spot_img
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Lemah Pengawasan di Kasus Jiwasraya, OJK Dinilai Abai

KNews.id- Ekonom Senior Faisal Basri, mengkritik keras kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantaran abai melakukan pengawasan terhadap sektor keuangan di Indonesia.

Lemahnya penegakan peraturan dan ketiadaan pengawasan oleh OJK sebagai lembaga independen yang diberikan kewenangan untuk mengawasi industri keuangan menyebabkan Asuransi Jiwasraya seperti saat ini.

- Advertisement -

“Perusahan asuransi adalah industri yang heavey regulated. Peraturannya sangat ketat. Bahkan sekarang, laporan keuangannya diminta, baik laporan bulan, triwulanan maupun enam bulanan. Pokoknya sangat ketat sekali. Oleh karena itu, ada yang abai. Harus diakui, OJK abai,” ujar Faisal saat  menjadi pembicara webinar dengan tema “Kasus Asuransi Jiwasraya, Kejahatan Korupsi atau Pasar Modal? Dimana Peran OJK”.

Faisal menilai OJK abai dalam mengantisipasi permasalahan sehingga bisa terjadi. Padahal, OJK, telah diberikan kekuasaan penuh oleh  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

- Advertisement -

Kewenangan itu antara seperti memberikan izin operasi perusahaan asuransi, mengeluarkan izin berbagai produk asuransi, lalu mengawasi perusahaan asuransi, hingga membuat aturannya. 

Namun sayangnya jelas Faisal, lembaga superbody ini abai menjalankan Tupoksinya. Akibatnya, Jiwasraya babak belur.

- Advertisement -

“Sudah sepatutnya OJK bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Jiwasraya.OJK juga yang diberikan tugas mengawasi perusahaan asuransi. OJK membuat aturan. Jika terjadi pelanggaran, OJK-lah yang menyidik, menuntut, dan mengenakan sanksi,” tegasnya.

Ketidakhadiran OJK melakukan pengawasan terhadap Asuransi Jiwasraya ini membuat banyak masyarakat mulai mempertanyakan eksistensi lembaga superbody di sektor keuangan ini. Apalagi, bukan kali ini saja kejadian tragis menimpa perusahaan asuransi.

Sebelum kasus Asuransi Jiwasraya ini,  banyak sekali kasus skandal keuangan yang merugikan banyak orang seperti kasus First Travel, Koperasi Pendawa Depok, kasus PT Minna Padi Asset Management (MPAM) dll.

“Wajar jika banyak kalangan mulai mempertanyakan keberadaan OJK. Bukan saja kewenangannya terhadap perusahaan asuransi, melainkan juga terhadap perbankan, lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, dan fintek,” ujarnya.

Faisal mempertanyakan siapa yang mengawasi OJK dan kepada siapa OJK harus melapor. Karenanya, penguatan institusi darurat untuk dilakukan, karena menyangkut organ perekonomian yang vital.

“Karena lembaga keuangan merupakan jantung perekonomian, jika terjadi serangan jantung, seluruh organ tubuh perekonomian bakal terdampak,” tuturnya.

Lebih lanjut, ekonom senior ini mempertanyakan, sikap Kementerian Keuangan yang sampai sekarang belum merealisasikan amanat Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 2014 yang seharusnya sudah hadir pada Oktober 2017 tentang Perasuransian. 

Dalam Bab XI Perlindungan Polis, Tertanggung atau Perserta, Pasal 53 ayat 1 menyebutkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.

Bahkan dalam Pasal 4 UU nomor 40 tahun 2014 juga mengatur mengenai UU sebagai payung hukum program penjaminan polis dibentuk paling lama tiga tahun sejak beleid tersebut diundangkan atau pada 2017. 

Berdasarkan UU tersebut jelasnya seharusnya program penjaminan polis sudah bisa dirasakan saat ini. Namun sayangnya, aturan yang menjadi payung hukum penjaminan polis itu belum terbit.

“Semestinya, Kementerian Keuangan harus berinisiatif  membuat naskahnya. Demikian juga DPR,” pungkasnya. (FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini