spot_img
Minggu, Oktober 26, 2025
spot_img
spot_img

Misinvoicing Mengintai Perdagangan Ponsel

KNews.id – Jakarta 26 Oktober 2025 – Semarak perdagangan komoditas teknologi informasi dan komputer (TIK) di Tanah Air, di dalamnya termasuk telepon seluler (ponsel), memberikan tekanan ganda terhadap perekonomian nasional. Selain neraca perdagangannya untuk tahun 2024 mengalami defisit terbesar dalam 10 tahun terakhir, ada aliran dana gelap turut membonceng dalam transaksinya.

“Defisit neraca perdagangan TIK jelas menekan pertumbuhan ekonomi akibat defisit. Namun yang lebih buruk, ada dana gelap yang membonceng di dalamnya,” ungkap Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center Christiantoko, mengungkap hasil riset lembaganya di Jakarta, 26 Oktober 2025.

- Advertisement -

Dia menjelaskan, menurut hasil penelitian NEXT Indonesia Center, dalam 10 tahun terakhir (2015-2024) rata-rata defisit neraca perdagangan TIK Indonesia mencapai US$6,9 miliar per tahun. Tahun 2024 mencatat defisit terbesar dalam satu dekade itu, yakni US$8,7 miliar.

Defisit perdagangan tersebut, lanjutnya, terjadi karena lebih banyak barang yang diimpor ketimbang ekspor dari hasil produksi di dalam negeri. Maklum, Indonesia merupakan pasar TIK, terutama ponsel, yang sangat menggiurkan.

- Advertisement -

Pada tahun 2024 misalnya, survei sosial ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 178 juta atau 63,66% dari total penduduk Indonesia yang menggunakan telepon seluler. Dibandingkan 2015 yang sebanyak 132 juta pengguna atau 51,67% dari total penduduk, telah terjadi kenaikan sebesar 34,48%.

“Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi produsen produk teknologi informasi global. Akibatnya, defisit neraca perdagangan yang terus melebar sulit dihindari,” ujar Christiantoko.

Dana Siluman di Perdagangan Ponsel

Lebih lanjut Christiantoko mengungkapkan, sepanjang periode penelitian yakni 2015-2024, ada dugaan telah terjadi under-invoicing ekspor produk teknologi informasi dan komputer (TIK) ke Singapura senilai US$2,1 miliar atau sekitar US$209 juta per tahun. Under-invoicing merupakan perbedaan pencatatan dokumen kepabeanan antara negara asal dengan negara mitra dagang.

Dalam kasus ekspor TIK ke Singapura itu, hasil riset NEXT Indonesia Center menemukan bahwa Indonesia mencatat senilai US$663 juta sepanjang satu dekade tersebut. Sementara otoritas Singapura membukukan impor produk yang sama dari Indonesia senilai US$2,8 miliar.

“Terjadinya _under-invoicing_ ini membuat ada potensi penerimaan negara yang hilang, seperti perpajakan. Perusahaan di dalam negeri mencatat penerimaan dari ekspor lebih rendah dari semestinya, sehingga saat membayar pajak final jadi lebih rendah. Belum lagi dari pungutan ekspor lainnya,” tuturnya.

- Advertisement -

Menurut Christiantoko, temuan _misinvoicing_ atau dugaan manipulasi faktur perdagangan internasional TIK yang terbesar terjadi pada impor. Dalam transaksi dengan Tiongkok misalnya, ada potensi _over-invoicing_ senilai US$12,2 miliar dalam satu dekade penelitian. Transaksi tersebut untuk produk telepon seluler (ponsel) dan komponen-komponen penyusunnya.

“Berarti ada potensi dana gelap sebesar itu yang masuk ke perbankan Indonesia dengan membonceng impor ponsel serta komponen penyusunnya dari Tiongkok,” papar Christiantoko.

Khusus untuk ponsel biasa (HS 851712), lanjutnya, nilai _under-invoicing_ impor dari Tiongkok senilai US$4,2 miliar dalam 10 tahun terakhir itu.

Sementara untuk kasus dengan Singapura, yang menarik adalah terjadi _under-invoicing_ untuk impor ponsel pintar (HS 851713), yakni telepon pintar untuk jaringan seluler atau nirkabel lainnya. Sepanjang periode 2015-2024, terjadi selisih pencatatan senilai US$5,08 miliar. Otoritas di Indonesia hanya mencatat nilai impor sebesar US$22 juta, sedangkan Singapura membukukan ekspor komoditas yang sama ke Indonesia senilai US$5,1 miliar.

“Kedekatan geografis Indonesia dan Singapura membuka peluang masuknya barang-barang gelap atau istilah yang marak di Indonesia dikenal sebagai black market,” kata Christiantoko.

Kasus _under-invoicing_ impor untuk produk TIK, juga datang dari transaksi dengan Hong Kong. Sepanjang periode penelitian, nilai selisih pencatatan perdagangan itu mencapai US$4,6 miliar.

“Di dalamnya termasuk impor telepon untuk jaringan seluler atau jaringan nirkabel lainnya, tapi bukan ponsel pintar,” katanya.

Christiantoko menegaskan, pemerintah tidak bisa berdiam diri dengan banyaknya kasus misinvoicing dalam transaksi ekspor dan impor ini. Kalau dapat dibenahi, berpotensi meningkatkan penerimaan negara triliunan rupiah, tanpa harus menaikkan pajak atau bahkan mendorong pajak baru.

“Mungkin akan baik jika pemerintah membentuk satuan khusus, misalnya satuan tugas peningkatan penerimaan negara, yang di dalamnya termasuk menelisik kasus misinvoicing serta potensi penerimaan lainnya,” usul Christiantoko.

Narahubung:
Research Coordinator Next Indonesia Center,
Phone: +62 823-1016-5120

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini