spot_img

MK Hapus Presidential Threshold Apa Dampaknya?

KNews.id – Jakarta, segar demokrasi bertiup dari Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta Pusat, tempat para hakim konstitusi alias hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berkantor dan bersidang. Kamis (2/1/2025), permohonon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih dikenal dengan istilah presidential threshold , dikabulkan.

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan. Pertama, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ketiga, Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ucap Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

- Advertisement -

Pemohon perkara ini bukan politikus. Ada empat orang Pemohon, yang semuanya berstatus mahasiswa. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara angkatan 2021. Seorang mahasiswa lainnya, Faisal Nasirul Haq, berasal dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2021.

Dikutip dari laman MK, dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

- Advertisement -

Pasal yang diuji adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini telah 33 kali diuji, namun selalu ditolak atau tidak dapat diterima. Adapun bunyi pasal dimaksud adalah “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden yang menjadi momok bagi partai politik peserta pemilu yang ingin mengajukan capres-cawapres sendiri ini sejatinya sudah ada sejak sebelum Pemilu 2004. Namun, ambang batas minimalnya berbeda angka.

Dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa “Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR”.

Namun, ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 tidak diberlakukan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 karena yang digunakan adalah Ketentuan Peralihan Pasal 101 UU 23/2003 yang menyatakan, “Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon”.

Dengan berlakunya Ketentuan Peralihan tersebut, ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan persentase yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003, sehingga terdapat 8 (delapan) partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 tanpa harus bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang lain.

Namun demikian, secara faktual dari 8 (delapan) partai politik peserta pemilu tersebut hanya 5 (lima) partai politik peserta pemilu yang mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang lain, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

- Advertisement -

Sementara itu, 3 (tiga) partai politik peserta pemilu yang lain, yakni Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) memilih bergabung mengusulkan 1 (satu) pasangan calon. “Artinya, dalam Pemilu 2004 terdapat 6 (enam) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendaftar kepada Komisi Pemilihan Umum sebagai kontestan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Namun demikian, karena pasangan calon yang diusulkan oleh PKB tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pemilihan presiden dan wakil presiden,” demikian dikutip dari laman MK.

Akhirnya, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 diikuti oleh 5 (lima) pasangan calon, yakni Wiranto-Salahuddin Wahid (diusulkan Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (diusulkan PDIP), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo (diusulkan PAN), Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (diusulkan gabungan Partai Demokrat, PBB, dan PKPI), serta Hamzah Haz-Agum Gumelar (diusulkan PPP).

Sementara, dalam Pasal 9 UU 42/2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Dikutip dari laman MK, dengan bertambah atau naiknya ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 hanya diikuti oleh 3
(tiga) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto (diusulkan Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (diusulkan PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura), dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (diusulkan Partai Demokrat, PPP, PAN, PKS, dan PKB).

Sementara, dalam Pemilu 2014 terdapat 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pertama, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusulkan Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Calon lainnya, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla yang diusulkan PDIP, Partai Nasdem, dan PKB.

33 Kali Diuji

Setelah diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2017, terdapat dua kali pemilu, yakni Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 terjadi beberapa perubahan, yakni pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan bersamaan atau serentak dengan pemilu anggota legislatif sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.

Sebagaimana halnya Pemilu 2014, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 lagi-lagi hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon, yakni Joko Widodo yang mencalonkan kembali pada periode kedua berpasangan dengan Ma’ruf Amin (diusulkan PDIP, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, dan PKP) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (diusulkan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS).

Terakhir, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, masih menggunakan UU 7/2017. Dalam penyelenggaraan tersebut, terdapat 3 (tiga) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (diusulkan Partai Nasdem, PKB, dan PKS), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (diusulkan Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, Partai Solidaritas Indonesia, PBB, dan Partai Garda Republik Indonesia), serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD (diusulkan PDIP, PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo).

“Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK Nomor 62 Tahun 2024 karena putusan ini menguntungkan semua partai politik, tidak ada partai politik yang dirugikan ” (Titi Anggraini)

Sebelum MK menghapus presidential threshold, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah diuji sebanyak 33 kali dengan putusan ditolak atau tidak dapat diterima. Terakhir adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 September 2023, dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh, Mahardhikka Prakasha Shatya, dan Wiratno Hadi.

Menyikapi putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini, Pakar Kepemiluan Titi Anggraini yang juga salah satu Pemohon penggugat Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatakan, putusan ini momentum tepat bagi DPR dalam melakukan revisi UU Pemilu. “Putusan hari ini harus menjadi pedoman bagi pembentuk Undang-Undang, Presiden ataupun DPR. Kami berharap DPR tidak mendistorsi putusan Nomor 62 Tahun 2024 ini,” kata Titi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Dia juga berharap Presiden Prabowo Subianto bisa mejadi orang yang paling depan melaksanakan putusan ini serta dapat memastikan tidak ada cawe-cawe dari parlemen untuk mengganggu substansi dari putusan MK.

“Jadi, putusan ini ada di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK Nomor 62 Tahun 2024 karena putusan ini menguntungkan semua partai politik, tidak ada partai politik yang dirugikan,” ujarnya.

Pengamat politik Ray Rangkuti juga meminta DPR mematuhi putusan MK tersebut. “Kita berharap tidak ada upaya kembali DPR untuk mengubah putusan MK ini dengan sebaliknya, seperti permah mereka lakukan di bulan Agustus 2024 lalu yang menimbulkan perlawanan masyarakat, khususnya mahasiswa dan gen Z. Jangan lagi ada rekayasa sana sini yang akan dapat memancing kegusaran publik. Partai politik harus menerima bahwa pandangan mereka tentang PT itu adalah bertentangan dengan konstitusi,” kata Ray, Minggu (5/1/2025).

(FHD/Snd)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini