spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Pak Jokowi Harus Hati-hati, Utang Indonesia Kini Makin Berbahaya!

KNews.id- Pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus melebarkan defisit APBN melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Maka tak heran, utang pemerintah membengkak.

Hingga akhir Juli utang pemerintah pusat tercatat Rp 6.570,17 triliun. Utang ini bertambah Rp 1.135,31 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2020 yang sebesar Rp 5.434,86 triliun.

- Advertisement -

Dalam RAPBN 2022 dituliskan pemerintah masih akan melakukan penarikan utang baik melalui Surat Berharga Negara (SBN) Rp 991,3 triliun maupun pinjaman Rp 1,75 triliun (neto).

Sementara penerimaan negara, menurut Ekonom Senior Faisal Basri menilai masih jauh dari harapan. Para pelaku usaha sebagai pembayar pajak yang cukup besar masih tertekan akibat pandemi yang tak kunjung usai.

- Advertisement -

“Utang semakin menggelembung karena pengeluaran pemerintah lebih cepat dari penerimaan perpajakan,” ujar Ekonom Senior Faisal Basri dalam tulisannya yang dikutip Rabu (1/9).

Dalam naskah Nota Keuangan dan RAPBN 2022 yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tertera pada akhir tahun 2022 utang pemerintah pusat akan mencapai Rp 8.110 triliun. Ini berarti kenaikan luar biasa dibandingkan pada akhir pemerintahan SBY-JK sebesar Rp 2.610 triliun atau kenaikan lebih dari tiga kali lipat.

- Advertisement -

Dengan kondisi ini maka rasio utang pada tahun depan diprediksi bisa mencapai 45,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan bila ditambah dengan utang milik BUMN non keuangan saja, dinilai akan bisa mencapai batas tertinggi dalam UU Keuangan Negara yakni mendekati 60%.

Sebuah analisa dari Nomura Securities menilai bahwa, defisit fiskal yang besar perlahan akan mengecil dengan proses yang lama di beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.

Selain itu, beberapa negara berkembang juga dijalankan oleh para pemimpin dengan mempertahankan kebijakan yang populis selama pandemi Covid-19. Sehingga dalam jangka pendek, dapat memilih untuk melanjutkan kebijakan fiskal yang ekspansif.

“Pemulihan ekonomi seharusnya mengangkat pendapatan fiskal, tapi pemerintah mungkin lambat untuk mengurangi pengeluaran, bahkan dapat meningkatkannya untuk membantu mengatasi pemulihan berbentuk K yang tidak merata,” jelas Nomura Securities seperti dikutip Rabu (1/9/2021).

“Ada peningkatan risiko dominasi fiskal yang muncul, di mana bank sentral dipaksa oleh pemerintah untuk terus membeli obligasi negara untuk membantu memastikan bahwa defisit fiskal yang besar dapat diatasi.”

Nomura Securities juga menyatakan tidak setuju jika saat ini negara berkembang dalam posisi yang lebih tangguh dibandingkan saat terjadinya taper tantrum pada 2013 silam.

Saat ini justru negara berkembang telah mengembangkan kerentanan baru, dengan kombinasi pertumbuhan yang sangat lemah, inflasi yang meningkat dan kebijakan fiskal yang masif namun sektor riil masih tumbuh negatif.

“Prospek normalisasi kebijakan moneter The Fed di tengah ekonomi China yang melambat adalah kombinasi yang mengerikan bagi negara berkembang,” ujar Nomura Securities.

Hubungan antara utang bank dan negara di negara berkembang meningkatkan risiko apa yang disebut siklus ‘malapetaka’ bank-negara, siklus ini merupakan jantung dari krisis utang yang pernah terjadi di Eropa pada 2009-2010.

“Selain beberapa ekonomi perbatasan berpenghasilan rendah, Brasil dan India tampaknya paling berisiko mengalami lingkaran malapetaka.”

Kemudian, negara-negara yang tampaknya paling berisiko mengalami defisit transaksi berjalan yang terlalu besar, di samping defisit fiskal yang masih besar, adalah Kolombia, Peru, Rumania, Turki, dan Afrika Selatan.

Diukur oleh liabilitas portofolio dibandingkan dengan arus masuk portofolio kumulatif, Nomura Securities berpandangan bahwa banyak negara berkembang yang mungkin saat ini lebih rentan, dibandingkan dengan kondisi taper tantrum 2013. Hal tersebut dihitung setelah efek revaluasi aset diperhitungkan.

“Selama taper tantrum 2013 terjadi apa yang disebut sebagai ‘fragile five’: Brazil, India, Indonesia, Turki, dan Afrika Selatan. Menyatukan semua analisis kami, kami sekarang memperingatkan ‘trouble ten’: Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, Indonesia dan Filipina.”

“Kami percaya bahwa fundamental ekonomi di banyak negara berkembang telah memburuk selama setahun terakhir dan kemungkinan akan semakin memburuk di tahun mendatang, meningkatkan risiko krisis keuangan seiring dengan kenaikan suku bunga global,” jelas Nomura Securities. (Ade/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini