spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Negara-negara yang ‘Ribut’ dengan Tiongkok di Laut China Selatan

KNews.id- Konflik antara China dengan berbagai negara di Laut China Selatan soal kepemilikan wilayah telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Sebab, bukan hanya dikhawatirkan akan memicu lahirnya perang senjata, tapi juga mengancam keamanan di kawasan yang sangat vital bagi lalulintas perdagangan dan transportasi dunia itu.

Menurut laporan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) tahun 2017, ada sebanyak US$ 3,37 triliun total perdagangan yang melewati Laut China Selatan pada tahun 2016. Dalam hal perdagangan gas alam cair global, sekitar 40% di antaranya transit melalui Laut China Selatan pada tahun 2017.

Tidak hanya sebagai jalur perdagangan yang strategis, wilayah Laut China Selatan juga memiliki sumber daya yang melimpah. Menurut Administrasi Informasi Energi AS, diperkirakan ada 11 miliar barel cadangan minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik gas alam di wilayah ini.

Namun, China terus menegaskan kepemilikannya atas wilayah itu. China juga telah dengan tegas mengklaim bahwa di bawah hukum internasional, militer asing tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan-intelijen, seperti penerbangan pengintaian, di zona ekonomi eksklusif (EEZ).

Ketegangan dan perebutan wilayah di Laut China Selatan sendiri bukan hal baru. Hal ini telah terjadi sejak sekitar awal tahun 1970-an. Di mana negara-negara yang turut memperebutkan wilayah ini di antaranya yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Salah satu wilayah yang paling banyak diperebutkan di Laut China Selatan adalah Kepulauan Spratly, yang memiliki sumber daya alam yang kaya dan daerah penangkapan ikan. Menurut Departemen Pertahanan AS, China telah membangun 3.200 hektare tanah baru di Kepulauan Spratly sejak 2013, sebagaimana dilaporkan Council on Foreign Relations (CFR). Aksi China ini bukan hanya telah menyulut amarah negara-negara kawasan yang memperebutkan wilayah tersebut, tapi juga Amerika Serikat.

Menurut Amerika Serikat, negara-negara penuntut, di bawah Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), harus memiliki kebebasan navigasi melalui ZEE di laut dan tidak diharuskan untuk memberi tahu penuntut kegiatan militer.

Pada Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag mengeluarkan putusannya atas klaim yang diajukan terhadap China oleh Filipina di bawah UNCLOS. Putusan itu hampir sepenuhnya berpihak pada Filipina. Namun, China menentang hasil tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir ketegangan di wilayah itu mulai mereda meski citra satelit menunjukkan peningkatan upaya China untuk merebut kembali daratan di Laut China Selatan dengan secara fisik meningkatkan ukuran pulau atau membuat pulau baru sekaligus.

Selain menumpuk pasir ke terumbu yang ada, Cina telah membangun pelabuhan, instalasi militer, dan landasan udara, khususnya di Kepulauan Paracel dan Spratly. Setiap landasan udara itu masing-masing memiliki dua puluh dan tujuh pos terdepan. China juga telah melakukan militerisasi Pulau Woody dengan mengerahkan jet tempur, rudal jelajah, dan sistem radar.

Pada bulan Maret dan April 2018, China dilaporkan meningkatkan aktivitas militernya di Laut Cina Selatan dengan melakukan serangkaian manuver dan latihan angkatan laut. Akibat upaya itu, Amerika Serikat juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018.

Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut. (IKH&Reuters)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini