KNews.id – Jakarta – Saat ini, akses kepada layanan kesehatan sudah menjadi kebutuhan pokok. Sekali seorang terkena sakit kronis yang tak diobati, misalnya, produktivitas orang itu akan berkurang, yang otomatis akan mengurangi penghasilan dan kondisi ekonomi keluarganya.
Untungnya di Indonesia, sejak 2014 kita sudah memiliki layanan asuransi kesehatan semesta (universal health coverage) bernama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Disebut semesta karena semua warga Indonesia tanpa terkecuali wajib mengikuti JKN.
Untuk mengakses layanan JKN, pemerintah membebankan premi yang terhitung murah mengingat luasnya penyakit yang ditanggung (di-cover) dan banyaknya penyedia layanan kesehatan (provider) yang terhubung dengan JKN.
Bagi kaum pekerja, premi wajib dibayarkan oleh perusahaan. Sementara untuk mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka digolongkan sebagai peserta mandiri. Adapun premi bagi peserta mandiri adalah Rp 150.000 per jiwa (kelas I), Rp 100.000 (kelas dua), dan Rp 35.000 (kelas III).
Masalahnya, peserta mandiri ternyata banyak yang menunggak iuran. Demikian cukup tingginya tunggakan ini sampai-sampai Presiden Prabowo Subianto berencana untuk mengadakan program pemutihan tunggakan.
Menurut Koordinator BPJS Watch Timbul Siregar dalam wawancaranya dengan CNN (28/10/2025), ada dua alasan di balik tingginya tunggakan itu. Pertama, inability to pay alias ketidakmampuan untuk membayar. Alasannya, besaran premi dirasakan terlalu besar sementara penghasilan peserta kecil.
Kedua, unwillingness to pay. Ini biasanya terjadi di kalangan kelas menengah yang masuk ke kelas I dan II. Mereka beralasan tidak pernah memakai layanan BPJS kesehatan karena lebih senang membayar mandiri supaya tidak perlu mengantre dan mengikuti sistem rujukan berjenjang.
Tunggakan menutup akses
Akhirnya, kedua alasan itu bermuara pada tertutupnya akses mereka pada layanan JKN karena tunggakan. Masalah muncul ketika penunggak kemudian menderita sakit kronis yang mengharuskan mereka berobat rutin. Padahal, kegiatan berobat itu tentu memerlukan biaya yang tidak kecil. Ujung-ujungnya, mereka kerepotan karena tidak lagi punya biaya berobat sementara mau menggunakan JKN tidak bisa akibat menunggak.
Jalan keluar bagi kelompok pertama yang tidak memiliki kemampuan membayar relatif lebih mudah. Mereka bisa diikutkan ke dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh pemerintah daerah asalkan memenuhi syarat.
Yang berabe adalah kelompok kedua yang menunggak karena tidak mau membayar. Mereka tergolong kelas menengah yang secara indikator ekonomi tergolong tidak layak menjadi PBI. Alhasil, jalan keluar bagi mereka untuk memanfaatkan layanan JKN adalah dengan melunasi tunggakan.
Masalahnya, tunggakan mereka biasanya lumayan besar karena terjadi selama berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun. Taruhlah ada satu keluarga dengan empat orang anggota di dalam satu Kartu Keluarga (KK) dan mereka mengiur di golongan kelas II serta menunggak selama satu tahun. Tunggakannya akan mencapai Rp 100 ribu x 4 orang x 12 bulan atau sama dengan Rp 4,8 juta. Jumlah yang cukup memberatkan bukan?
Strategi melunasi
Maka itu, satu-satunya solusi yang tersisa adalah melunasi tunggakan itu, seberapa pun besarnya. Untungnya, BPJS Kesehatan kini memiliki program REHAB atau Rencana Pembayaran Bertahap. Dengan program ini, masyarakat dimungkinkan untuk mencicil tunggakan selama maksimal 12 bulan. Artinya, tunggakan Rp4,8 juta seperti ilustrasi di atas bisa dicicil sebesar Rp 400 ribu per bulan saja.
Sayangnya, program REHAB tidak langsung membuat kartu JKN penunggak aktif. Selain itu, penunggak juga wajib membayar iuran bulan berjalan di luar cicilan. Jadi, kewajiban yang harus dibayar penunggak adalah Rp 800 ribu per bulan yang terdiri dari Rp 400 ribu cicilan dan Rp 400 ribu iuran berjalan..
Lalu, bagaimana supaya penunggak bisa menyelesaikan tunggakan secara lebih ringan? Ada dua cara untuk mensiasatinya.
Pertama, penunggak bisa melakukan turun kelas kepesertaan. Sebagai contoh, peserta kelas II bisa turun ke kelas III demi mendapatkan premi iuran yang jauh lebih murah, yaitu Rp 35 ribu berbanding Rpn100 ribu. Ini tentu akan meringankan kewajiban penunggak secara signifikan.
Untuk turun kelas, peserta bisa mendatangi kantor BPJS Kesehatan terdekat. Atau kalau mau lebih mudah, peserta bisa melakukannya lewat aplikasi JKN Mobile. Â Hanya dibutuhkan tiga klik sesudah membuka aplikasi, yaitu klik “perubahan data peserta”, klik “kelas” untuk mengubahnya, dan klik setuju.
Kelas yang baru berikut iuran yang lebih murah pun akan berlaku di tanggal 1 bulan berikutnya. Jadi, pastikan kita melakukan turun kelas sebelum tanggal 1 untuk mendapatkan iuran yang lebih rendah.
Kedua, kita bisa menyisir komposisi anggota keluarga dan melihat apakah ada anggota keluarga yang sebetulnya sudah harus pecah KK. Hal ini berlaku misalnya jika ada anggota keluarga yang sudah menikah tapi belum membuat KK baru bersama pasangannya.
Jika ada anggota keluarga yang bisa pisah KK, itu akan membuat jumlah orang yang mengiur lebih sedikit. Sekaligus, ini akan mengurangi jumlah kewajiban iuran bulan berjalan.
Satu catatan penting terakhir adalah kita harus mengingat bahwa JKN adalah asuransi kesehatan yang bersifat gotong-royong sesuai dengan karakter bangsa kita. Artinya orang yang sehat dan rajin mengiur sebenarnya sedang ikut bergotong-royong membantu pembiayaan kesehatan saudara sebangsanya yang sedang sakit.
Dengan begitu, semoga kesadaran kita untuk membayar iuran JKN secara tepat waktu terjaga. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan besaran iuran JKN tidak terlalu membebani masyarakat yang saat ini sedang dihantam berbagai tantangan ekonomi di sana sini.



