yaitu pihak penggugat dalam positanya mendalilkan, bahwa pihak tergugat cidera janji (wan prestasi) dan tergugat telah beberapa kali diberikan teguran (somasi), namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian, maka disaat pihak tergugat memberikan jawaban ingin melepaskan diri dari gugatan wanprestasi (ingkar janji), pihak tergugat memiliki hak hukum untuk membela diri bahkan melayangkan gugat ginugat atau rekonvensi, dengan menyampaikan dalil hukum kenapa Ia lalai melaksanakan isi perjanjian, bahkan oleh sebab hukum penggugat rekonvensi (tergugat konvensi) dibolehkan oleh hukum (acara perdata/ HIR/RBg) menyampaikan permohonan kepada majelis hakim, agar tergugat konvensi tidak layak dinyatakan wanprestasi serta menolak beban hukum yang dimintakan oleh penggugat konvensi/tergugat rekonvensi, bahkan hukum acara perdata membolehkan tergugat konvensi minta putusan agar majelis hakim menyatakan perjanjian batal oleh sebab hukum.

Bagaimana status hukum terkait praktik “transaksi teori konpirasi” Pilpres ?

Ilustrasi, andai ada sebuah kontrak politik pada saat pra pemilu pilpres, antara dua pihak (pendukung dan kontestan) yang isinya “jika pemenang pilpres yang didukung kelompok (pihak), nyata berhasil menjadi Presiden RI maka “sang presiden terpilih”, harus mengikuti kehendak pihak pendukung, walau kehendak tersebut menyalahi hukum (obstruksi hukum, disobedient dan atau KKN) atau dengan kata lain presiden terpilih harus melakukan perbuatan tindak pidana yang kelak menimbulkan kerugian keuangan negara, juga telah menimbulkan kerugian perkonomian negara akibat perilaku mafioso politik pada kegiatan agenda dan pelaksanaan pemilu pilpres, dan praktik mafioso dimaksud tentunya realitas sudah menimbulkan kerugian harta benda (materil) dan moril masyarakat akibat memberikan dukungan kepada pilihannya peserta kontestasi pada pemilu Pilpres.

Maka formulasi (unsur unsur) tindak pidana transaksional politik dan segala klausula hukumnya tersebut mutatis mutandis sebagai kategori ‘void’ karena materi perjanjian berdasarkan objek yang tidak halal, maka jika perjanjian diwujudkan kedua pihak yang membuat perjanjian justru sama sama melakukan (deelneming) tindak pidana dan wujud korban berupa materil dan moril daripada pribadi pribadi masyarakat, including dampak kerugian perekonomian negara berupa anggaran penyelenggaraan pemilu dan pengawasan penyelenggaraan pemilu (agenda KPU dan BAWASLU) yang juga biasa melibatkan lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi).

Hakekat hukumnya; bahwasanya perilaku manipulatif ala mafioso tersebut, justru halal diabaikan atau wajib tidak dipenuhi, terlebih hasil hitungannya telah selesai dilakukan dan kontestan pemenangnya (Presiden RI) terpilih, sudah dalam melaksanakan fungsi jabatannya selaku penyelenggara negara tertinggi.

- Advertisement -

Pastinya implementasi pada semua sistim dan agenda politik di Negara RI harus merujuk konstitusi (rule) atau wajib patuhi hukum sebagai panglima.

Atau terminologi hukumnya; bahwa penuntutan terhadap metode “kontrak prestasi” dengan tujuan memberlakukan praktik KKN (delik) maka haram dilakukan, terlepas kontrak politik sebelumnya dibuat oleh causa khilaf (culfa) terlebih faktor dengan sengaja atau dolus (mens rea), maka si penuntut terhadap materi perjanjian (kontrak prestasi) selain murni cacat demi hukum (null and void), juga (Penuntut prestasi) dapat dinyatakan telah berencana melakukan tindak pidana.

Jadi apa yang perlu dikhawatirkan oleh sosok Presiden RI selaku penyelenggara negara tertinggi yang tengah melaksanakan fungsi jabatannya, terlebih bahwa objek perjanjian (prestasi) merupakan perbuatan tidak halal, dan mayoritas pendukung berpihak kepadanya (Presiden RI), dan sementara dilain pihak, andai (example); “penuntut prestasi ternyata merupakan figur yang dikenal dan diketahui publik secara umum (notoire feiten) sebagai notorius, karena hobi membohongi rakyat puluhan kali lebih?

Namun apa daya jika realitas Sang Presiden RI tetap setia pada kontrak politik aroma bunga bangkai, yang identik dengan teori konspirasi, tentu berkepastian Indonesia (bertambah) gelap didepan mata.

Penulis adalah:
Advokat, Anggota Dewan Penasihat DPP KAI. Jurnalis, Kadivhum & HAM DPP. KWRI.
Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dalam Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini